
Boyamin Saiman Ketua Masyarakat Anti Korupsi (MAKI) menyebut korupsi yang merajarela di Indonesia adalah bentuk penjajahan oleh bangsa sendiri. Jika tidak segera diatasi, mengancam keberlangsungan NKRI. Dikhawatirkan Indonesia hanya akan menjadi kenangan dalam buku sejarah, bubar karena korupsi.
“Jangan sampai NKRI masuk buku sejarah, bubar karena korupsi,” kata ujarnya dalam program Wawasan Radio Suara Surabaya, Selasa (19/8/2025).
Boyamin lantas mengutip Pembukaan UUD 1945, khususnya alinea keempat, yang menegaskan cita-cita kemerdekaan untuk mewujudkan keadilan sosial dan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia. Namun, realitasnya masih jauh dari harapan.
“Jargon ‘no viral, no justice’ seolah menjadi cerminan keadilan di Indonesia. Bahkan, ketika suatu kasus menjadi viral, keadilan sering kali tetap tidak tercapai,” kata dia.
Sebagai contoh, kasus Setya Novanto yang mendapatkan pembebasan bersyarat, padahal tidak memenuhi syarat menerima. Boyamin menyebut salah satu syarat mendapat keringanan tersebut adalah menunjukkan perilaku baik selama menjalani masa pidana. Namun kenyataannya, Setya Novanto berkali-kali ketahuan membawa handphone, makan di restoran, dan jalan-jalan ke toko bangunan karena membangun rumah di Bandung agar keluarganya tinggal dekat dengan penjara Sukamiskin.
Pria kelahiran Ponorogo ini juga menyoroti praktik korupsi yang terjadi di sistem pemerintahan. APBN dan APBD sering kali menjadi “ladang” untuk kepentingan pribadi melalui proyek-proyek titipan. Tata kelola pemerintahan yang baik masih sebatas jargon, belum menjadi kenyataan. Pemerintah kesulitan mencegah kebocoran pajak dan anggaran. Sebagai contoh, proyek BTS senilai Rp10 triliun, kerugian negara bisa mencapai Rp8 triliun.
Jika berkaca kepada negara lain, Filipina menunjukkan pendekatan yang berbeda dalam memerangi korupsi. Mereka melindungi pemberi suap yang bersedia melapor atau mengungkap kasus korupsi, sehingga mendorong pengungkapan praktik korupsi. Sementara itu, di Indonesia, baik penerima maupun pemberi suap sama-sama dihukum. “Birokrasi yang menerima suap mengancam pemberi suap, kalau komplain juga masuk penjara. Akhirnya pemberi tidak berani mengungkap,” kata Boyangin.
“Mereka tidak mau bekerja sungguh-sungguh, padahal bisa mendapat remunerasi. Lebih memilih yang mudah dengan menjual izin, korupsi belanja modal. Ini penjajahan oleh bangsa sendiri,” tambahnya.
Salah satu upaya pengungkapan kasus yang pernah didampingi MAKI, kata Boyangin, pemberi suap disebut sebagai “korban” pemerasan–meski realitasnya tidak selalu demikian–semata-mata tujuannya agar dapat membongkar praktik korupsi.
Melihat realita ini, Boyangin bertanya-tanya apakah target Indonesia Emas bisa tercapai. Ia hanya berharap generasi masa depan masih dapat menikmati Republik Indonesia yang utuh dan berdaulat.(iss)