Kamis, 13 November 2025

MK Tolak Permohonan Masa Jabatan Kapolri Disamakan Presiden dan Kabinet

Laporan oleh Billy Patoppoi
Bagikan
Suhartoyo Ketua Mahkamah Konstitusi. Foto: MK RI

Mahkamah Konstitusi menolak permohonan uji materi Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Polri yang meminta akhir masa jabatan Kapolri disamakan dengan masa jabatan presiden dan anggota kabinet.

“Menolak permohonan para pemohon untuk seluruhnya,” kata Suhartoyo Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) membacakan amar Putusan Nomor 19/PUU-XXIII/2025 di Ruang Sidang Pleno MK, Jakarta, Kamis (13/11/2025) dilansir Antara.

Perkara tersebut sebelumnya dimohonkan tiga orang mahasiswa yang bernama Syukur Destieli Gulo, Christian Adrianus Sihite, dan Devita Analisandra. Mereka menguji Pasal 11 ayat (2) UU Polri dan penjelasannya.

Pasal 11 ayat (2) UU Polri berbunyi, “Usul pengangkatan dan pemberhentian Kapolri diajukan oleh Presiden kepada Dewan Perwakilan Rakyat disertai dengan alasannya.”

Menurut mereka, alasan pemberhentian Kapolri tidak diatur lebih lanjut maupun dirumuskan secara jelas di UU Polri.

Maka dari itu, dalam permohonannya, para pemohon meminta alasan pemberhentian itu diatur secara terang. Salah satunya, mereka ingin masa jabatan Kapolri disamakan dengan berakhirnya masa jabatan menteri yang mengikuti masa jabatan Presiden.

Arsul Sani Hakim Konstitusi mengatakan dengan permohonan itu, para pemohon mengonstruksikan anggapan bahwa jabatan Kapolri adalah jabatan setingkat menteri. Akan tetapi, Mahkamah menolak dalil tersebut.

Dijelaskan Arsul, ide memosisikan Kapolri setingkat dengan menteri pernah muncul dalam pembahasan UU Polri. Ketika pembahasan tersebut, Fraksi Partai Demokrasi Kasih Bangsa mengusulkan menambahkan frasa “setingkat menteri” pada jabatan Kapolri.

Namun, pembentuk undang-undang pada akhirnya tidak sependapat dengan usulan tersebut. Hal ini tampak dengan tidak adanya frasa “setingkat menteri” untuk jabatan Kapolri dalam UU Polri yang diundangkan.

“Bahkan, pembentuk Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 lebih memilih untuk menegaskan Kapolri merupakan perwira tinggi yang masih aktif,” ucap Arsul Sani.

Menurut Mahkamah, dengan memberi label “setingkat menteri” untuk jabatan Kapolri, kepentingan politik presiden akan dominan dalam menentukan seorang Kapolri. Padahal, Pasal 30 ayat (4) UUD NRI Tahun 1945 menyatakan bahwa Polri sebagai alat negara.

Sebagai alat negara, imbuh dia, Polri harus mampu menempatkan pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat serta penegakan hukum di atas kepentingan semua golongan, termasuk di atas kepentingan Presiden.

“Artinya, dengan memosisikan jabatan Kapolri menjadi setingkat menteri, Kapolri secara otomatis menjadi anggota kabinet, jelas berpotensi mereduksi posisi Polri sebagai alat negara,” jelas Arsul.

Selain itu, permohonan para pemohon juga dinilai akan menggeser posisi jabatan Kapolri menjadi anggota kabinet. MK menyatakan langkah atau upaya menggeser posisi jabatan Kapolri tersebut tidak sejalan dengan keberadaan Polri sebagai alat negara.

Menurut Mahkamah, Kapolri adalah jabatan karier profesional yang memiliki batas masa jabatan, tetapi tidak ditentukan secara periodik dan tidak secara otomatis berakhir bersamaan dengan berakhirnya masa jabatan presiden.

“Artinya, jabatan Kapolri memiliki batas waktu dan dapat diberhentikan sewaktu-waktu berdasarkan evaluasi presiden sesuai dengan peraturan perundang-undangan,” jelas Arsul.

Ia mengatakan apabila Mahkamah memberikan pemaknaan baru, sebagaimana yang dimintakan oleh para pemohon, hal itu akan berdampak pada ketidakpastian hukum dalam proses pengisian dan pemberhentian Kapolri.

“Dengan demikian, tidak terdapat keraguan bagi Mahkamah untuk menyatakan dalil para pemohon a quo adalah tidak beralasan menurut hukum,” ucapnya. (ant/bil/ham)

Berita Terkait

Potret NetterSelengkapnya

Perpaduan Macet dan Banjir di Kawasan Banyuurip-Simo

Banjir Menggenangi Sidosermo 4

Kecelakaan Bus Vs Truk Gandeng di Jembatan Suramadu

Perpaduan Hujan dan Macet di Jalan Ahmad Yani

Surabaya
Kamis, 13 November 2025
25o
Kurs