
Program “Barak Militer” Pemerintah Provinsi Jawa Barat (Pemprov Jabar) telah resmi diberlakukan pekan lalu. Program yang menyasar remaja bermasalah itu bertujuan supaya mereka bisa mandiri, dan jati dirinya kembali sebagai generasi penerus bangsa.
Dalam pelaksanaannya, ada banyak kegiatan yang akan dilalui para remaja tersebut, meliputi olahraga; kesenian; pengembangan minat dan bakat; hingga pembiasaan pola hidup sehat, mulai dari keteraturan makan, minum, serta menjauhkan peserta dari rokok atau obat-obatan terlarang.
Tapi, dalam proses perencanaan hingga proses pelaksanaannya, program barak militer ini tentu juga tak luput dari pro dan kontra banyak pihak.
Untuk yang kontra, banyak masyarakat menganggap program ini berlebihan jika diterapkan kepada anak, karena ditakutkan mengandung militerisme. Meski akhirnya buru-buru dibantah pihak pelaksana yang menegaskan program barak militer ini mengedepankan pendekatan pendidikan berbasis kedisiplinan, bukan militerisasi perang.
Sementara untuk kubu yang pro dengan program ini, lebih cenderung memilih untuk wait and see. Mereka juga menilai kalau program ini bagus untuk mendisiplinkan remaja nakal, karena belakangan sering terjadi tawuran dan sebagainya.
Terkait hal ini, Iwan Wahyu Widayat Psikolog Pendidikan dari Universitas Airlangga (Unair) turut mengemukakan pendapatnya mengenai program gagasan Dedi Mulyadi Gubernur Jawa Barat itu.
Menurutnya, program semacam ini sebetulnya sudah umum dan ada sejak zaman belanda. Tapi, dia mengingatkan kalau pendekatan berbasis barak militer justru berisiko menimbulkan stigmatisasi dan label negatif pada anak-anak yang terlibat dalam program ini.
“Kalau kemudian ini tidak menjadi perhatian, akan terjadi stigmatisasi saya kira. Bahwa mereka itu lulusan semacam lembaga pemasyarakatan. Sama seperti stigma yang mereka dapatkan ketika mereka masuk panti sosial anak-anak,” jelasnya waktu mengudara di program Wawasan Suara Surabaya, Senin (5/5/2025).
Karenanya, dosen psikologi Unair itu menyarankan, jika program ini dilanjutkan, perlu ada pendampingan khusus agar tetap ramah anak.
“Supaya nanti menjadi program yang ramah anak kalau memang itu perlu dilanjutkan. Tidak menimbulkan stigma negatif pada mereka yang sebenarnya maunya dibina. Jadi dilakukan rehabilitasi sosial supaya berubah menjadi lebih baik. Tidak malah mendapatkan stigma buruk dari masyarakat,” tegas Iwan.
Sementara dari sisi psikologis, Iwan menyebut pendekatan militer memang bisa membentuk perilaku patuh dalam jangka pendek, namun ada risiko berkurangnya nalar kritis dan kehendak pribadi anak.
“Mungkin efek dekat kedepannya nalar kritis dan sebagainya mungkin berpengaruh ya. Kemudian kemampuan untuk punya goodwill (niat baik), kehendak pribadi misalnya itu mungkin bisa jadi berpengaruh juga,” paparnya.
Di sisi lain, Iwan menjelaskan kalau anak-anak usia remaja, terutama yang masih duduk di bangku SMP, kebanyakan memang dalam masa mencari jati diri. Mereka sangat membutuhkan pengakuan dan apresiasi dari lingkungan sekitar atau orang yang lebih dewasa.
Tapi jika tidak mendapatkan pengakuan dari lingkungan sekitar, Iwan mengatakan ujung-ujungnya anak tersebut akan akan menjadikan teman-teman sebayanya sebagai pelarian. “Iya kalau baik teman sebayanya. Kalau enggak, mereka ya terlibat geng motor, tawuran begitu,” katanya.
Oleh karena itu, intervensi seperti program barak militer yang saat ini tengah diterapkan di Jawa Barat perlu diawali dengan asesmen presisi. Jika memang problemnya adalah individual, maka perilaku tersebut harus dapat perhatian khusus.
Meskipun program ini melibatkan berbagai unsur seperti dinas pendidikan, dinas kesehatan, BNN, dan lembaga pendidikan, peran institusi militer dalam pendidikan karakter perlu dibedakan dengan pendekatan pendidikan karakter pada umumnya.
“Pendidikan karakter sendiri itu sebenarnya kan luas ya, mencakup banyak aspek kehidupan siswa. Jadi kalau kemudian diarahkan pada bila-bila tertentu yang diharapkan, dididik secara militer dan sebagainya, ada banyak aspek yang mungkin tidak tercukupi. Karena pendidikan karakter bisa juga dilakukan melalui bermain, kegiatan yang menarik mengandung pendidikan, tidak harus dengan sebuah latihan militer,” jelas Iwan.
Terakhir, Iwan menilai penerapan pendekatan militeristik merupakan jalan pintas pemerintah dalam menyikapi ketimpangan peran tiga pilar pendidikan yakni keluarga, masyarakat, dan sekolah. Alhasil, persoalan terus ada.
“Daripada kemudian melakukan rekayasa sosial, masyarakatnya diubah supaya bisa mendidik anak dengan baik, keluarga diperkuat, maka ada shortcut yang langsung aja diambil alih, dari lingkungan keluarga masyarakat, dimasukkan ke dalam inkubator, di militer, kemudian diberikan perilaku-perilaku yang kemudian diharapkan,” pungkasnya. (bil/iss)