
Penggunaan Kecerdasan Buatan (artificial intelligence/AI) dalam dunia pendidikan, bak imajinasi tanpa batas. AI diketahui merupakan teknologi yang membuat mesin memiliki kemampuan belajar, membuat keputusan, memahami, dan proses kreatif. Hal-hal tersebut adalah kemampuan manusia yang saat ini juga ada pada mesin.
Hari ini mahasiswa mendapatkan akses luas menggunakan teknologi kecerdasan buatan. Mulai dari ChatGPT, Gemini, Deepseek, dan masih banyak lagi.
Tapi kecerdasan buatan tidak terbatas pada produk-produk itu saja. Ada banyak algoritma kecerdasan buatan yang tertanam pada berbagai perangkat lunak. Seperti contohnya aplikasi edit foto.
Perangkat lunak edit foto hari ini dengan cerdas dan akurat mampu memperbaiki foto dari segi kualitas dan estetika secara otomatis. Misalnya mengedit foto orang yang sebelumnya buncit, menjadi perut rata. Kita bisa mengoreksi area mana, lalu secara otomatis algoritma kecerdasan buatan akan mengganti area tersebut dengan bentuk yang baru.
Publik dengan mudah mengakses ChatGPT dengan mudah. Sebuah perangkat lunak yang mampu merespon perintah atau teks yang dari pemberian manusia. Responnya sangat alami seolah-olah kita bercakap dengan manusia, padahal dia adalah mesin.
Bagaimana AI Bekerja?
Rizki Putra Prastio Dosen Prodi Teknik Robotika dan Kecerdasan Buatan Fakultas Teknologi Maju dan Multidisiplin Universitas Airlangga (Unair) Surabaya mengatakan, mesin belajar dari data-data yang terinput oleh manusia.
“Layaknya anak yang mendapatkan informasi atau pengetahuan dari orang tua. Kecerdasan buatan pun bekerja seperti itu. Manusia memberikan banyak data, dapat berupa gambar, teks, atau suara. Mesin akan mempelajari pola data tersebut secara numerik,” kata Prastio dalam keterangannya yang diterima suarasurabaya.net, Jumat (18/4/2025).
Lalu, hasil pembelajaran itu sebagai pengetahuan (pembanding) untuk data baru. Misal komputer diberi gambar suatu kursi dengan bentuk tertentu. Ketika adanya bentuk kursi lain, komputer mampu menyebut nama benda itu. Ini karena komputer mempelajari pola dari bentuk kursi seperti apa.
Rizki juga menambahkan jika komputer akan menyesuaikan dengan pola yang telah diberikan dan memberikan jawaban dengan pola yang sama atau mirip.
“Intinya komputer akan menebak nama benda berdasarkan kemiripan pola (ciri atau fitur). Sebenarnya AI penuh dengan persamaan matematis,” ujarnya.
Mengapa AI Bisa Memiliki Kesalahan?
Prastio menjelaskan, secara saintifik, tidak pernah ada yang namanya error nol persen. Selalu akan ada error yang terjadi.
“Bagaimana mungkin AI bisa akurat 100 persen sementara pembuatnya, manusia, bisa salah? Manusia juga menggunakan alat ukur juga punya error-nya. Ada celah bias dari pelatihan data oleh manusia,” jelasnya.
Jika setiap faktor pembentuknya mengandung error, maka produk akhirnya juga akan mengandung error. Sederhananya, AI bekerja dengan cara menebak dan mensintesis sesuatu sesuai dengan pola yang pernah dilatihkan kepadanya. Jelas kadang bisa benar kadang bisa salah.
“Contoh kasus untuk AI yang digunakan sebagai asisten semacam ChatGPT atau sejenisnya. Ketika perintah yang diberikan manusia tidak dipahami dengan baik oleh mesin, maka bukan tidak mungkin respon (output) yang diberikan juga tidak seperti yang diinginkan,” katanya.
Cara Bijak Gunakan AI
Menariknya, pengembangan AI sebenarnya sudah ada sejak tahun 50an. Namun teknologi komputer pada saat itu masih sangat terbatas, sehingga perkembangan dan dampaknya tidak terasa.
Lalu, akhir-akhir ini AI berkembang pesat karena memang teknologi pendukungnya telah jauh lebih baik. Manusia dengan mudah menemukan AI menjadi suatu alat, sekaligus menimbulkan kontroversi.
Hal baru akan selalu memicu pro dan kontra, apalagi kalau belum ada regulasi yang mengatur pemanfaatannya. Layaknya pisau, kita bisa gunakan untuk melukai orang. Juga untuk memasak. Dengan masifnya penggunaan AI, rasanya mustahil kita menghindari perkembangan teknologi.
Kita harus punya etika dalam menggunakan AI, gunakan untuk yang memberikan manfaat, gunakan untuk menunjang pekerjaan. AI tidaklah bebas dari error, tetaplah kritis pada hasil yang diberikannya. Jangan ditelan mentah-mentah karena bisa jadi itu salah.
Prastio mencontohkan, dirinya pernah memberikan soal UTS kepada beberapa tools AI dan ingin tahu analisisnya. Mayoritas AI yang ia coba memberikan jawaban yang salah.
Lalu Prastio memberi respon dengan mengatakan jawabannya salah. Lalu mesin tersebut menganalisis ulang dan tetap salah. Pada akhirnya dosen muda ini memberikan perintah untuk menganalisis dengan metode lain, dan kemudian memberikan jawaban yang benar.
Dengan pengalaman itu, perlu untuk mempertimbangkan keyakinan sejauh mana jawaban AI itu benar?
Ketika kita belajar hal yang sama sekali baru, artinya kita tidak memiliki pengetahuan apapun tentang hal itu. Kita masih kosong, tidak memiliki ground truth, tidak memiliki informasi apapun.
Bayangkan jika kita langsung menganggap jawaban AI adalah yang benar padahal nyatanya salah. Kita akan mendapatkan pemahaman yang salah atas sesuatu, banyak hal yang akan salah kaprah.
Sebagai akhirnya, perlu bersikap kritis ketika bergantung pada AI sebagai tool yang memudahkan pekerjaan manusia.(dra/bil/ipg)