Kamis, 2 Oktober 2025

Food Estate dan MBG Bukan Jawaban, Reforma Agraria Adalah Jalan Keluar Krisis Pangan

Laporan oleh M. Hamim Arifin
Bagikan
Prof. Dwi Andreas Santosa Guru Besar IPB University (dua dari kiri), Anis Hidayah Ketua Komnas HAM, dan Marthin Hadiwinata Koordinator Nasional FIAN Indonesia dalam diskusi Dua-Mingguan Nexus Tiga Krisis Planet di Jakarta, Rabu (1/10/2025). Foto: Istimewa.

Food estate dan program Makanan Bergizi Gratis (MBG) dinilai tidak mampu menjawab akar persoalan krisis pangan di Indonesia, bahkan memperdalam ketidakadilan struktural serta mengancam hak petani kecil, masyarakat adat, perempuan, anak, dan kelompok rentan.

Kritik tersebut mengemuka dalam Diskusi Dua-Mingguan Nexus Tiga Krisis Planet yang digelar Lapor Iklim, CELIOS, dan Justice Coalition for Our Planet (JustCOP), Rabu (1/10/2025).

Profesor Dwi Andreas Santosa Guru Besar IPB University narasumber dalam diskusi menekankan, kedaulatan pangan hanya dapat terwujud bila petani memiliki kendali atas tanah, benih, dan kebijakan yang berpihak.

“Seluruh proyek food estate melanggar empat pilar utama pembangunan pangan, mulai dari kelayakan tanah hingga aspek sosial-ekonomi. Jika dipaksakan, food estate hanya akan melahirkan krisis baru,” katanya.

Dia juga mengingatkan soal kriminalisasi petani benih serta berkurangnya jumlah rumah tangga petani yang membuat generasi muda semakin enggan masuk ke sektor pertanian.

Marthin Hadiwinata Koordinator Nasional FIAN Indonesia memaparkan data dalam diskusi Dua-Mingguan Nexus Tiga Krisis Planet di Jakarta, Rabu (1/10/2025). Foto: Istimewa.

Marthin Hadiwinata Koordinator Nasional FIAN Indonesia menilai food estate bukan hanya gagal secara teknis, tetapi juga melanggar hak asasi manusia atas pangan dan gizi.

“Sejak 2018, kasus kelaparan berulang di Papua menunjukkan kegagalan pemerintah memenuhi kewajiban dasarnya. Hingga kini, 17,7 juta orang mengalami kelaparan dan lebih dari 123 juta jiwa tidak mampu mengakses pangan bergizi. Ironisnya, konsumsi makanan ultra-proses seperti mie instan justru terus meningkat,” katanya. Menurutnya, solusi utama adalah reforma agraria yang melibatkan petani kecil dan masyarakat adat.

Sementara itu, Anis Hidayah Ketua Komnas HAM turut menegaskan, pangan merupakan hak asasi yang wajib dipenuhi negara.

“Masyarakat adat, perempuan, anak, petani kecil, dan kelompok marginal adalah pihak yang paling rentan, tetapi justru paling sering dikorbankan. Pembangunan pangan tidak boleh melanggengkan penggusuran, pencemaran, atau kriminalisasi. Negara berkewajiban menghormati, melindungi, dan memenuhi hak atas pangan bagi semua warga,” ujarnya.

Dalam sesi tanya jawab, Prof. Andreas menjelaskan mengapa diversifikasi pangan gagal berjalan. Menurutnya, politik pangan sejak Orde Baru diarahkan menjadikan beras sebagai simbol stabilitas, sehingga pangan alternatif seperti sorgum, sagu, dan umbi-umbian tersingkir dari pasar domestik.

Diskusi menyimpulkan, krisis pangan tidak bisa diatasi melalui food estate atau MBG, melainkan melalui reforma agraria yang nyata, perlindungan bagi petani kecil, serta keterlibatan publik luas dalam kebijakan pangan.

Seruan “tanah untuk rakyat, bukan food estate” pun mengemuka sebagai penegasan perlunya keberpihakan negara kepada rakyat, bukan pada proyek skala besar yang menguntungkan segelintir pihak. (ham/rid)

Berita Terkait

Potret NetterSelengkapnya

Kebakaran Gedung Ex-Bioskop Jalan Mayjen Sungkono

Kecelakaan Mobil di Jembatan Suramadu, Kondisinya Ringsek

Kecelakaan Bus Tabrak Belakang Truk di KM 749 Tol Sidoarjo-Waru

Pajero Masuk Sungai Menur Pumpungan

Surabaya
Kamis, 2 Oktober 2025
26o
Kurs