Rabu, 24 April 2024

Ekonom INDEF Ingatkan Dampak Pelonggaran PSBB

Laporan oleh Muchlis Fadjarudin
Bagikan
Drajad Wibowo. Foto: Faiz suarasurabaya.net

Dradjad Hari Wibowo Ekonom Senior Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) mengatakan bahwa dampak pandemi Covid-19 terhadap perekonomian Indonesia jelas sangat besar.

Menurut Dradjad, pertumbuhan ekonomi kuartal 1/2020 anjlok drastis ke 2,97 persen. Padahal pada 30 April 2020 di depan Komisi XI DPR RI, Menteri Keuangan memperkirakan pertumbuhan kuartal 1/2020 masih 4,5-4,7 persen. BI memperkirakan 4,3 persen.

“Saya tidak kaget dengan rendahnya pertumbuhan tersebut. Sering saya sampaikan, tanpa pandemi pun perekonomian Indonesia tahun 2020 cenderung melemah,” ujar Dradjad kepada suarasurabaya.net, Jumat (15/5/2020).

Kata Dradjad, Pandemi Covid-19 memperburuk pelemahan tersebut. Padahal, pemerintah sangat memrioritaskan ekonomi. Karena itu tidak heran jika wacana berdamai dengan corona dan pelonggaran PSBB muncul.

Dari sisi ekonomi serta kebutuhan rakyat bekerja, lanjut Dradjad, masyarakat tentu ingin bisnis dan ekonomi kembali bergerak. Masalahnya, apakah data Covid-19 mendukung pelonggaran tersebut?

Dradjad mengaku mengumpulkan data harian kasus positif Covid-19 untuk periode 2 Maret – 13 Mei 2020. Meski dia meyakini jumlah kasus positif yang riil jauh di atas data resmi, tapi dirinya tetap memakai yang resmi saja.

“Saya lakukan analisis sederhana, memakai Moving Average (MA) untuk Indonesia dan DKI Jakarta. MA ini banyak dipakai di pasar keuangan. Tujuannya untuk “menghaluskan” fluktuasi jangka pendek dari data, dan sekaligus mempertajam trend atau siklus jangka panjang. MA ini makanan sehari-hari bagi analis pasar,” jelasnya.

“Saya menghitung SMA (Simple Moving Average) dan EMA (Exponential Moving Average). Periode yang dipakai adalah 5 dan 14 hari. Alasannya, masa inkubasi rata-rata SARS-COV-2 sekitar 5 hari, dan periode isolasi yang disarankan adalah 14 hari. EMA biasanya lebih kuat dibandingkan SMA,” imbuhnya.

Dradjad menjelaskan, kurva MA bisa memberi intuisi, apakah tren kasus ke depan cenderung naik, landai atau malah turun. Dia baru memberi gambaran sangat awal, apakah pelonggaran layak dipertimbangkan.

“Baru dipertimbangkan lho ya,” jelasnya.

Kenapa? Karena, kata Dradjad, ada indikator yang lebih penting diketahui. Yaitu, bilangan reproduksi dasar atau bilangan reproduksi efektif.

“Jika anda menonton film Contagion, indikator bersimbol R ini muncul di sana, meski kurang akurat,” ujar dia.

Dradjad menegaskan, R ini bahasa gampangnya menunjukkan, berapa banyak orang yang tertular dari satu orang yang terinfeksi sebelumnya, di dalam populasi yang rentan tertular (susceptible).

Di Hongkong, R dihitung harian dan ditampilkan live. Di Jerman, R menjadi acuan pemerintah untuk melonggarkan lockdown atau tidak. R nya dihitung oleh Robert Koch Institute.

“Entah mengapa Gugus Tugas Covid-19 tidak menyajikan estimasi R harian. Saya usahakan semampunya supaya angka ini ada,” jelas Dradjad.

Dari analisis MA, menurut dia, terlihat jelas kurva jumlah kasus positif Covid-19 belum menunjukkan tanda-tanda melandai, apalagi turun.

Untuk Indonesia, baik rata-rata 5 harian maupun 14 harian, kurvanya masih “mendongak”. Trennya naik. Ini baik dari SMA maupun EMA.

“Untuk DKI, tanda-tanda melandai sudah muncul, tapi masih “goyang”. Mungkin dalam 7-14 hari ke depan kita baru bisa yakini trennya,” kata Dradjad.

“Jadi, data nasional sama sekali tidak mendukung pelonggaran PSBB dalam waktu dekat ini. Sementara untuk DKI, kita harus lihat dulu data beberapa hari ke depan,” kata Dradjad.

“Itu baru gambaran awal. Tanpa perkembangan harian R, kita hanya meraba-raba di kegelapan. Untuk pelonggaran, R harus kurang dari satu. Artinya penyebaran virus relatif terkendali,” imbuhnya.

Menurut dia, setelah R diketahui, harus mempunyai protokol baru yang disebut the New Normal. Protokol ini harus spesifik, misalnya, bagaimana aturan jaga jarak di Pasar Tanah Abang, restoran dan kafe, supermarket, tukang cukur, ojol, kaki lima hingga pasar tradisional.

Semua aturan ini mempunyai konsekuensi keuangan.

“Ojol misalnya, apa boleh membawa penumpang? Ojol tanpa penumpang jelas ambyar? Jika boleh, apa penumpangnya harus bawa helm sendiri? Risiko penularan virusnya tinggi jika helm dipakai bergantian,” ujar Dradjad.

Intinya, kata Dradjad, perlu hati-hati, ilmiah dan matang persiapannya sebelum melonggarkan PSBB. Itu penting, agar pandemi Covid-19 tidak meledak lagi, yang justru makin tinggi daya rusaknya terhadap sektor kesehatan, ekonomi dan kehidupan bangsa keseluruhan.(faz/iss/ipg)

Berita Terkait

Potret NetterSelengkapnya

Motor Tabrak Pikap di Jalur Mobil Suramadu

Mobil Tertimpa Pohon di Darmo Harapan

Pagi-Pagi Terjebak Macet di Simpang PBI

Surabaya
Rabu, 24 April 2024
26o
Kurs