Minggu, 12 Mei 2024

Rusunawa, Solusi Hunian Layak dan Stigma yang Perlu Berubah

Laporan oleh Denza Perdana
Bagikan
Halaman depan Rusunawa Gunungsari di Minggu (20/11/2016) pagi. Terparkir beberapa mobil yang entah milik pengunjung atau milik penghuni rusun. Foto: Denza Perdana suarasurabaya.net

Di sudut lorong di lantai lima Rumah Susun Sederhana Sewa (rusunawa) Gunung Sari dia biasa duduk. Gadis berkerudung itu biasa duduk lama memangku laptopnya, fokus pada cerita-cerita yang sedang dia susun. Menulis adalah hobinya. Kalau tidak sedang mood menulis cerita, dia sekadar menulis catatan harian. Kebiasaan yang terakhir sudah dia lakukan sejak masih berusia sangat belia, saat masih duduk di bangku sekolah menengah pertama (SMP). Karena itu juga, Syimatul Hasanah (25) bercita-cita, suatu hari kelak dia bisa menelurkan buku cerita fiksi yang dia susun sendiri.

”Tapi sampai sekarang tulisanku belum cukup banyak sampai bisa menjadi buku,” katanya kepada suarasurabaya.net di sebuah kafe di kawasan Nginden, Surabaya, Sabtu (19/11/2016) sore. Gadis yang biasa dipanggil Syima ini teguh pada cita-citanya. Kebiasaan menulis tetap dia jaga sampai sekarang, meski ruang di tempat tinggalnya semakin terbatas. “Dulu awal-awal pindah ke rusun, waktu semester-semester awal kuliah, masih sepi. Jadi enak bisa nulis di mana aja di sekitar Rusun. Sekarang sudah rame penghuninya. Makanya kalau mau nulis harus nyari tempat sepi ke lantai lima.”

Syima tinggal di rusunawa itu bersama Syakroni (50) dan Rohila (45), orangtua kandungnya, serta Shafiyuddin (19), adik kandungnya. Keluarga kecil ini tinggal di sebuah unit di lantai dua rusunawa itu. Tempat tinggal berukuran 40 meter persegi itu memang tidak bisa dikatakan luas. Tapi sebagaimana karakter orang jawa yang nrimo ing pangdum, Syima dan keluarga merasa bersyukur masih memiliki tempat tinggal di Kota Metropolitan, Ibukota Jawa Timur, dengan penduduk lebih dari dua juta jiwa. Sudah menjadi rahasia umum, sangat sulit mendapatkan rumah tinggal dengan harga yang terjangkau di Kota Pahlawan ini.

Syakroni sehari-hari bekerja di sekitaran Jagir, Wonokromo, membuka usaha jual beli besi. Penghasilan Syakroni tidak besar. Usaha jual beli besi itu memberikan penghasilan rata-rata Rp2 juta sebulan, yang dia berikan untuk menafkahi Rohila, Syima, dan Shafi. Setiap bulan, sudah ada pengeluaran wajib yang harus dibayar oleh keluarga Syakroni, yakni biaya sewa rusunawa, biaya pemakaian listrik, dan air PDAM, dengan jumlah setidaknya Rp300 ribu.

Kini Syima sudah bekerja. Lulus kuliah jurusan Komunikasi di Fakultas Dakwah Universitas Islam Negeri Sunan Ampel dua tahun lalu, Syima langsung mengajar di salah satu Lembaga Bimbingan Belajar di Surabaya. Syima pun sudah bisa membantu kebutuhan keluarganya dengan gaji bulanan yang dia dapat, meski kedua orangtuanya tidak pernah meminta. Ayahnya selalu mengatakan, “ditabung saja buat keperluanmu, bapak masih ada.”

Syima tetap menulis. Dia mengakui, dalam sebagian besar susunan cerita yang dia tulis latar cerita rumah susun menjadi sangat dominan. Lima tahun tinggal di rusunawa Gunungsari cukup mempengaruhi pola pikirnya. Dulu, saat masih tinggal bersama kedua orangtuanya di stren (bantaran) Kali Jagir, Wonokromo, Syima sangat jarang bersosialisasi dengan tetangganya. Kondisi permukiman bantaran sungai, meski saling berhimpitan, tidak memungkinkan warga untuk bersosilisasi secara intens. Sebab rumah-rumah itu langsung berbatasan dengan jalan raya di bagian depan, dan sungai di bagian belakang.

Ya, Syima dan keluarga pernah mengalami rumah mereka digusur oleh Pemerintah Kota Surabaya, pada 2008 lalu. Syima mengenang, warga Stren Kali Jagir saat itu sempat melakukan aksi penolakan penggusuran dengan cara berdemonstrasi. Ayahnya pun turut berdemonstrasi untuk mempertahankan rumahnya. Tapi apa daya, Pemerintah Kota Surabaya yang saat itu dipimpin oleh Tri Rismaharini sebagai Wali Kota Surabaya tetap teguh pada pendirian bahwa kawasan bantaran sungai harus steril dari rumah penduduk.

Betapa sedihnya Syima saat itu. Dia dan orangtuanya, juga adiknya, mulai hari itu tidak lagi memiliki tempat tinggal. Pemkot Surabaya hanya memberikan ganti rugi penggusuran sebesar Rp5 juta untuk setiap rumah milik warga di bantaran Sungai Jagir. Syima dan keluarga mulai saat itu tinggal di rumah neneknya di Jalan Jemur Ngawinan.

Dua tahun keluarga Syima tinggal di rumah tersebut. Hingga pada 2010, Pemkot Surabaya kembali melakukan pembebasan lahan untuk proyek Frontage Road (FR) sebelah timur dan barat Jalan Ahmad Yani. Rumah nenek Syima turut dibebaskan. “Syok juga, sampai dua kali kena gusur. Nenek tinggal sama Om, di daerah Wiyung,” kata Syima.

Sempat mengontrak rumah untuk beberapa lama, keluarga Syima akhirnya lolos sebagai penghuni Rusunawa Gunungsari. Saat itu 2011, keluarga Syakroni pun pindah ke Rusunawa Gunungsari, sampai sekarang. “Aku masih ingat, aktu itu aku masih semester tiga,” ujar Syima. Meski harus menyesuaikan diri, Syima akhirnya terbiasa tinggal di rumah barunya. Apalagi, Syima mendapati Rusunawa Gunungsari tidak sesuai kesan rusun yang ada di benaknya.

Anggapan Syima, rumah susun adalah permukiman yang tidak terurus. Warga yang tinggal di sana harus mandi bergantian di kamar mandi umum. “Dari dulu, aku tahunya rumah susun itu kumuh, enggak terurus, seperti di Penjaringan Sari. Ternyata di Gunungsari enggak gitu. Kamar mandinya di dalam, dan lingkungannya bersih,” ujarnya.

Saat pertama kali masuk ke rusunawa Gunungsari, Syima merasa seperti masuk ke rumah sakit. Lantai di lorong di rumah susun itu bersih karena memakai tegel putih. Padahal bayangannya, rumah susun terlapisi ubin yang warnanya sudah berubah kecokelatan karena kotor. “Tapi itu dulu, awal-awal masuk, kayak masuk rumah sakit. Sekarang ya enggak. Kan sudah banyak penghuninya,” katanya.

Di rumah susun sederhana sewa inilah, mau tidak mau Syima harus bersosialisasi dengan tetangganya, tidak seperti saat tinggal di rumahnya di Stren Kali Jagir maupun di rumah neneknya di Jalan Jemur Ngawinan. Sebagai seorang yang bercita-cita menjadi penulis, sosialisasi seperti ini menguntungkan dirinya. Dia menjadi tahu berbagai permasalahan yang ada di sekitarnya dan semakin kaya akan ide cerita. Beberapa karya yang dia tulis banyak terinspirasi kehidupan yang terjadi di tempat tinggalnya.

Citra dan Masalah-masalah di Rusunawa

Selama ini, tidak sedikit warga Surabaya yang tinggal di bantaran sungai menolak relokasi oleh Pemerintah Kota Surabaya karena citra rumah susun yang buruk di mata mereka. Sebagaimana anggapan Syima sebelum menempati rusunawa Gunungsari. Namun Pemkot Surabaya tetap bersikeras, tinggal di bantaran sungai selain berbahaya akan menyebabkan dampak di lingkungan sekitarnya. Misalnya banjir.

September lalu, warga yang tinggal di bantaran sungai di Medokan Semampir dan Karang Pilang meminta agar mereka tidak direlokasi ke rusunawa. Demi meluluskan keinginan dan menepis kekhawatirannya, mereka mendatangi Kantor DPRD Kota Surabaya untuk mengadu.

Ahmat Amat, warga Medokan Semampir RT 3, RW 8, mengatakan, sejak awal September Pemkot Surabaya melakukan penggusuran terhadap lima rumah milik warga. Alat berat backhoe milik Pemerintah Kota Surabaya telah meluluhlantakkan rumah di tepi sungai hingga rata dengan tanah.

Ahmat dan warga lainnya khawatir, rumahnya pun segera diratakan dengan tanah sebagaimana rumah warga lain di bantaran sungai itu. Warga Medokan Semampir beralasan, mereka telah menjalankan arahan pemkot sesuai perda Nomor 7 Tahun 2009, antara lain membuatkan jalan setapak di kampung. Tidak hanya itu, warga juga sudah mengubah rumah mereka menghadap ke sungai.

Warga Medokan Semampir enggan pindah ke Rusunawa Gunung Anyar Tambak sebab lokasi itu terlalu jauh dari kampung tempat mereka tinggal. Lebih dari tiga kilometer jaraknya. Selain itu, setiap bulannya mereka juga harus membayar sewa. “Yang paling berat, kami bisa kehilangan pekerjaan. Sebagian besar warga di kampung kami ini nelayan. Lainnya berdagang tidak jauh kampung,” kata Ahmat.

Warga bantaran sungai di Karang Pilang RT 2 dan RT 6 juga merasakan keresahan yang sama. Iswanto, salah satu warga di lokasi tersebut mengaku enggan bila harus tinggal ke rusun Gunung Anyar Tambak. Alasannya, sebagian besar warga di kampung sudah memiliki rumah dan tanah yang bersertifikat.

Warga juga berjanji akan melanjutkan perbaikan kampung yang saat itu mereka klaim sudah berjalan 56 persen. “Kami membangun saluran jalan itu pakai uang kami sendiri, renovasi rumah supaya hadap sungai itu juga pakai uang kami sendiri. Sudah keluar biaya banyak, masak mau digusur?” Kata Iswanto.

Pemkot Surabaya memberikan beberapa pilihan rusunawa kepada warga yang tinggal di stren kali dua lokasi itu. Antara lain di Rusunawa Romokalisari, Rusunawa Sumur Welut, serta Rusunawa Gunung Anyar Tambak. Sebagian kecil warga sudah setuju pindah ke rusunawa terdekat. Sementara lainnya masih berkeras tetap tinggal di rumah mereka dengan risiko-risiko dan konsekuensi yang siap mereka tanggung.

Tri Rismaharini Wali Kota Surabaya dalam sebuah acara di Kantor Kelurahan Karang Pilang awal bulan Juli lalu sempat mengimbau kepada warga yang tinggal di kawasan bantaran sungai Karang Pilang, agar mereka bersedia pindah ke rumah susun. Menurutnya, tinggal di stren kali tidak nyaman. Selain itu juga sangat berbahaya. “Saya senang sekali banyak warga yang mau pindah ke Rusun. Karena tinggal di stren kali itu bahaya. Gimana kalau tiba-tiba air sungainya naik? Saya berharap yang lain juga mau pindah ke rusun,” kata Risma.

Selain masalah citra rusunawa, warga juga masih menjumpai berbagai masalah di rusunawa. Salah satunya soal keamanan. Di Rusunawa Gunungsari, tempat tinggal Syima, pengelolaan sampah memang terjamin. Sudah ada petugas yang setiap hari memungut sampah rumah tangga di semua lantai. Biayanya pun tidak dibebankan kepada penghuni.

Selain itu, petugas keamanan di pintu masuk rusunawa yang dikelola Pemprov Jatim ini juga sudah bersiaga selama 24 jam. Warga juga tidak dipungut biaya keamanan untuk ini. Hanya saja, lokasi parkir di rusunawa itu tidak terawasi. “Banyak kejadian kehilangan. Dulu di situ ada CCTV-nya, sekarang sudah rusak. Enggak tahu rusak sendiri apa sengaja dirusak lalu dibiarkan rusak sampai sekarang,” kata Syima.

Masalah lainnya, di rusunawa tempat Syima tinggal tidak ada kepengurusan Rukun Tetangga (RT) dan Rukun Warga (RW) yang dibentuk. Padahal fungsi pengurus RT dan RW juga berkaitan dengan keamanan lingkungan. Adanya RT dan RW di rumah susun juga memudahkan warga berembug, dipimpin oleh Ketua RT atau Ketua RW, mengenai berbagai permasalahan yang terjadi di lingkungan mereka.

RT dan RW juga menjembatani warga dengan pemangku kebijakan yang lebih tinggi, misalnya lurah atau camat setempat. Sehingga bila ada permasalahan yang tidak terselesaikan di tingkat RT atau RW, para pemangku kebijakan di atasnya dapat memberikan solusi. “Aku juga enggak tahu, kenapa sampai sekarang kok enggak dibentuk,” kata Syima.

Akibat tidak adanya kepengurusan ini, masalah-masalah baru pun muncul. Informasi yang didapat suarasurabaya.net terjadi praktik sewa yang dilakukan oleh oknum di luar pengelola Rusunawa Gunungsari. Misalnya, penghuni yang terdaftar ternyata menyewakan kembali unit yang seharusnya dia tempati kepada orang lain.

Para penghuni nakal ini, baik secara langsung maupun secara tidak langsung (melalui calo) menyewakan kembali hak penggunaan unit rumah susun dengan biaya sewa lebih tinggi kepada orang lain yang tidak terdaftar sebagai penghuni yang berhak. Syima membenarkan hal ini. Fakta adanya oknum yang menyewakan kembali unit di rusunawa ini ternyata sudah menjadi rahasia umum warga Rusunawa Gunungsari.

Tidak hanya terjadi di Rusunawa Gunungsari, masalah oknum yang menyewakan kembali rusunawa ini ternyata juga terjadi di rusunawa lain yang ada di Surabaya. Yudanto Ramadon Pengurus Bidang Rumah Susun Real Estate Indonesia (REI) Jawa Timur mengatakan, dia mendapatkan informasi adanya praktik itu di Rusunawa Grudo, Jalan Pandegiling, Banyu Urip, Surabaya. “Ini kan tidak sesuai dengan konsep rusunawa. Apa yang menjadi tujuan rusunawa tidak tercapai. Pemkot Surabaya harus membenahi hal ini,” katanya.

Yudanto mengatakan, dalam penyediaan rusunawa di Surabaya, Pemkot Surabaya juga harus mengimbangi dengan sistem pengelolaan yang tepat. Akan menjadi percuma, bila ternyata antara pengelola rusunawa dengan para pihak yang tidak bertanggungjawab di rusunawa itu terjadi kongkalikong dalam hal penyewaan kembali unit-unit yang memang sudah tidak dimanfaatkan oleh pengguna yang terdaftar.

“Pemkot harus memastikan dulu bahwa hal ini tidak terjadi. Kalau tetap ada kongkalikong seperti itu, permasalahan seperti ini tidak akan kelar. Pengelolaan rusunawa ini di Dinas Pengelolaan Bangunan dan Tanah, jadi seharusnya mereka yang bisa mengawasi dan memastikan praktik demikian tidak lagi ada,” ujarnya.

Dampaknya, kata Yudanto, adalah stigma masyarakat tentang konsepsi tinggal di rusunawa di Surabaya. Apabila praktik penyewaan kembali unit rusunawa dengan harga yang lebih mahal ini masih terjadi, maka masyarakat Surabaya, tidak hanya warga yang tinggal di Bantaran Sungai, akan tetap menganggap bahwa tinggal di rusunawa itu ribet.

“Stigma rumah susun ini, bagi masyarakat kelas menengah itu sama. Tinggal di rumah susun bagi mereka tidak lebih baik dari tinggal di kos-kosan. Stigma ini harus diubah pelan-pelan. Caranya, ya dengan memastikan bahwa praktik itu tidak terjadi lagi, dan pengelola, dalam hal ini Pemkot Surabaya, juga memberikan fasilitas yang setidaknya cukup. Tidak mewah, tapi cukup,” katanya.

Fasilitas cukup yang dia maksud, rusunawa yang memang dibangun untuk MBR, setidaknya memiliki sanitasi lebih terjamin. Selain itu, biaya sewa rusunawa harus lebih murah. Fasilitas lain yang perlu disediakan, adalah lahan parkir yang aman dan unit rusunawa yang bisa dimanfaatkan oleh penghuni yang berprofesi sebagai pedagang.

“Lahan parkir yang saya maksud di sini bukan untuk mereka yang sudah memiliki mobil ya. Karena saya kira kalau bisa membeli mobil, kenapa harus tinggal di rusunawa. Parkir yang saya maksud untuk sepeda motor, dengan standar keamanan yang memadai. Memang di rusunawa fasilitasnya tidak mungkin sama dengan yang ada di apartemen, tapi setidaknya pengelola memberikan fasilitas berkala dan maksimal,” katanya.

Yudanto berharap, penghuni rusunawa yang dulunya berdagang jangan sampai kehilangan sumber pendapatan setelah tinggal di rusunawa. Dia menyebutkan, ada ketentuan ruang kosong (unit) di rusunawa sebanyak 6 persen yang bisa dimanfaatkan bagi penghuni untuk menjalankan usaha.

Pengupayaan fasilitas-fasilitas yang memadai sebagaimana yang disebut Yudanto, bisa memperbaiki citra rusunawa di mata masyarakat. Sehingga rusunawa bisa dianggap sebagai hunian yang layak, yang bisa memberikan kehidupan lebih baik bagi warga berpenghasilan rendah, daripada tinggal di perkampungan yang bisa dikatakan “kumuh.”

“Memang membutuhkan waktu yang cukup lama untuk mengubah stigma ini. Sebenarnya, tinggal di rusunawa tidak semenakutkan itu. Karena rusunawa ini adalah satu-satunya solusi terbatas dan mahalnya lahan untuk rumah tinggal di Surabaya,” ujar General Manager PT Kings Land Development ini.

Siapkan Rusunawa yang Lebih Rapi

Rumah susun sederhana sewa (rusunawa) sebagai solusi penyediaan hunian layak bagi Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR) agaknya akan terus dibangun, baik oleh Pemerintah Daerah maupun Pemerintah Pusat.

Pemerintah Kota Surabaya pada 2015 lalu telah mengajukan pembangunan sejumlah rusunawa di atas lahan bekas tanah kas desa (BTKD) seluas 152.100 meter persegi. Tujuannya untuk mengurangi angka backlog (kekurangan rumah tinggal) di Surabaya, serta untuk menjauhkan warga dari risiko tinggal di bantaran sungai.

Di atas lahan itu, Pemkot mengajukan pembangunan rusunawa baru kepada Kementerian PU dan Perumahan Rakyat (PUPR). Antara lain di kawasan Keputih sebanyak 12 blok di atas lahan seluas 25 ribu meter persegi; empat blok di Tambaksari dengan luas tanah 13 ribu meter persegi; enam blok rusunawa di Dukuh Menanggal dengan ketersediaan lahan 20 ribu meter persegi; Sememi 4 blok di atas lahan 7 ribu meter persegi; di Penjaringan Sari satu blok seluas 1.700 meter persegi; satu blok di Jambangan dengan luasan lahan yang sama dengan di Penjaringan Sari; dua blok di Gununganyar dengan luas lahan 3.600 meter persegi; dua blok di Pagesangan dengan lahan 3.800 meter persegi; 20 blok di Bulak dengan luasan lahan 32 ribu meter persegi; 25 blok di Benowo di atas luas lahan 43 ribu meter persegi; dan satu blok di Siwalankerto dengan luas tiga ribu meter persegi.

Proyek sebelumnya yang telah selesai dikerjakan dan siap huni adalah Rusunawa Romokalisari. Empat blok di rusunawa tipe 24 ini adalah sebagian dari 10 blok rusunawa yang dikerjakan sepanjang tahun 2015 lalu dengan biaya dari Kementerian PUPR.

September 2015 lalu Tri Rismaharini Wali Kota Surabaya meresmikan empat blok tersebut secara simbolis dihadiri warga yang telah melalui verifikasi sehingga berhak menempati unit di rusunawa itu. Biaya sewa di rusunawa ini tergolong sangat murah. Antara lain untuk lantai 1 sewanya Rp59 ribu per bulan, lantai 2 sewanya Rp53 ribu per bulan, lantai 3 sewanya Rp48 ribu per bulan, lantai 4 hanya Rp43 ribu per bulan, dan lantai 5 hanya Rp39 ribu per bulan.

Pemkot Surabaya sengaja mengkhususkan sebagian besar penghuni rusunawa bagi warga yang bekerja di sekitar lokasi rusun, serta para nelayan dengan anggota keluarga tidak lebih dari empat orang.

Sementara untuk 11 rusunawa yang telah diajukan oleh Pemkot Surabaya ke Kementerian PUPR pada 2015 lalu, saat ini sudah ada yang mencapai tahap akhir. Agus Supriyo Kepala Bidang Pemanfaatan Bangunan Dinas Pengelolaan Bangunan dan Tanah (DPBT) Kota Surabaya mengatakan, rusunawa Dukuh Menanggal dan Keputih telah memasuki tahap akhir dengan proses pengerjaan mencapai lebih dari 70 persen hingga November 2016 ini.

“Rusunawa dukuh menanggal sudah 85 persen sedangkan rusunawa Keputih yang menjadi dua bangunan Keputih I dan Keputih II telah mencapai lebih dari 75 persen,” katanya Kamis (17/11/2016). Agus menargetkan, kedua rusunawa ini tuntas pada akhir Desember 2016.

Dalam hal konsep, Pemkot Surabaya memastikan bahwa kedua rusunawa ini bisa menjadi percontohan untuk pembangunan proyek rumah susun lainnya yang mementingkan kerapian. Kedua rusunawa baru ini memiliki area khusus menjemur pakaian yang bertujuan agar penghuni tidak menjemur pakaian sembarangan.

Pemkot Surabaya beranggapan,kebiasaan penghuni rusun menjemur pakaian sembarangan selama ini menjadikan rusunawa tampak semrawut dari luar. Hal ini yang menyebabkan citra rusunawa di mata sebagian besar warga tak ubahnya permukiman kumuh dan tidak layak huni. Agus menjelaskan, area jemuran ini dapat dijumpai di setiap sudut tower di masing-masing lantai. “Kami berharap, kalau semakin rapi, citra rusunawa akan lebih baik lagi di mata masyarakat,” ujarnya.

Rusunawa Dukuh Menanggal memiliki model satu tower setinggi lima lantai. Ada 114 unit rumah bertipe 24 yang dapat ditempati oleh warga yang telah mengajukan diri dan lolos verifikasi. Sementara, rusunawa Keputih I memiliki empat lantai yang terdiri dari 50 unit tempat tinggal tipe 36. Keputih II tidak jauh berbeda, hanya saja bangunan ini memiliki satu lantai lebih banyak dari Keputih I dengan total 66 unit tempat tinggal bertipe 36.

DPBT Surabaya mencatat, hingga November 2016 ini sudah ada 4.960 pemohon yang mengajukan diri untuk tinggal di rusunawa yang ada di Surabaya. Sebanyak 3.670 pemohon dinyatakan telah memenuhi syarat seperti memiliki Kartu Tanda Penduduk (KTP) Surabaya; telah menyerahkan surat pernyataan tidak memiliki rumah; dan tergolong masyarakat berpenghasilan rendah melalui surat keterangan tidak mampu (SKTM). Pemkot Surabaya menerapkan kebijakan, warga yang telah menjalani relokasi dari bantaran sungai akan didahulukan sebagai pemilik hak huni rusunawa.

Pemkot Surabaya pun terus mengusulkan pembangunan rusun baru kepada Kementerian PUPR. Beberapa diantaranya juga sudah masuk dalam rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Surabaya 2017 yang masih dalam pembahasan bersama oleh Badan Musyawarah dan Badan Anggaran DPRD Kota Surabaya serta Tim Anggaran Pemkot Surabaya.

Dari kekuatan rancangan APBD 2017 sebesar Rp8,3 triliun yang telah diajukan oleh Pemkot Surabaya, Rp20 miliar diantaranya khusus untuk pembebasan lahan yang akan digunakan sebagai lahan rusunawa baru. Hendro Gunawan Sekretaris Daerah (Sekda) Kota Surabaya mengatakan, Pemkot Surabaya sudah mengsulkan pembangunan enam rusun baru. Salah satunya rusunawa di Gunung Anyar.

“Di Gunung Anyar kami yang menyiapkan lahan, nanti yang bangun tetap (Pemerintah) Pusat. Ada lima rusunawa lain yang akan dibangun dengan APBD Surabaya, tapi lokasinya saya kurang ingat,” ujarnya Kamis (17/11/2016) lalu. Hendro mengatakan, enam rusunawa yang akan dibangun di Surabaya itu peruntukannya sama, yakni bagi warga Surabaya yang tinggal di bantaran sungai dan bagi warga Surabaya yang tinggal di permukiman kurang layak.

Rencana Pemkot Surabaya ini sejalan dengan rencana Pemerintah Pusat untuk membangun hampir 13 ribu unit rumah susun di seluruh Indonesia pada 2017 mendatang. Peruntukannya tidak hanya bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) tapi juga untuk para pekerja atau buruh industri, pegawai negeri sipil (PNS), anggota TNI/ Polri, juga bagi mahasiswa dan santri pondok pesantren.

Kementerian PUPR sebagai inisiator rencana ini telah menyiapkan anggaran yang cukup besar. Syarif Burhanuddin Direktur Jenderal Penyediaan Perumahan Kementerian PUPR beberapa waktu lalu dalam sebuah kesempatan di Komsi V DPR RI mengatakan, Ditjen Penyediaan Perumahan Kementerian PUPR telah menganggarkan Rp 4,754 triliun atau 51,71 persen dari total pagu anggaran Ditjen Penyediaan Perumahan pada Tahun Anggaran (TA). Syarif berharap, pembangunan rusun ini dapat menjadi solusi hunian layak bagi masyarakat di seluruh Indonesia.

Dalam menyediakan rusun di Indonesia, Kementerian PUPR juga menargetkan kesesuaian klasifikasi penghuni yang disasar. Kementerian PUPR menargetkan Rusun untuk mengatasi kawasan kumuh sebanyak 3.050 unit, untuk buruh industri sebanyak 222 unit, PNS 706 unit, TNI 510 unit, Polri 322 unit, mahasiswa 224 unit dan untuk santri pondok pesantren sebanyak 300 unit.

Hanya saja, berapa banyak pun pemerintah membangun rusunawa di negeri ini, bila stigma masyarakat tidak berubah, semua akan menjadi sia-sia. Apalagi bila masih ada oknum-oknum yang sengaja memanfaatkan niat baik pemerintah memberikan hunian yang layak, dengan melakukan berbagai cara demi mendapatkan keuntungan pribadi.(den/iss)

Teks Foto:
-. Lorong Rusunawa Gunungsari lantai 2 tempat tinggal Syima yang sudah terpasang tegel putih.
-. Unit berukuran 40 meter persegi tempat tinggal Syima dan keluarganya yang tidak bisa dikatakan luas.
Foto: Denza Perdana suarasurabaya.net

Berita Terkait

..
Potret NetterSelengkapnya

Massa Hari Buruh Berkumpul di Frontage Ahmad Yani

Motor Tabrak Pikap di Jalur Mobil Suramadu

Mobil Tertimpa Pohon di Darmo Harapan

Surabaya
Minggu, 12 Mei 2024
29o
Kurs