Senin, 20 Mei 2024

Sultan Yogyakarta Menilai Demokrasi Alat untuk Menghargai Hak Masyarakat

Laporan oleh Farid Kusuma
Bagikan
Sri Sultan Hamengkubuwono X dalam dialog bersama Pimpinan MPR RI di Yogyakarta, Jumat (19/10/2018). Foto: Humas MPR

Sri Sultan Hamengkubuwono X Gubernur Yogyakarta menyatakan, Republik Indonesia punya pilihan untuk melaksanakan demokratisasi di mana kedaulatan ada di tangan rakyat.

Tapi, demokrasi itu bukan tujuan, melainkan alat untuk menghargai hak masyarakat. Dan, pemerintah punya kewajiban untuk memajukan dan menyejahterakan bangsa ini, sesuai dengan tujuan awal founding fathers menyatakan diri membuat negara yang merdeka.

“Sebaiknya para tokoh nasional, elite politik mencoba merenung, mengevaluasi bahwa 73 tahun kita merdeka sebetulnya perjalanannya sesuai tujuan para founding fathers tidak sih?” ujarnya dalam diskusi MPR RI di Yogyakarta, Jumat (19/10/2018).

Demokrasi, menurut Sultan Yogyakarta, tidak hanya satu jalur. Tapi semua negara mengatakan demokratis. Korea Utara pun mengatakan demokrasi ala Korea Utara, Tiongkok mengatakan demokrasi ala Tiongkok, Amerika Serikat demokrasi ala Amerika.

“Kenapa kita tidak bisa mengatakan demokrasi ala Indonesia? Bangsa ini dasarnya negara kesatuan republik yang memang bhineka tunggal ika, kemajemukan. Di dalam kebersamaan membangun, dari yang berbeda-beda itu menyatakan diri satu. Makanya di Pancasila bukan kesatuan Indonesia, tapi Persatuan Indonesia,” katanya.

Menurutnya, bhineka sudah final karena yang berbeda beda sudah menyatakan diri satu. Mestinya, lanjut Sri Sultan HB X, dengan prinsip ‘Ika’ itu kita mengakui juga yang berbeda-beda.

“Tapi, kita tidak pernah diberitahu oleh para pemimpin. Selalu bicaranya, bhinneka, kemajemukan, tapi tidak pernah dikatakan yang Ika itu pun harus menerima perbedaan. Kalau itu yang dilakukan, berarti tidak ada mayoritas dan minoritas karena minoritas pun dijamin UUD,” tegasnya.

Lebih lanjut, Gubernur DIY berharap para tokoh nasional bicaranya tidak selalu kalah menang, mayoritas minoritas. Menurutnya, sangat penting UUD yang sudah diamandemen lima kali perlu diamandemen lagi. Karena, disana Bhinneka Tunggal Ika dikatakan simbol negara.

“Bagi saya, untuk apa kalau Bhinneka Tunggal Ika dikatakan simbol negara, harus masuk dalam pasal? Bagi saya, Bhinneka Tunggal Ika itu bukan sekadar simbol negara, tapi strategi integrasi bangsa. Sehingga yang kecil apa pun, parpol mau pun etniknya tetap menjadi bagian besar Negara Indonesia,” pungkasnya.(rid/tin/ipg)

Berita Terkait

..
Potret NetterSelengkapnya
Surabaya
Senin, 20 Mei 2024
26o
Kurs