Sabtu, 27 April 2024
Polemik Taman Remaja Surabaya

PT STAR: Masalah Utamanya Adalah Perpanjangan HGB di Atas HPL

Laporan oleh Denza Perdana
Bagikan
Sejumlah karyawan PT STAR duduk di dekat permainan Twin Dragon yang cukup legendaris di Taman Remaja Surabaya (TRS), Rabu (5/9/2018). Sejak disegel, TRS tidak lagi beroperasi. Foto: Denza Perdana suarasurabaya.net

Didik Harianto Direktur Operasional PT Sasana Taruna Aneka Ria (STAR) selaku pengelola Taman Remaja Surabaya (TRS) merespons pernyataan Pemkot Surabaya tentang pelbagai pelanggaran PT STAR.

Soal ketidaksesuaian jumlah bangunan dengan IMB. Pemkot Surabaya menyatakan ada 12 bangunan tidak masuk dalam IMB Taman Remaja Surabaya tahun 1993. Didik mengatakan, sejak dia masuk sebagai Direktur Operasional pada 2009 lalu, bangunan TRS sudah seperti itu.

Seharusnya, kata dia, Pemkot Surabaya sudah mengetahui hal ini karena ada perwakilan dari Pemkot Surabaya selaku pemegang saham berada di direksi PT STAR yang saat itu menjabat sebagai Direktur Umum yang bernama Mohammad Faruq.

“Saya juga sudah menyampaikan hal ini melalui surat ke Pemkot Surabaya. Tapi, ya, mencoba mengurus perubahan IMB itu. Masalahnya, salah satu syaratnya adalah HGB di atas HPL,” ujarnya saat ditemui suarasurabaya.net di kantornya, Rabu (5/9/2018).

Didik menunjukkan dokumen surat pengajuan perpanjangan Hak Guna Bangunan (HGB) di atas Hak Pengelolaan (HPL) yang dilayangkan Richard Chiu Presiden Direktur PT STAR, sekaligus Pemilik Far East Organization (Panama) Corporation (FEO), pemegang saham terbesar PT STAR, pada 2006 silam.

Surat permohonan itu, ditujukan kepada Bambang Dwi Hartanto Wali Kota Surabaya saat itu. Menurut Didik, balasan surat itu berupa nota persetujuan Pemkot Surabaya, namun belum ada realisasi perpanjangan karena alasan tertentu.

“Sebenarnya Pak Bambang DH tidak ada masalah. Tapi karena alasan peralihan kepemimpinan, perpanjangan itu belum terealisasi. Informasi yang saya dapat dari Direktur sebelumnya seperti itu,” ujarnya.

Hingga akhirnya tujuh tahun kemudian, 2013 silam, surat balasan merespons permohonan perpanjangan HGB di atas HPL itu dilayangkan Tri Rismaharini selaku Wali Kota Surabaya saat itu. Isinya usulan pembubaran PT STAR.

“Ini suratnya. Dan bunyinya memang seperti itu, tidak ada penjelasan lebih lanjut tentang alasan pembubaran ini. Bahkan di RUPS (Rapat Umum Pemegang Saham) sampai terakhir 2016 lalu. Pemkot mintanya, ‘bubar dulu’,” ujarnya.

Karena tidak adanya perpanjangan HGB di atas HPL itulah, Didik mengaku tidak bisa mengajukan penyesuaian IMB untuk menambahkan 12 bangunan yang belum terdaftar pada IMB sebelumnya.

Persoalan yang sama juga dihadapi oleh Didik ketika akan mengurus izin penyimpanan limbah B3 ke Dinas Lingkungan Hidup.

Pemkot Surabaya menyebutkan, PT STAR dinyatakan melanggar Pasal 12 ayat 3 PP no 101 tahun 2014 jungto Pasal 5 ayat 1 huruf a perwali no 26 tahun 2010, karena tidak memiliki izin penyimpanan sementara limbah B3.

“Saya sudah berupaya mengurusnya. Buktinya saya dapat surat hasil uji udara, asap genset, dan pengujian limbah air dari DLH, 20 April kemarin. Ini ada semua berkasnya. Giliran saya mengurus izin penyimpanan limbah B3, salah satu syaratnya HGB lagi. Mana bisa?” ujarnya.

Tidak adanya perpanjangan HGB di atas HPL ini juga, kata Didik, yang menyebabkan FEO sebagai pemegang saham terbesar tidak berani melakukan pengembangan TRS melalui PT STAR.

TRS stagnan sejak 2006 lalu. Tidak ada pengembangan maupun pembaruan wahana yang terlalu signifikan sehingga tidak mampu bersaing dengan Taman Rekreasi lain yang ada di Surabaya.

Pengunjung TRS terus menurun. Terutama sejak adanya wacana penutupan TRS oleh Pemkot Surabaya pada 2015 lalu, yang mengakibatkan penurunan pengunjung hingga lebih dari 50 persen.

Kondisi keuangan perusahaan pun terus merosot setelah isu penutupan pada 2015 itu. Sehingga untuk membayar iuran BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan karyawan, Didik mengaku tidak mampu.

“Mulai 2015 itu TRS hancur. Padahal, Pak Richard Chiu sebagai pemilik saham sebenarnya ingin membesarkan TRS. Pengembangan sudah direncanakan dengan baik. Kami sudah beli lahan baru untuk rencana ini. Tapi yang di sana (FEO) perlu kepastian hukum,” katanya.

Sampai masalah terakhir adalah kasus Tanda Daftar Usaha Pariwisata (TDUP) yang dibatalkan oleh Dinas Pariwisata Surabaya pada 27 Agustus, yang berujung pada penyegelan TRS pada 31 Agustus lalu.

PT STAR disebut melanggar Peraturan Wali Kota (Perwali) Surabaya 25/2014 tentang Tata Cara Penyelenggaraan Usaha Pariwisata tentang syarat minimal usaha Taman Rekreasi.

Syarat minimal lahan Taman Rekreasi berdasarkan Perwali itu seluas 3 hektare, sementara lahan TRS, sebagaimana tertulis dalam TDUP PT STAR yang diterbitkan pada 2013, hanya seluas 1,6 hektare.

“Apakah aturan ini bisa berlaku mundur? Padahal TRS ini sudah berdiri lebih dari 47 tahun dan memberikan kontribusi positif. Saya sudah menyampaikan ini dalam surat kepada Bu Antiek (Kepala Disbudpar), tapi tidak direspons,” ujarnya.

Sebelumnya, pada 21 Juni 2018 lalu, Dinas Pariwisata dan Kebudayaan mengirimkan surat pemberitahuan agar PT STAR menyesuaikan TDUP yang dimiliki sesuai luasan yang disyaratkan Perwali dalam waktu 30 hari.

“Bagaimana menurut sampeyan, bisa? Saya coba mengurusnya, tapi TDUP tahun 2013 itu terdaftar atas nama Pak Richard Chiu. Pemkot sendiri tahun 2013 lalu yang meminta, harus atas nama Presiden Direkturnya, saya menurut saja. Ini kemudian dipermasalahkan,” ujarnya.

Saat Didik berupaya mengurus TDUP itu, petugas Disbudpar menanyakan Nomor Induk Kependudukan (NIK) Richard Chiu yang namanya terdaftar dalam TDUP sebagai Direktur Utama PT STAR untuk perubahan TDUP secara online.

“Pak Richard Chiu ini domisili di Prancis. Mana punya NIK? Saya tanya, apa tidak bisa diganti nama saya saja? Saya punya NIK Indonesia. Tapi alasannya, pengurusan itu online, jadi tidak bisa. Saya minta solusi, petugas itu bilang tetap tidak bisa, karena pengurusan itu online,” ujarnya.

Didik kini memasrahkan permasalahan ini kepada kuasa hukum FEO yang ada di Surabaya. Menurutnya, akan ada langkah hukum yang akan dilakukan berkaitan dengan rentetan penyegelan TRS ini.

“Saya tidak tahu langkahnya bagaimana. Saya belum ketemu beliaunya. Kalau sudah ada langkah hukum yang pasti, saya akan merencanakan RUPS Luar Biasa,” ujarnya.

Didik kini meminta 80 orang karyawannya bertahan selama tiga bulan ke depan meski TRS tidak beroperasi, berharap ada kepastian dari proses hukum yang akan dilakukan.

“Seharusnya tidak perlu seperti ini. Pak Richard hanya berharap bertemu Bu Risma. Seperti dalam surat-surat balasannya kepada Bu Risma. Dua pihak ini seharusnya bisa duduk bersama membicarakan hal ini secara baik-baik,” katanya.

Perlu diketahui, PT STAR berdiri sejak 1971 silam di masa kepemimpinan Raden Soekotjo sebagai Wali Kota Surabaya.

Perusahaan ini dimiliki dua pemegang saham: Far East Organization (Panama) Corporation (FEO) dan Pemkot Surabaya yang masing-masing memiliki 62,5 persen dan 37,5 persen.

Perjanjian penggunaan tanah, yang menurut Didik, telah diperbarui pada 1997 silam dengan kesepakatan penggunaan tanah selama 20 tahun terhitung sajak 2006-2026 mendatang.(den/dwi/ipg)

Potret NetterSelengkapnya

Motor Tabrak Pikap di Jalur Mobil Suramadu

Mobil Tertimpa Pohon di Darmo Harapan

Pagi-Pagi Terjebak Macet di Simpang PBI

Surabaya
Sabtu, 27 April 2024
32o
Kurs