Jumat, 29 Maret 2024

Ethnomatika, Metode Baru Mengajar Matematika Melalui Budaya

Laporan oleh Anggi Widya Permani
Bagikan
Dyah Worowirowirastri Ekowati, salah satu penggagas metode Ethnomatika. Foto: Antara

Tiga dosen Program Studi Pendidikan Guru Sekolah Dasar (PGSD) Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) mengenalkan metode baru dalam mengajar matematika dengan menggunakan budaya sebagai medianya, yakni metode Ethnomatika.

“Keanekaragaman budaya Nusantara menjadi identitas suatu bangsa, khususnya Indonesia. Hal ini yang mengilhami kami untuk menulis buku Ethnomatika sebagai metode pembelajaran matematika dengan menggunakan budaya sebagai media,” kata Dyah Worowirowirastri Ekowati, dilansir Antara, Sabtu (20/4/2019).

Selain Dyah, ada dua dosen PGSD UMM lain yang juga berkecimpung untuk menyelesaikan buku Ethnomatika tersebut, yakni Dian Ika Kusumaningtyas dan Nawang Sulistrani.

Lebih lanjut, Dyah mengatakan Ethnomatika berasal dari gabungan dua kata, yaitu Etnik atau kebudayaan dan Matematika. Secara harfiah bisa diartikan pembelajaran matematika dengan menggunakan budaya sebagai medianya. Jadi, siswa tidak hanya belajar saja, tetapi mereka juga bisa mengenal budaya Nusantara lewat matematika.

Menurut Dyah, Ethnomatika pertama kali diperkenalkan oleh D’Ambrosio, seorang matematikawan Brasil pada tahun 1977. Namun dalam perjalanannya mengalami perkembangan dan mulai dikenal luas di berbagai belahan dunia. Karena pembelajarannya yang lebih efektif dan simpel melalui media yang ada di sekitar siswa.

“Pembelajaran matematika, khususnya untuk anak SD, musti diajari sesuatu yang konkrit. Jadi tidak bisa hanya menjelaskan materi dan memberikan soal saja. Karena di Matematika, ada program yang dinamakan Matematika Realistik. Menggunakan benda-benda realistik yang ada di sekitar, lewat budaya misalnya,” papar Dyah.

Pada permainan Engklek, misalnya, secara tidak langsung siswa juga belajar Matematika saat melewati petak yang sudah diberi angka dan menghitung jumlah angka yang dilewati. Selanjutnya, membentuk rumah adat yang terdiri atas bangun datar apa saja dan membentuk kelompok yang terdiri dari segitiga, dan lainnya.

Kemudian, sambung Dyah, melalui permainan Engklek siswa juga diajak bermain dengan membentuk rumah adat berdasarkan kelompok-kelompok yang telah dibagi. Lalu siswa dipersilahkan untuk memadupadankan antarkelompok sehingga membentuk rumah adat dari bangun datar-bangun datar tersebut.

Penerapan buku ini telah dilakukan dalam penelitian dan pengabdian di sekolah-sekolah. Ini adalah bagian dari pengembangan program Direktorat Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat (DPPM) dalam pembuatan buku bagi dosen. Metode Ethnomatika lahir tahun 2017 dan untuk proses cetak lanjutan akan dilakukan tahun ini.

Melalui metode ini, pertama, Matematika menjadi lebih realistis. Kedua, pembelajaran Etno (melalui observasi) merupakan wahana belajar sambil bermain dan “outdoor learning” bagi siswa. Ketiga, memperkenalkan kebudayaan kepada siswa. Dengan begitu diharapkan mereka memiliki kepedulian untuk melestarikannya.

Selain itu, lanjutnya, juga mampu memacu siswa untuk terus mensyukuri kenikmatan Tuhan atas benda di sekitarnya. Nilai ini sesuai dengan nilai karakter dalam kurikulum 2013. Ini beberapa keunggulan dari pembelajaran berbasis Ethnomatika.

“Belajar Matematika itu tidak abstrak saja, tetapi mampu diterapkan dalam kehidupan nyata. Karena bagi saya belajar Matematika itu bukan hanya bicara tentang rumus. Lebih dari itu, Matematika adalah aktivitas dan bahasa dalam kehidupan sehari-hari,” ucapnya. (ant/ang/iss)

Berita Terkait

Potret NetterSelengkapnya

Kecelakaan Mobil Porsche Seruduk Livina di Tol Porong

Mobil Tertimpa Pohon di Darmo Harapan

Pagi-Pagi Terjebak Macet di Simpang PBI

Surabaya
Jumat, 29 Maret 2024
27o
Kurs