Minggu, 5 Mei 2024

Membiasakan Literasi Jadi Budaya Keluarga

Laporan oleh Denza Perdana
Bagikan
Sejumlah anak dan orang tua saat mengunjungi Perpustakaan Keliling di Taman Bungkul. Foto: Denza suarasurabaya.net

“Mbak, kok, anak saya belum bisa ngomong jelas, ya?” Tanya Larasati Putri kepada bidannya Aksara dan Askara, dua anaknya yang berusia 23 bulan. Padahal, Laras merasa sejak awal dia dan suaminya sudah membiasakan mendongeng untuk si kembar.

Setelah menimbang dan mengukur panjang badan Aksara dan Askara, si bidan menanyakan kebiasaan anak-anak di rumah. Berapa lama mereka bermain? Berapa lama menonton televisi? Sampai kebiasaan komunikasi orang tua dan anak di rumah.

“Detail banget. Kalau komunikasi di rumah pakai bahasa apa aja? Terus sama siapa aja mereka komunikasi pakai bahasa itu? Ya aku ceritain semua. Sampai aku praktekin kebiasaanku main sama anak-anak,” katanya kepada suarasurabaya.net.

Larasati adalah ibu muda yang sehari-hari bekerja sebagai salah satu spesialis media sosial di Radio Suara Surabaya. Deny Ary Sandy, suaminya, spesialis komunikasi pemasaran di salah satu rumah sakit swasta di Surabaya. Dua-duanya bekerja di bidang komunikasi.

Wajar mereka cemas. Tabel tahap perkembangan anak di tempat praktik bidan maupun di Puskesmas menyebutkan, bayi sudah bisa mengucap beberapa kata di usia 18 bulan. Aksa dan Aska sudah 23 bulan, tapi belum satu pun kata yang jelas mereka ucapkan selain “Bunda” dan “Ayah”.

Bidan yang ditanya Laras pun menyarankan, “Ibu itu kalau mendongeng harus ekspresif. Enggak kayak baca novel. Harus face to face, bersuara keras tapi tidak terlalu cepat. Harus ekspresif!” Nah, kata Laras dengan nada agak kesal, “kena marah deh sama mbak bidan.”

Sejak hari itu, Laras terus menerapkan saran si bidan saat mendongeng dan bermain dengan Aksa dan Aska. Yang hebat, di tengah kesibukan Laras dan Sandy di kantor masing-masing, sebisa mungkin mereka jalankan “ritual dongeng” ketika di rumah bersama anak-anaknya.

Mereka sesuaikan waktu mendongeng itu dengan jam kerja mereka. Laras sendiri, jam kerjanya tidak tentu. Kadang masuk pagi sampai siang, kadang siang sampai malam. Sandy sendiri kadang-kadang juga bisa pulang sampai larut malam.

“Biasanya setiap jam 10 sampai jam 11 siang, aku biasakan baca buku bareng or main sama anak-anak. Kalau malam, sekitar setengah delapan-an lah. Soalnya, anak-anak itu kalau mau tidur malah lonjak-lonjak, lari-lari, main sama ayahnya,” katanya.

Musdiq Ali Suhudi Kepala Dinas Perpustakaan dan Kearsipan (Dispusip) Surabaya mengatakan, kebiasaan mendongeng sudah sangat luntur. Apalagi di Kota Metropolitan Surabaya, di tengah pesatnya perkembangan teknologi.

“Sudah cukup jarang orang tua yang terbiasa mendongeng untuk anaknya. Rata-rata mereka (orang tua) menyerahkan kepada gadget (gawai) untuk mengajari anak-anaknya. Iya, sekarang ini seperti itu,” katanya, Sabtu (28/9/2019).

Dispusip Surabaya berupaya menumbuhkan kembali budaya mendongeng. Selain menambah wadah literasi Kota Surabaya berupa Taman Bacaan Masyarakat (TBM), Dispusip gencar mengajak orang tua sadar akan pentingnya budaya literasi keluarga.

Salah seorang anak penghuni Rusun Grudo, Surabaya memilih buku di TBM Rusun Grudo. Foto: Humas Pemkot Surabaya

Pada 2019, Dispusip Surabaya akan menambah 66 TBM baru di sejumlah permukiman dan rumah susun. Kalau sudah jadi, total TBM di 31 kecamatan di Surabaya sampai akhir 2019 menjadi 467 titik. Dengan jumlah sebanyak itu, setiap kelurahan punya lebih dari satu TBM.

“Penambahan TBM ini, selain karena hasil Musrenbang, supaya masyarakat punya alternatif sumber bacaan yang lebih bisa dipertanggungjawabkan daripada mengandalkan gadget,” ujarnya. “Kami juga dukung budaya literasi keluarga dengan mengedukasi orang tua.”

Sekitar dua bulan lalu, Dispusip Surabaya menyelenggarakan lomba menulis anak sekaligus lomba mendongeng bagi orang tua, di Perpustakaan Dispusip di kawasan Rungkut, Surabaya. Di perpustakaan itu juga ada kelas belajar untuk anak dan orang tua.

“Perpustakaan itu tidak sekadar pinjam meminjam buku. Di Rungkut kami gelar kelas menulis untuk anak-anak. Waktu anak-anak masuk kelas, orang tua yang mengantar kami kumpulkan, kami beri pengetahuan soal parenting, termasuk mendongeng,” katanya.

Dispusip Surabaya mewajibkan budaya literasi keluarga kepada setiap pegawainya. Sebab, semua pegawai Dispusip adalah duta literasi. Bagaimana bisa sosialisasi literasi kalau sehari-hari mereka tidak menerapkan dalam kehidupan pribadi?

Putri Renny Petugas Perpustakaan Keliling Dispusip Surabaya menyadari itu. Kebetulan, dia dan suaminya sama-sama bekerja sebagai PNS di Dispusip Surabaya. Hamzah, suaminya, bertugas di Bidang Inovasi dan Kreativitas Dispusip Surabaya.

“Di rumah, kami bikin sudut baca buat anak-anak. Kayak rumah atau kemah dari kardus begitu, isinya buku-buku. Abinya dan saya juga tidak segan-segan menjadi tokoh saat mendongeng,” ujarnya kepada suarasurabaya.net.

Di tengah kesibukannya, Renny dan Hamzah sebisa mungkin menjalin komunikasi yang efektif dengan kedua anak mereka. Tidak jarang, waktu mendongeng, mereka perankan tokoh dongeng di buku melibatkan anak-anaknya.

“Misalnya jadi kancil atau hewan lainnya, lalu kami libatkan juga anak-anak. Ya di sudut baca itu. Sebelum tidur, saya dan papanya juga tetap buka buku dongeng buat dibaca sama-sama.”

Selalu Ada Waktu untuk Membangun Ikatan

Karena Renny dan Hamzah sama-sama bekerja, mereka terpaksa menitipkan kedua anaknya di Taman Penitipan Anak (TPA). Anak pertama mereka sudah masuk Taman Kanak-Kanak. Satu lagi masih tiga tahun.

“Anakku yang umur tiga tahun juga aku titipkan ke TPA. TPA di Surabaya ini banyak banget. Memang harus jeli milih yang bagus. Kebetulan di tempat anakku, (di kawasan Bendul Merisi, Surabaya), setiap bulan ada tugas literasi di rumah,” ujarnya.

Renny merasa beruntung, tugas dari Bunda TPA mewajibkan dia dan suaminya melaporkan kegiatan literasi bersama anak-anaknya. Apakah itu dongeng saat di rumah atau kegiatan di hari libur di luar rumah.

Sebagai evaluasi, Bunda TPA meminta anak-anak itu untuk menceritakan kembali apa saja yang sudah mereka lakukan dengan orang tua mereka di luar TPA, terutama saat di mereka rumah.

“Jadi orang tua termotivasi terus untuk mengajak anak-anak membaca, mendongeng. Menurut saya ini sangat bermanfaat. Dengan begitu, anak-anak akhirnya jadi berani cerita,” ujarnya.

Berdasarkan data Satuan Pendidikan Anak Usia Dini Kemendikbud, ada lebih dari 400 Kelompok Bermain (KB) dan lebih dari 40 TPA swasta di Surabaya. Cukup banyak pilihan bagi orang tua yang sama-sama bekerja di Surabaya.

Sama-sama bekerja sekaligus menjadi tantangan bagi orang tua. Nina Dwi Kristianti salah satu pendiri Klub Literasi Anak (KLA) Surabaya membenarkan, banyak kenalannya, para orang tua peserta kelas menulis KLA yang memakai jasa TPA.

“Sekarang ini cari asisten rumah tangga susah banget. Jadi banyak orang tua memilih menitipkan anaknya ke TPA. Atau cari sekolahan sampai sore. Supaya selesai sekolah bareng pulang kerja,” ujarnya.

Tidak sedikit orang tua yang sama-sama bekerja menyadari pentingnya bonding (ikatan) dengan anak-anaknya. Apakah itu sekadar membaca cerita, mendongeng, atau hanya bermain-main bersama.

“Saya kira tidak ada masalah. Sebagian besar yang saya kenal, kalau sudah sama-sama di rumah, mereka membangun bonding dengan anaknya. Kebetulan lingkunganku, di Klub Literasi Anak, kebanyakan seperti itu,” katanya.

Orang tua yang mengikutkan anak-anaknya di kelas-kelas menulis di KLA, menurut Nina, sudah sadar tentang pentingnya literasi. Bahkan di klub itu, cukup banyak pelajar maupun anak kuliahan yang ikut belajar menulis dan mendongeng.

“Cara berpikirnya, kelak kalau mereka sudah punya anak, mereka sudah tahu bagaimana mendongeng untuk anak-anak mereka. Selain mereka juga belajar menulis di KLA ini,” ujarnya.

Nina bilang, tidak hanya mendongeng, banyak orang tua yang sadar manfaat menulis bagi anak-anak mereka. Terbukti, sejak berdiri 2015 lalu, peserta kelas menulis di KLA Surabaya terus bertambah.

Orang tua, kata Nina, mengakui bahwa kelas menulis membuat anak-anak mereka semakin mudah berkonsentrasi dan makin mudah menyampaikan gagasan kepada orang tua dan orang lain.

“Ada anak yang enggak bisa diam. Setelah ikut kelas menulis mereka mau duduk satu jam menulis. Ada juga yang bilang, anaknya tadinya pendiam. Setelah ikut kelas menulis, anak itu bisa mengungkapkan pilihan-pilihan yang dia inginkan,” katanya.

Namun, Nina menyayangkan masih ada sebagian orang tua yang sama-sama bekerja dan menitipakan anaknya di TPA ketika pulang dan merasa capek membebaskan anak mereka mengakses ponsel pintar.

“Mereka merasa, ah, yang ditonton cuma YouTube. Tapi mereka tidak mengawasi tontonannya. Akhirnya banyak yang menonton film kartun berbahasa Inggris, misalnya. Atau malah kartun yang tidak banyak kata-kata,” katanya.

Tantangan Teknologi dalam Budaya Literasi

Larasati Putri maupun Putri Renny pernah mengalami dampak teknologi ini. Aksa dan Aska anak kembar Laras, misalnya, justru lebih bisa mengucapkan kosakata Bahasa Inggris karena sering menonton tayangan televisi atau YouTube berbahasa Inggris.

Sebenarnya itu tidak buruk. Tapi kalau hanya dua kosakata Bahasa Indonesia yang bisa diucapkan Aksa dan Aska sementara banyak angka Bahasa Inggris mereka sebut dengan lancar, Laras dan Sandy menganggap itu masalah. Begitu juga bagi bidannya Aksa dan Aska.

“Aksara Askara, kata Mbak Bidannya, harus mengurangi screen time, nonton televisi atau lihat YouTube. Harus ada substitusi dengan permainan, baca buku, mendongeng. Kalaupun lihat tayangan, harus didampingi,” kata Laras.

Renny dan Hamzah juga punya pengalaman mirip dengan Laras dan Sandy. Renny mengakui, dia pernah salah membiarkan anak-anaknya menonton tayangan YouTube yang selalu Berbahasa Inggris.

Akhirnya, di sekolah, anak-anak mereka tidak mau menyanyi lagu-lagu Indonesia. “Malah waktu anak pertama saya masih PAUD, ngomongnya Bahasa Inggris. Bundanya sampai enggak faham. Aduh, mati aku, bapak ibunya juga enggak bisa Bahasa Inggris,” katanya lalu tertawa.

Tidak mau mengulang kesalahan yang sama, Renny dan Hamzah sampai sekarang selalu mengarahkan tontonan apa yang sesuai untuk anak-anaknya. Mereka juga membatasi waktu bermain gawai.

“Kekerasan enggak. Kan, bisa tuh di YouTube, tayangan yang dibatasi usia tidak bisa dibuka. Anak saya pertama kayak abinya. Suka buka YouTube do it yourself, terus sama abinya langsung dipraktikkan,” katanya.

Film kartun yang lebih banyak bercerita dengan gerakan tokoh minim kata, seperti Shaun The Sheep, misalnya, menurut Nina Pendiri KLA Surabaya juga tidak sesuai untuk balita yang sedang belajar bicara.

Dia pun tidak sepakat dengan pernyataan bidannya Aksa dan Aska bahwa mendongeng itu harus ekspresif, face to face. Membaca buku dongeng untuk anak pun, menurutnya sudah cukup.

“Kartun yang enggak banyak kata-katanya bikin anak berpikir, oh, menyampaikan sesuatu itu cukup dengan gerakan begitu. Jadi bukan tentang mimik muka. Kami selalu bilang, mendongeng itu enggak harus dengan alat bantu atau dengan mengganti suara, cukup bacakan buku dongeng,” katanya.

Mendongeng Itu Mudah

Bagi Kartikanita Widyasari atau yang akrab disapa Kak Nit Nit, Pendongeng Profesional asal Surabaya, mendongeng secara spontan tanpa melupakan pesan dalam cerita karangannya tentu sangat mudah.

Laras atau bahkan Renny yang bekerja di Dispursip Surabaya, tentu tidak semudah itu. Kak Nit Nit pun mengatakan, mendongeng memang tidak harus seperti cara yang biasa dia lakukan.

Seolah sependapat dengan Nina Pendiri Klub Literasi Anak Surabaya, Kak NitNit bilang, membacakan buku-buku dongeng sudah cukup membuat anak senang. Yang penting kegiatan itu jadi kebiasaan.

“Kreativitas dalam mendongeng itu penting. Tapi nanti dulu. Yang penting membangun kebiasaan dulu. Karena kalau sudah mikir kreativitas, pasti nanti tidak jadi kebiasaan, soalnya sudah susah dulu,” ujarnya kepada suarasurabaya.net.

Kak Nit Nit punya saran untuk kedua orang tua yang bekerja dan menitipkan anaknya di TPA atau kelompok bermain. Dia sarankan, orang tua pakai teknik mendongeng kapan saja dan di mana saja.

Esensi mendongeng, kata dia, adalah menyampaikan pesan. Bagaimana pesan itu tersampaikan kepada anak dengan cara yang menarik dan asyik buat mereka.

“Untuk masyarakat yang sibuk di kota-kota besar, bisa pakai teknik dongeng kapan saja di mana saja. Sampaikan pesan dengan durasi satu-dua menit, tergantung pengembangannya. Misalnya sambil nyetir ayah mendongeng,” ujarnya.

Tokoh dalam dongeng bisa siapa saja. Bisa kenalan orang tua. Misalnya, supaya anak mau makan sayur, orang tua bisa menceritakan anak temannya yang terlihat lemah karena tidak mau makan sayur.

Syaratnya, supaya aktivitas mendongeng menjadi efektif, pertama, orang tua harus menyiapkan tubuh dan jiwanya untuk mendongeng. “Menyiapkan hatinya dulu. Dilepas dulu aktivitasnya, handphone-nya ditaruh dulu,” ujarnya.

Peran Keluarga agar Minat Baca Meningkat

Musdiq Ali Suhudi Kepala Dispusip Surabaya optimistis minat baca anak-anak di Surabaya akan terus mengalami peningkatan. Dia akui, Dispusip memang belum memiliki acuan minat baca terbaru masyarakat Surabaya.

“Ini lagi proses pengukuran minat baca. Tapi secara umum, minat baca itu kan bisa diukur dari bermacam-macam komponen. Kami terus meningkatkan program untuk meningkatkan minat baca,” ujarnya.

Salah satu indikator minat baca bisa dilihat dari tingkat kunjungan di semua Taman Bacaan Masyarakat (TBM) di Surabaya. TBM yang buka dari pukul 13.00 WIB sampai pukul 16.00 WIB, rata-rata dikunjungi 20-50 anak.

Sementara untuk Perpustakaan Dispusip Surabaya di Rungkut, serta perpustakaan di Balai Pemuda, Surabaya, pengunjungnya bisa mencapai 100-200 orang per hari. Tapi indikator ini perlu diperbaiki komponennya.

Sembari mengukur tingkat minat baca masyarakat Surabaya, Dispusip Surabaya terus membuat program. Salah satu program itu adalah Gerakan Mendongeng dan Menulis 1.000 (Gendis Sewu).

Gendis Sewu adalah program untuk memunculkan 1.000 penulis dan 1.000 pendongeng baru terutama dari kalangan anak-anak. Karena asumsinya, kata Musdiq, anak-anak yang suka menulis juga suka membaca.

“Peran orang tua untuk meningkatkan minat baca masyarakat ini juga penting. Karena itu, kami juga menggelar lomba mendongeng untuk orang tua,” katanya. “Tidak hanya itu, orangtua juga perlu belajar menulis.”

Kak Nit Nit sebagai pendongeng profesional mengatakan, dia melihat ada kecenderungan peningkatan peran orang tua dalam membudayakan literasi di dalam keluarga. Dia bandingkan kondisi sekarang dengan dua tiga tahun lalu.

“Yang paling bikin kesel itu mendongeng di Mall. Dua tiga tahun lalu saya masih sering lihat anak yang asyik mendengar dongeng saya dicomot gitu aja sama orang tuanya sampai ada yang nangis diajak pulang,” ujarnya.

Namun kondisinya sekarang berbeda. Beberapa kali dia mendongeng di Mall sampai September 2019 ini, orang tua cenderung mendampingi anaknya. “Biar cuma duduk di belakang, tapi seenggaknya sudah tidak ada lagi orang tua yang main comot di tengah-tengah mendengar dongeng,” katanya.

Kegigihan Larasati Putri dan Putri Renny mungkin bisa jadi acuan. Masih ada harapan bahwa generasi muda mendatang sangat akrab dengan budaya literasi dan memiliki minat baca tinggi. Karena mereka sudah terbiasa sejak di lingkungan keluarga.(den)

Berita Terkait

..
Potret NetterSelengkapnya

Massa Hari Buruh Berkumpul di Frontage Ahmad Yani

Motor Tabrak Pikap di Jalur Mobil Suramadu

Mobil Tertimpa Pohon di Darmo Harapan

Surabaya
Minggu, 5 Mei 2024
25o
Kurs