Jumat, 29 Maret 2024

Pola Pikir Adalah Kunci untuk Hidup Bersama Kanker

Laporan oleh Denza Perdana
Bagikan
Endri Kurniawati saat ditemui di rumahnya, di daerah Ketintang, Surabaya, Selasa (4/2/2020). Foto: Denza suarasurabaya.net

Endri Kurniawati tidak akan melupakan saat-saat paling kelam dalam hidupnya, April 2012 silam. Diagnosis dokter menjawab keresahannya tentang benjolan yang dia temukan di bagian atas dada kanannya.

“Saya temukan waktu mandi, mau berangkat ke kantor. Kok, ada benjolan. Saya tunggu sampai menstruasi selesai. Ternyata masih ada,” kata Endri di rumahnya di Ketintang, Surabaya, Selasa (4/2/2020).

Kanker payudara stadium II A grade III membuat hatinya hancur berkeping-keping. Seperti yang Endri ceritakan dalam salah satu bukunya, dia harus “mempersiapkan kematian dengan tergesa-gesa”.

Tetapi kematian ternyata tidak terburu-buru menghampirinya. Dalam kondisi “enggak jadi mati” itulah dia mengaku merasa bingung. Disorientasi. Semua keinginan dalam hidupnya mendadak sirna.

“Ditanya pengen apa? Enggak tahu. Cita-citanya apa? Enggak tahu. Karena sudah telanjur tidak percaya dengan rencana. Cita-cita. Buat apa menata masa depan kalau rencana itu bisa gugur begitu saja?” Ujarnya.

Namun, di tengah keadaan itu, Endri yang sehari-hari menjadi bagian dari Tim Redaksi Koran Tempo, yang berkantor di Jalan Kebayoran, Jakarta Selatan, tetap berupaya berpikir logis dan objektif.

Dia tetap harus mencari pengobatan terbaik. Upayanya untuk tetap berpikir logis, objektif, dan jernih itulah yang pelan-pelan membawanya bangkit dari kondisi psikologis terendah dalam hidupnya.

“Saya kira, peran paling besar ada pada diri sendiri. Kalau sampai orang sudah tidak bisa berpikir logis, objektif, dan jernih (pada kondisi seperti itu). Itu ngeri. Bahaya itu,” ujar Endri yang kini bertugas sebagai Redaktur Nasional di Tempo.co.

Selain tetap berpikir logis, satu hal yang di kemudian hari dia sadari menjadi faktor penting bagaimana dia bisa melewati “hidup bersama kanker” sampai sekarang adalah sikap terbuka sejak awal.

Peran orang-orang di sekitar pengidap penyakit kronis adalah membantunya tetap merasa nyaman dalam keadaan paling tidak enak, yakni dengan tidak memberikan beban tambahan atau beban sosial.

Merasa dianggap cacat, merasa disingkirkan dan tidak diterima lagi oleh keluarga, kerabat, atau teman akan semakin berat dirasakan orang dengan penyakit kronis seperti itu.

Endri merasa beruntung tidak mendapatkan beban tambahan sosial seperti itu, karena sejak awal dia bersikap terbuka kepada orang-orang yang ada di sekitarnya. Terutama kepada teman-temannya.

“Dapat diagnosis itu, kan, pagi. Besok dini hari saya kirim SMS kepada sekitar 40 teman dekat saya. Saya bilang saya kena kanker, dan saya akan berupaya mencari pengobatan di Surabaya,” katanya.

Dengan sikap seperti itu, Endri yang waktu itu tinggal di Cileduk, Tangerang, setiap hari dikunjungi temannya. Dibawakan makanan, ditemani sampai tidur, bahkan diantar sampai ke pesawat menuju Surabaya.

Secara terbuka dia juga menyampaikan kondisinya kepada teman dan keluarganya di Surabaya. Sehingga selama menjalani pengobatan, setiap hari dia tidak pernah merasa kesepian.

Teman-teman karibnya dari berbagai daerah, bahkan dari luar pulau, datang membesuknya. Juga teman-teman ibunya, yang dia sendiri tidak mengenal mereka, datang untuk memberikan suport.

“Nah, saya kan harus menghargai itu. Mereka datang dari jauh, kan, pengennya melihat saya sembuh. Jadi saya harus berusaha sembuh,” katanya. Dari situ dia mulai mengubah pola hidup.

Kalau sebelumnya dia menganggap tubuh hanyalah alat. Untuk beraktivitas, untuk bekerja, untuk berolahraga, dia sadari bahwa tubuhnya lebih dari itu. Tubuhnya adalah panglimanya.

Segala aktivitas yang tadinya dia kerjakan dengan menjadikan tubuh sebagai alat: bekerja sampai dini hari, berolahraga dua jam nonstop, dan bebas sesuka hati makan makanan apapun, semua berubah.

Sejak itu dia mulai menghentikan makan gorengan yang sangat karsinogenik, tetap berolahraga walaupun tubuhnya hanya mampu 40 menit, dan sudah harus tidur tidak lebih dari pukul 22.00 WIB.

Endri pun berhasil melewati masa bersiap akan mati yang kelam dan traumatik, yang membuatnya berhenti bekerja selama delapan bulan. Setelah itu, dia menjadi sangat senang melihat warna.

Dia menjadi suka menghabiskan waktu di mal untuk melihat pakaian warna-warni yang ditata berjajar. Dia kembali menemukan kesukaan duniawi melalui warna-warna itu.

Kalau sebelumnya dia lebih memilih memakai pakaian berwarna gelap seperti hitam, abu-abu, biru tua. Sekarang dia lebih memilih pakaian berwarna cerah. Dia juga semakin suka merias wajah.

“Intinya saya tidak mau kembali pada diri saya yang seperti itu (terpuruk dan terguncang). Itu sangat traumatik. Ya, masa-masa mempersiapkan kematian secara tergesa-gesa itu,” katanya.

Semua upaya hidup bersama kanker itu Endri kisahkan dalam dua buku serialnya yang akan terbit bersamaan di Hari Kanker Dunia. Keduanya bertajuk “Tubuhku Panglimaku” dan “Mindset Kuncinya.”

Johan Budi Pribowo Anggota DPR RI mantan Juru Bicara Kepresidenan mengatakan, buku-buku Endri sejatinya adalah buku how to live with cancer. Kiat-kiat hidup bersama kanker.

“Namun, buku how to yang seharusnya berisi hal-hal teknis itu disajikan dengan teknik story telling supaya lebih bisa dinikmati seperti membaca novel atau cerpen,” kata Johan dalam pengantar buku. (den/bas/ipg)

Berita Terkait

Potret NetterSelengkapnya

Kecelakaan Mobil Porsche Seruduk Livina di Tol Porong

Mobil Tertimpa Pohon di Darmo Harapan

Pagi-Pagi Terjebak Macet di Simpang PBI

Surabaya
Jumat, 29 Maret 2024
28o
Kurs