Kamis, 25 April 2024

Pengamat: Baju Adat Sebagai Seragam Sekolah Kurang Efektif untuk Kenalkan Budaya

Laporan oleh Billy Patoppoi
Bagikan
Seorang siswi dengan baju adat Bali. Para ibu menyewa baju adat daerah dengan biaya ratusan ribu rupiah demi anaknya yang akan memeriahkan Hari Kartini di sekolahnya.
(Foto: Faiz suarasurabaya.net)

Aturan terbaru Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek) soal pakaian adat sebagai opsi untuk digunakan ke Sekolah, dinilai harus dikaji ulang.

Untuk diketahui, aturan baru terkait seragam sekolah tersebut tertuang dalam Permendikbud Ristek Nomor 50 tahun 2022, tentang Pakaian Seragam Sekolah Bagi Peserta Didik Jenjang Pendidikan Dasar dan Pendidikan Menengah.

Dalam Peraturan Menteri (Permen) tersebut tepatnya pada pasal 3, disebutkan bahwa ada tiga jenis seragam sekolah yang digunakan siswa SD hingga SMA, yakni pakaian seragam nasional, seragam pramuka dan pakaian adat. Sementara pemerintah daerah dalam pasal 4 Peraturan Menteri (Permen) tersebut, jadi pihak yang punya kewenangan untuk mengatur pengenaan pakaian adat bagi peserta didik di sekolah.

Menanggapi hal tersebut, Luhur Kayungga selakuBudayawan sekaligus Sekretaris Jenderal Dewan Kesenian Surabaya (Sekjen DKS) mengatakan jika langkah tersebut kurang efektif, jika tujuannya hanya untuk mengenalkan budaya kepada generasi muda.

“Apakah pakai baju adat bisa menumbuhkan kecintaan pada budaya dan nasionalisme? Menurut saya tidak. Sebenarnya memakai seragam batik ke sekolah seperti yang sudah ada, secara tidak langsung sudah mewakili representasi budaya. Tidak perlu peraturan baru seperti ini (Permendikbud Ristek Nomor 50),” ungkap Luhur pada Radio Suara Surabaya, Senin (24/10/2022).

Menurutnya, lebih baik jika saat ini pemerintah lebih fokus mencari permasalahan utama terkait berkurangnya kesadaran generasi muda akan budaya, bukan justru membuat peraturan-peraturan baru saja. Apalagi, kata Luhur, budaya di Indonesia sangat beragam sehingga tidak bisa digeneralisir melalui satu peraturan.

“Justru saya menganggap jika Permen tersebut hanya langkah formalitas pemerintah saja. Selama budaya luar masih kuat pengaruhnya, maka percuma saja kalau tidak diimbangi penanaman kesadaran pada mereka (anak-anak),” ungkapnya.

Selain itu, penggunaan baju adat untuk sekolah dianggap bisa memberatkan wali murid, karena biaya yang dikeluarkan untuk pendidikan otomatis akan bertambah. Kedepan, Sekjen DKS itu berharap agar pemerintah bisa melakukan pemetaan permasalahan terlebih dahulu sebelum membuat peraturan-peraturan baru.

“Ada beban lagi sekarang buat beli/sewa baju adat. Orang tua lagi-lagi harus berurusan dengan penambahan biaya sekolah. Yang harusnya dicari itu alasan, kenapa (anak-anak) jaman sekarang melupakan budaya,” jelasnya.

Senada dengan Luhur, Lia salah satu wali murid kepada Radio Suara Surabaya mengugkapkan jika Permen tersebut dikeluarkan di waktu yang kurang tepat. Menurutnya, ada urgensi lain yang saat ini tengah dihadapi masyarakat, yakni kesulitan secara ekonomi dan lain sebagainya.

“Belum setuju, sebab menggunakan pakaian adat harus sewa atau beli, itupun harganya mahal,” ujar Lia dalam program Wawasan Senin pagi.

Di sisi lain, Hendri pendengar Suara Surabaya mengatakan bahwa peraturan itu tidak ada sisi negatifnya, dan sangat cocok untuk diterapkan di era modern. “Sebab sekarang ini banyak anak didik yang tidak tahu asal baju adat di tiap provinsi,” ucapnya. (tik/bil/ipg)

Berita Terkait

Potret NetterSelengkapnya

Motor Tabrak Pikap di Jalur Mobil Suramadu

Mobil Tertimpa Pohon di Darmo Harapan

Pagi-Pagi Terjebak Macet di Simpang PBI

Surabaya
Kamis, 25 April 2024
26o
Kurs