Minggu, 5 Mei 2024

Akademisi Sebut Program Pemerintah Belum Menjawab Kebutuhan Petani

Laporan oleh Muhammad Syafaruddin
Bagikan
Persawahan yang menerapkan program Electrifying Agriculture PLN untuk menekan biaya produksi. Foto: Humas PLN

Erick Thohir Menteri BUMN menyatakan petani Indonesia makin hari kian miskin. Padahal Indonesia ingin membangun keberlanjutan pangan.

Selain itu, Erick juga menyinggung soal lahan pertanian yang makin sempit. Antara 300 hingga 500 meter persegi. Hal ini, menurut Erick, membuat para petani kesulitan bertahan hidup.

“Saya setuju dengan apa yang disampaikan oleh Pak Erick. Sebab pada kenyataannya Indonesia itu negara agraris, namun sampai sekarang keberpihakan kepada petani belum terlihat,” terang Ignatius Radix Astadi akademisi bidang pertanian dalam program Wawasan Suara Surabaya, Rabu (23/8/2023) pagi.

Menurut Wakil Dekan Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Widya Mandala Surabaya itu, ada banyak hal yang membuat sektor pertanian seolah jalan di tempat.

“Kalau bicara bahwa Indonesia adalah negara agraris, tapi riilnya pupuk mahal, tidak ada jaminan keberhasilan panen, teknologi pascapanen lemah sekali, akses ke pasar juga susah, fluktuasi harga yang tidak terkendali,” imbuh Radix.

Soal pupuk, misalnya. Indonesia punya perusahaan BUMN yang bergerak di sektor produksi pupuk. Seharusnya hal ini bagus untuk para petani lokal. Sayang, fakta di lapangan masih ditemukan petani-petani yang kesulitan mendapatkan pupuk.

“Hal lain adalah soal mengurangi pupuk kimia. Masalahnya tanah kita sudah sekian puluh tahun memakai pupuk kimia. Saat itu dikurangi, apakah kita sudah siap untuk itu. Sebab prosesnya panjang. Saya pikir ada masalah komunikasi yang tidak berjalan,” sebut alumnus Universitas Gadjah Mada (UGM).

Menurut Radix, sebenarnya punya banyak program untuk memajukan sektor pertanian. Akan tetapi, program itu seakan tidak menjangkau secara optimal ke para petani.

“Kalau menurut saya, pekerjaan rumahnya adalah mengkomunikasikan secara kekinian program-program yang bagus itu. Itu yang sampai saat ini belum punya. Masih (bertahan) dengan birokrasi yang jadul itu. Dari dulu seperti itu,” jabarnya.

Katanya Indonesia butuh cara komunikasi yang baru antara pemerintah dengan masyarakat. Supaya program yang bagus dari pemerintah bisa tersampaikan dengan sempurna.

Radix menambahkan, fenomena yang terjadi di dunia pertanian Indonesia ini bukan hal yang baru. Dalam hal pupuk, misalnya. Kata Radix, pemerintah sejatinya sudah paham.

“Akan tetapi, masyarakat tidak merasa menerima. Seperti ada invisible hand di tengah rantai itu,” bilangnya.

Ia juga mengungkapkan bahwa banyak program yang tidak jalan. Salah satunya penyediakan alat pertanian yang sama sekali tidak menjawab kebutuhan petani. Akhirnya alatnya jadi mangkrak.

Kenapa? Karena program yang dirancang tidak nyambung. Atau tanpa melihat kebutuhan riil para petani,” ujar Radix.

Terkait penerapan teknologi pertanian, Radix mengakui bahwa hasil penelitian akademisi belum menjawab pertanyaan petani.

“Yang dibutuhkan adalah apa yang dihasilkan oleh universitas atau lembaga riset menjawab kebutuhan petani. Tidak hanya sekadar berakhir di laporan. Terus terang saat ini belum tersambung,” ungkapnya.

Dengan perbagai masalah yang ada saat ini, Radix mendorong pemerintah untuk memberikan jaminan ke petani mulai dari masalah pupuk, benih yang bagus, pestisida hingga pascapanen. (saf/ipg)

Berita Terkait

..
Potret NetterSelengkapnya

Massa Hari Buruh Berkumpul di Frontage Ahmad Yani

Motor Tabrak Pikap di Jalur Mobil Suramadu

Mobil Tertimpa Pohon di Darmo Harapan

Surabaya
Minggu, 5 Mei 2024
29o
Kurs