Sabtu, 27 April 2024

Geliat Nelayan Tradisional Surabaya di Tengah Berkembangnya Zaman

Laporan oleh Risky Pratama
Bagikan
Perahu nelayan yang bersandar di pesisir Kejawan Lor Kenjeran Surabaya, Minggu (8/1/2023). Foto: Risky suarasurabaya.net

Belasan perahu nelayan teronggok di bibir pesisir Kampung Kejawan Lor, Kelurahan Kenjeran, Kecamatan Bulak Kenjeran, Surabaya.

Ukurannya kecil dengan rata-rata panjang sekitar tujuh setengah meter, dan lebar sekitar dua meter. Di atas perahu, tampak beberapa pekerja tengah menarik kail pancing. Sesekali mereka merapikan kotak wadah tangkapan ikannya.

Di antara riuh angin dan gaduh suara mesin, tampak seorang lelaki tua mendayung perahu mendekati pelabuhan kecil.

Ia mengenakan kaus lengan pendek merah dan celana panjang hitam. Namanya Nur Shodiqin (52 tahun), nelayan kelahiran Gresik yang kini telah menjadi warga asli Surabaya semenjak menikah dengan Aniq Anisah puluhan tahun yang lalu.

Nur Shodiqin adalah nelayan kawakan. Sejak tuntas Sekolah Menengah Atas (SMA) di Gresik silam, ia langsung terjun mencari hasil laut. Berbagai jenis ikan ia telah ia tangkap, mulai dari keting hingga kerapu. Bahkan ia sering menyelam untuk mencari karang.

Perjalanan mencari ikan ia lakukan sendiri. Nur Shodiqin biasa melaut sedari jam 06.00 pagi dan kembali menjamah daratan sekitar pukul 13.00 siang.

Hari itu, pada Minggu 08 Januari 2023, Nur Shodiqin pulang lebih sore. Menjelang magrib ia baru mengikatkan tali tampar pada tiang patokan perahu. Hari ini, ia baru saja mencari kerang hijau, dengan satu kotak sterofoam berukuran sedang menjadi wadah tangkapannya.

“Hari ini mencari kerang, itu oksigennya, kompresornya,” ucapnya sembari menunjuk ke arah perahu miliknya.

Kerang hijau menjadi hasil laut yang akhir-akhir ini sering ia cari. Harganya Rp20.000 per kilo. Sedangkan jika beruntung bisa mengais kerang skelop putih, hasilnya jauh lebih mahal. Satu kilonya dihargai Rp100.000.

Ketekunan dan kesetiaannya akan profesi nelayan menjadikan Nur Shodiqin sangat paham kiat-kiat melaut dan kondisi cuaca. Ia memiliki kecakapan dalam hal navigasi laut menggunakan arah angin hingga arus laut, untuk membaca situasi. Sekaligus memandu pengembaraan ketika sedang berlayar. Baginya, alam adalah guru.

Salah satu tantangan menjadi seorang nelayan tradisional, kata dia, adalah cuaca buruk. Jika angin kencang dan ombak tinggi, banyak nelayan memutuskan untuk sejenak berhenti melaut, sembari menunggu cuaca kembali normal.

“Kalau angin barat, gelombangnya tinggi, cuacanya dingin, hawa dingin, air dingin, jadi dingin semua. Itu nggak bisa kelihatan ikannya. Kata orang Jawa itu namanya singitan, ndak banyak ikan,” jelasnya runtut.

Namun, Nur Shodiqin pernah memberanikan diri untuk tetap berlayar ke tengah laut. Meskipun bukan tanpa risiko. “Kan untuk cari nafkah, jadi tidak gentar, tapi tetap besok coba lagi kalau cuacanya agak enak,” ungkapnya.

Geliat nelayan tradisional memang tak semata mengandalkan perahu kayu, pancing, kompresor, dan mesin saja. Melainkan pengetahuan alam juga menjadi kekuatan untuk mengarungi lautan.

Meski zaman telah banyak berubah. Nelayan tradisional masih menjadi bagian penting untuk mendorong hasil laut Surabaya dan perekonomian rakyat. Berkembangnya teknologi modern lantas tak menghilangkan semangat juang nelayan tradisional untuk mencari ikan.

Perahu menjadi bagian intim bagi masyarakat pesisir Surabaya. Bentuknya yang mengerucut dan terbuat dari kayu jati membuat transportasi laut itu kuat menahan gempuran ombak dalam mencari ikan. Begitu pun dengan laut, telah menjadi denyut nadi masyarakat pesisir Surabaya untuk menyambung hidup.

Selain melaut, perdagangan olah hasil laut juga menjadi jantung pertahanan ekonomi masyarakat Kenjeran. Tak heran jika Kenjeran konsisten berkontribusi memasok kebutuhan ikan hingga kerang, baik di tingkat Kelurahan, Kecamatan, maupun Kota.

Di tengah kemegahan kota Surabaya yang terus berkembang mengikuti zaman, nelayan kenjeran tetap mengukir riwayat sebagai masyarakat pelaut yang panjang.

Lahir dan tumbuh bersama laut yang sudah menjadi bagian dari kehidupan.  Mereka mencintai laut, mesra dan intim.

Sehari-hari mereka menghabiskan waktu dengan laut dan sekitarnya. Dan dari berlayar, mereka mempraktikkan seni untuk bertahan hidup.(ris/bil/rst)

Berita Terkait

Potret NetterSelengkapnya

Motor Tabrak Pikap di Jalur Mobil Suramadu

Mobil Tertimpa Pohon di Darmo Harapan

Pagi-Pagi Terjebak Macet di Simpang PBI

Surabaya
Sabtu, 27 April 2024
31o
Kurs