Senin, 6 Mei 2024

Pakar Hubungan Internasional: PBB Tak Bisa Hentikan Israel karena Adanya Sistem Veto

Laporan oleh Billy Patoppoi
Bagikan
Dewan Keamanan PBB menggelar sidang darurat mengenai situasi di Timur Tengah, termasuk masalah Palestina di New York, Amerika Serikat, Senin (30/10/2023). Foto: UN Photo Dewan Keamanan PBB menggelar sidang darurat mengenai situasi di Timur Tengah, termasuk masalah Palestina di New York, Amerika Serikat, Senin (30/10/2023). Foto: UN Photo

Peran Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) tengah jadi sorotan dalam bencana kemanusiaan di Gaza, Palestina, yang saat ini tengah dibombardir habis-habisan oleh Israel, akibat konflik dengan kelompok perlawanan Hamas sejak 7 Oktober 2023 lalu.

PBB dinilai bergerak sangat lambat di saat lebih 11 ribu warga Palestina meninggal akibat konflik tersebut, termasuk diantaranya 4.506 anak dan 3.027 perempuan. Sementara jumlah korban dari pihak Israel, mencapai hampir 1.200 orang.

Sebenarnya sudah ada resolusi terbaru dikeluarkan Majelis Umum PBB jelang akhir Oktober lalu, yang mengecam segala aksi kekerasan terhadap warga sipil Palestina dan menyerukan gencatan senjata untuk jeda kemanusiaan.

Resolusi tidak mengikat yang sebelumnya diajukan Yordania itu, telah disepakati dengan rincian 120 suara setuju, 14 menentang, dan 45 abstain. Selain sebagian besar negara Arab, resolusi juga didukung negara-negara latin seperti Brazil, Kolombia, hingga Venezuella.

Tapi sayangnya, resolusi tersebut gagal dieksekusi karena diveto Amerika Serikat (AS) yang merupakan salah satu sekutu terbesar Israel sehingga, bombardir di Gaza terus berlanjut. Adapun AS lebih menyerukan adanya jeda kemanusiaan empat jam sehari supaya, ketimbang gencatan senjata.

Sementara dari pandangan akademisi, Radityo Dharmaputra dosen Hubungan Internasional Universitas Airlangga (Unair) menyebut kalau jeda kemanusiaan tidak efektif. Apalagi jeda kemanusiaan tidak ada sesuatu yang mengikat kedua belah pihak untuk menghentikan serangan, terutama dari kubu Israel.

“Sementara keinginan mayoritas negara (Majelis Umum PBB) kan gencatan senjata, harus dihentikan semua serangannya lalu ada perjanjian perdamaian. Nah itu yang ideal, tapi yang sekarang mungkin bisa dilakukan adalah yang tidak ideal dulu (jeda kemanusiaan), jadi bertahap gitu ya. Lobby penting untuk dilakukan ke negara-negara seperti Amerika Serikat dan Inggris,” jelas Radit sapaan akrabnya waktu mengudara di program Wawasan Suara Surabaya, Senin (13/11/2023).

Selain itu, menurutnya kecil kemungkinan Israel mematuhi resolusi Dewan Kemanan PBB. Hal tersebut dikatakannya berkaca pada resolusi serupa yang diajukan Dewan Keamanan PBB yang disetujui AS saat masa kepemimpinan Barack Obama Presiden antara tahun 2014/2015.

Padahal, kata Pakar Hubungan Internasional Unair itu, negara yang tidak mendengarkan atau menolak Resolusi Dewan Keamanan PBB, seharusnya dapat hukuman atau sanksi berat.

“Tapi begitu soal menghukumnya bagaimana, mereka kan nanti harus sepakat lagi ya dewan keamanannya. Jadi begitu mereka (PBB) mau menghukum Israel, satu saja tidak sepakat, terutama satu dari lima anggota tetap (AS), ya diveto lagi kesepakatan-kesepakatannya,” ujarnya.

Oleh karena itu, Radit menegaskan kalau persoalan utama yang ada di dalam PBB selama ini dalam menangani konflik adalah adanya sistem veto.

“Sebenarnya kalau mau menyasar persoalan di PBB itu ya sistem vetonya dihilangkan dulu. Karena kalau tidak ya lima negara anggota tetap Dewan Keamanan (PBB) ini bisa mem-veto apapun keputusan yang mereka hasilkan. Kadang-kadang Amerika, kadang-kadang Rusia,” ucapnya.

“Sistem veto ini kan baru bisa ditiadakan kan ya nanti harus ada kesepakatan lagi dengan negara-negara ini. Ini yang sulit kan, kita terjebak di lingkaran setan sebetulnya,” lanjutnya.

Radit kemudian menjelaskan beberapa pekerjaan rumah (PR) yang bisa dilakukan saat ini untuk meredam agresi militer Israel ke Palestina.

Diantaranya meloby dan menekan Amerika Serikat (AS) seperti yang saat ini sedang ditempuh Joko Widodo Presiden di Washington D.C, atas amanat yang diberikan negara-negara Organisasi Kerja Sama Islam (OKI). Paling tidak supaya Paman SAM abstain dari konflik di Gaza itu.

“Kalau dia (AS) abstain, diam, itu sebenarnya tidak ada masalah. Israel itu justru PR keduanya untuk tunduk, karena disitu perlu tekanan dari Amerika Serikat ke Israel,” jelasnya.

Begitu juga dengan negara-negara OKI, menurutnya jika semua bisa terus satu suara seperti hasil Konferensi Tingkat Tinggi di Riyadh, Sabtu (11/11/2023) lalu, maka bisa diteruskan dengan bentuk boikot atau demonstrasi besar-besaran.

Tentu dua langkah itu, dilakukan dengan cara mengesampingkan sesaat kebutuhan masing-masing negara yang selama ini punya hubungan dekat dengan Israel maupun Amerika Serikat sendiri.

Khusus untuk Israel, Radit mengatakan boikot dan demonstrasi besar-besaran setidaknya akan berdampak pada posisi Benjamin Netanyahu yang secara politik domestik saat ini lemah, karena munculnya desakan mundur imbas serangan kejutan Hams 7 Oktober lalu.

“Demo itu menurut saya satu cara ya seperti kemarin di Jakarta dan di Surabaya. Dan itu tidak cuma di negara seperti Indonesia, kita juga perlu bekerja sama. Kadang kita masih lihat ada gerakan anti-Barat, padahal kalau kita mau lihat di Amerika, Inggris sendiri itu juga luar biasa besar sekali dukungan pro-Palestina dari warganya bersama-sama menekan pemerintahannya. Kita lihat bahwa itu berhasil mengubah pelan-pelan politik Amerika dengan lahirnya jeda kemanusiaan,” tutupnya. (bil/ham)

Berita Terkait

..
Potret NetterSelengkapnya

Massa Hari Buruh Berkumpul di Frontage Ahmad Yani

Motor Tabrak Pikap di Jalur Mobil Suramadu

Mobil Tertimpa Pohon di Darmo Harapan

Surabaya
Senin, 6 Mei 2024
24o
Kurs