Selasa, 21 Mei 2024

Akademisi: Demokrasi Indonesia Masih Prosedural, Belum Substansial

Laporan oleh Risky Pratama
Bagikan
Yanuar Nugroho Dosen Sekolah Tinggi Filsafat (STF) Driyarkara Jakarta saat mengisi Simposium "The Internationalization of Democracy" yang diadakan oleh Fakultas Filsafat Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya (UKWMS) di Widya Mandala Hall Pakuwon City, Surabaya, Jumat (10/5/202). Foto: Risky suarasurabaya.net

Yanuar Nugroho Dosen Sekolah Tinggi Filsafat (STF) Driyarkara Jakarta menyatakan bahwa demokrasi di Indonesia saat ini masih berkutat pada demokrasi prosedural, belum substansial.

Padahal menurutnya, demokrasi itu harus dijalankan secara substansial, bukan hanya sekadar prosedural bekala.

“Demokrasi kita ini demokrasi yang baru tumbuh, demokrasi yang belum matang,” katanya seusai Simposium “The Internationalization of Democracy” yang diadakan oleh Fakultas Filsafat Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya (UKWMS) di Widya Mandala Hall Pakuwon City, Surabaya, Jumat (10/5/2024) malam.

Yanuar menjelaskan, bahwa demokrasi prosedural adalah demokrasi yang dijalankan dengan pendekatan atau cara-cara yang seolah-olah demokratis, tetapi hasilnya tidak, atau justru bahkan bisa mematikan demokrasi.

Yanuar Nugroho Dosen Sekolah Tinggi Filsafat (STF) Driyarkara Jakarta saat berada di Widya Mandala Hall Pakuwon City, Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya (UKWMS) Jumat (10/5/202) malam. Foto: Risky suarasurabaya.net
Yanuar Nugroho Dosen Sekolah Tinggi Filsafat (STF) Driyarkara Jakarta saat berada di Widya Mandala Hall Pakuwon City, Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya (UKWMS) Jumat (10/5/202) malam. Foto: Risky suarasurabaya.net

“Demokrasi secara prosedural itu misalnya, kalau mau membuat kebijakan, yang penting ada konsultasi publik, terus buat acara misalnya satu jam, yang jadi pembicara dari pemerintah tiga orang, satu orang bicara seperempat jam, tinggal 15 menit tanya jawab, itu bukan konsultasi publik,” jelasnya.

“Tapi apakah itu bisa disebut demokratis? Iya, tapi tidak substantif, tidak ada proses publik memberi masukan kepada pemerintah,” imbuhnya.

Demokrasi semacam itu, kata dia, memiliki dampak yang berbahaya dalam jangka panjang. Karena keterlibatan publik dalam membuat kebijakan akan hilang, tidak ada kontrol publik, dan tidak ada check and balancing.

“Demokrasi yang substantif akan mati. Demokrasi yang substantif harusnya menjadi pembangunan lebih mendalam,” ucap pria yang pernah menjabat sebagai Deputi Kepala Staff Presiden periode 2014/2019 tersebut.

Sementara untuk demokrasi substansial, kata dia, yakni demokrasi yang benar-benar melibatkan publik. Misalnya, proses pembuatan Undang-Undang (UU) saat hendak dibuat, dibuka kepada publik untuk bisa diberi masukan. Tidak berhenti di situ, masukan juga diproses, sampai pada kebijakan tersebut jadi.

Di Indonesia, lanjut dia, demokrasi belum berjalan seperti itu, sehingga masih belum matang.

“Contoh UU IKN, itu adalah UU yang dibuat paling cepat, sekitar 40-an hari. Ada tidak konsultasi publik? ada, ada websitenya, publik bisa memberikan masukan. Itu prosedural tapi tidak substansial,” jelasnya.

Dalam kesempatan itu, ia juga menegaskan bahwa demokrasi tidak bisa hanya dimaknai sempit, seperti hanya sebatas pemilihan presiden, gubernur, bupati, wali kota dan lain sebagainya, tetapi harus memiliki makna yang mendalam, dan bukan hanya sekadar coblosan lima tahunan.(ris/man/iss)

Berita Terkait

..
Potret NetterSelengkapnya
Surabaya
Selasa, 21 Mei 2024
26o
Kurs