
Dr. Giwo Rubianto Wiyogo Ketua Umum Pita Putih Indonesia (Ketum PPI) menyebut hingga hari ini masih banyak tantangan besar dalam mewujudkan kesetaraan gender, terutama dalam pemberdayaan, pendidikan, partisipasi angkatan kerja, hingga perlindungan hukum terhadap pekerja perempuan dari kekerasan.
“Masih banyak tantangan yang membayangi. Tingkat pemberdayaan perempuan di Indonesia itu masih sangat rendah dibanding negara ASEAN lainnya, kurang lebih masih di bawah 30 persen,” kata Dr. Giwo saat mengudara dalam program Wawasan Suara Surabaya, Senin (21/4/2025) pagi, di sela-sela mengikuti kegiatan Hari Kartini dari Senayan, Jakarta.
Vice President International Council of Women (ICW) itu kemudian menyinggung rata-rata lama sekolah perempuan di Indonesia juga masih belum merata. Terutama di wilayah Tertinggal, Terdepan, dan Terluar (3T).
“Kalau di Sulawesi Utara itu 9,8 tahun, di Sumatera Barat 9,3 tahun. Artinya memang belum semua wilayah mendapat akses yang setara. Terutama di daerah pedesaan tertentu,” ujarnya.
Hal ini menurutnya tentu jadi catatan. Mengingat dalam emansipasi yang merupakan pembebasan dari segala bentuk pembatasan, telah menekankan pada kesetaraan gender yakni dalam konteks pendidikan, pekerjaan, politik, dan seluruh lini kehidupan.
Lebih lanjut, Giwo juga menyoroti masih tingginya angka kekerasan berbasis gender di Indonesia. Berdasarkan data Amnesty International, kasus kekerasan terhadap perempuan meningkat sebesar 792 persen dalam 12 tahun terakhir.
“Ternyata yang kita dapatkan bahwa dari tiga perempuan, satu mengalami kekerasan. 91 persen contohnya yang untuk eksploitasi seksual adalah perempuan,” katanya.
Karenanya, dia menekankan pentingnya edukasi hukum agar masyarakat sadar bahwa kekerasan, baik verbal, fisik, maupun seksual, bukan hal sepele.
“Kalau kita melihat perempuan dilecehkan, lalu kita tidak peduli, itu juga ada hukumannya. Tapi hal ini masih dianggap urusan sendiri. Dikasih uang saja selesai. Ini masih terjadi di masyarakat, terutama di pedesaan,” ungkapnya.
Oleh karena itu, Giwo yang juga menjabat Ketua Umum Gerakan Wanita Sejahtera (GWS), mengingatkan pentingnya literasi dasar bagi perempuan Indonesia.
“Harus memahami literasi yang paling dasar. Membaca, menulis, berhitung. Kemudian literasi kesehatan, literasi finansial. Karena perempuan harus cerdas, harus sehat. Kalau kita tidak cerdas, kalau kita tidak sehat, bagaimana menyiapkan generasi penerus?” katanya.
Khusus kepada perempuan yang memikul beban ganda, yakni urusan rumah tangga dan pekerjaan, Giwo memberikan nasihat agar tidak egois.
“Kita tidak boleh egois. Apa yang kita punya, berikan sedikit untuk orang banyak. Perempuan harus berani menjadi pemimpin. Baik dalam komunitas, organisasi, maupun masyarakat.”
Terakhir, dalam momen peringatan Hari Kartini kali ini, Giwo menyerukan agar perempuan terus belajar dan meningkatkan kualitas hidupnya setinggi mungkin. “Baik itu pendidikan formal maupun informal. Karena dasar segala kehidupan adalah pendidikan,” pungkasnya. (bil/iss)