
Perdagangan satwa liar ilegal di dunia maya semakin marak, dengan lebih dari 70 ribu iklan terdeteksi di media sosial, terutama Facebook, antara 2020-2024.
Dilansir dari Goodstat, satwa seperti burung Psittacidae, elang, dan kucing hutan menjadi target utama. Hal ini dipicu oleh tren pemeliharaan eksotis yang dipopulerkan influencer dan kemudahan transaksi online.
Fenomena ini diperparah oleh lemahnya regulasi digital, seperti UU ITE yang belum secara jelas melarang perdagangan satwa liar daring. Data menunjukkan ribuan satwa terlindungi hilang dari habitatnya, dengan lebih dari 18.000 iklan terkait satwa dilindungi yang beredar.
PBB menyoroti perdagangan satwa liar sebagai kejahatan transnasional yang harus segera ditangani. Tanpa penegakan hukum yang tegas dan edukasi publik, satwa liar Indonesia yang sangat penting bagi ekosistem global berisiko punah.
Menyikapi hal ini, Benvika Iben Jakarta dari Animal Aid Network (JAAN) mengungkapkan bahwa perdagangan satwa liar ilegal di Indonesia menunjukkan peningkatan, baik sebelum maupun setelah masa pandemi Covid-19.
“Justru setelah Covid-19 ini kami melihat (jumlahnya) makin meningkat,” ungkap Iben dalam program Wawasan Radio Suara Surabaya pada Rabu (7/5/2025).
Iben mengungkapkan, sekitar sepuluh tahun lalu, perdagangan satwa liar masih dilakukan secara terbuka di pasar burung. Namun kini, praktik tersebut bergeser.
Awalnya berpindah ke penjualan eceran di pinggir jalan, terutama di kota besar seperti Jakarta. Kemudian beralih ke media sosial seperti saat ini.
Ia mengungkapkan bahwa perdagangan melalui media sosial sebenarnya sudah berlangsung cukup lama, karena dinilai lebih aman oleh para pelaku.
“Di pasar burung pun sebenarnya masih ada. Kita seperti disediakan buku menu. Kemudian ditanya mau hewan apa. Lalu nanti transaksinya dilakukan di luar (pasar burung),” ungkapnya.
Ia menyebut bahwa satwa yang diperjualbelikan sebagian besar merupakan hewan dilindungi. Saat ini, jenis yang paling banyak diperdagangkan adalah primata seperti owa dan orang utan.
Iben juga menanggapi keberadaan influencer yang memelihara satwa liar. Menurutnya, di satu sisi, mereka bisa menjadi sarana edukasi.
Namun di sisi lain, mereka juga bisa menginspirasi masyarakat untuk membeli satwa liar karena ada kesan bahwa memelihara hewan eksotis adalah hal yang lumrah.
Sayangnya, Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) saat ini belum secara spesifik mengatur promosi atau perdagangan satwa liar secara online.
Akan tetapi, pembaruan UU No. 5 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya menjadi harapan. Sebab mengatur sanksi pidana minimal 3 tahun dan maksimal 15 tahun. Semua pelaku dapat dijerat, dari pemburu hingga penjual.
Iben pun mengimbau masyarakat untuk tidak membeli satwa liar. Selain ilegal, hal ini berisiko tinggi menularkan penyakit dan membahayakan lingkungan hidup.
Studi konkret menunjukkan pentingnya pendampingan masyarakat sekitar hutan agar tidak melakukan perburuan.
Jika menemukan satwa liar, masyarakat diimbau untuk segera melapor ke Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA). (saf/ipg)