Sabtu, 27 April 2024

Pamoedji, Visioner Pendiri Persebaya Surabaya

Laporan oleh Dwi Yuli Handayani
Bagikan
Keluarga Pamoedji saat berkunjung ke Kantor Suara Surabaya dan Dhahana Adi penulis buku Surabaya Punya Cerita bersama crew Suara Surabaya, Jumat (2/9/2016). Foto: Farid suarasurabaya.net

Jika mendengar nama Persebaya Surabaya, publik tentu langsung merujuk pada salah satu klub sepak bola terbesar di Indonesia. Tapi, belum banyak orang tahu kalau pendirinya, Pamoedji adalah seorang pejuang kemerdekaan yang visioner.

Kabarnya, nama Indonesia sudah digunakan oleh klub sepak bola yang berbasis di Surabaya itu, jauh sebelum Soekarno dan Muhammad Hatta membacakan Proklamasi Kemerdekaan, 17 Agustus 1945. Bahkan, sebelum Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928.

Informasi itu mengemuka saat suarasurabaya.net menerima kunjungan tiga orang anak Pamoedji, yakni Endang Sulistya Ratih yang akrab disapa Lies, Endang Sasmito Indah yang biasa dipanggil Ientje, dan Priatmo Adji, bersama Dhahana Adi penulis buku Surabaya Punya Cerita, Jumat (2/9/2016), di Wonokitri Besar, Surabaya.

Dhahana Adi yang karib disapa Ipung menceritakan awal mula penelusurannya hingga akhirnya bisa bertemu dengan keluarga Pamoedji. Sekitar tahun 2014, dia diberi informasi oleh seorang kepala sekolah bahwa ada makam penggede Surabaya di Pegirian, Surabaya Timur. Namun, di sana Ipung hanya menemukan makam Mustadjab Soemowidagdo Wali Kota Surabaya yang aktif tahun 1956-1958.

Tapi, dia penasaran ada satu makam yang diberi pagar batu dan berlantaikan keramik, dengan tulisan M.Pamoedji di batu nisannya.

“Karena penasaran, saya bertanya ke juru kunci Pegirian soal makam Pamoedji pendiri Persebaya Surabaya. Ternyata si juru kunci tahu ada yang namanya Pamoedji, tapi seorang Residen Surabaya,” ujar Ipung yang mengaku tahu nama pendiri Persebaya Surabaya adalah Paijo dan Pamoedji dari buku Hikayat Soerabaia Tempo Doeloe karangan Dukut Imam Widodo.

Belum tuntas rasa penasarannya, pria jebolan Universitas Dr.Soetomo ini menanyakan informasi soal Pamoedji kepada The Royal Netherlands Institute of Southeast Asian and Caribbean Studies (KITLV). Dari situ, dia mendapat info bahwa yang namanya Pamoedji ada dua orang. Yang satu Residen Surabaya, dan yang satu lagi tokoh komunis.

“Potongan artikel koran lawas juga diberikan KITLV yang saya jadikan petunjuk awal. Ternyata, di potongan koran itu isinya berita soal meninggalnya Pamoedji yang menyebut juga nama Persebaya,” ungkapnya.

Ternyata benar, makam yang dipagar dan biberi atap seperti rumah itu adalah makam Pamoedji pendiri Persebaya Surabaya. Lantas, si juru kunci pun akhirnya memberi informasi mengenai keberadaan anak-anak Pamoedji.

Pertama kali, Ipung diarahkan untuk menemui Endang Sulistya Ratih anak pertama Pamoedji. Tapi, untuk menemukannya butuh perjuangan karena Lies tinggal di Jakarta. “Untungnya, ada seorang teman yang akan ke Jakarta dan bersedia mencari keberadaan Lies,” katanya.

Setelah bertemu di Bilangan Jakarta Selatan, ternyata anak tertua dari Pamoedji ini tidak tahu kalau bapaknya adalah salah satu pendiri Persebaya Surabaya. Ia hanya tahu anak Residen.

“Awalnya saya tidak tahu banyak tentang Persebaya. Kita tidak punya kenangan khusus soal sepak bola dengan bapak, karena waktu itu saya masih kecil, masih masa penjajahan Jepang dan agresi militer Belanda,” ungkapnya.

RA Soedjirah sang ibunda, lanjut Lies, juga tidak pernah bercerita soal Persebaya Surabaya. “Ibu itu tipikal orang Solo yang pendiam. Tapi, anak-anaknya punya persamaan dengan bapak yaitu gemar olah raga,” serunya.

Priatmo Adjie anak bungsu Pamoedji menambahkan, maksud kedatangannya ini bukan mau menonjolkan diri sebagai keluarga Pamoedji pendiri Persebaya Surabaya. Kita hanya ingin memberikan penjelasan berdasarkan fakta terkait orang tuanya.

Pamoedji adalah seorang visioner. Di usia 22 tahun, sebelum Sumpah Pemuda tepatnya 18 Juni 1927, dia sudah memperkenalkan nama Indonesia ke publik melalui klub Soerabhaiasche Indonesische Voetbal Bond (SIVB) yang kini dikenal luas dengan nama Persebaya Surabaya.

Kata Dhahana Adi, Pamoedji adalah orang yang mengusulkan agar Indonesia Raya jadi lagu kebangsaan Indonesia. Bahkan, Pamoedji sempat mengusulkan agar setiap lagu Indonesia Raya berkumandang, WR Soepratman sebagai pencipta harus mendapatkan royalti.

Sayang, apa yang diimpikan Pamoedji itu belum terwujud sampai dipanggil yang maha kuasa tahun 1951, di usia 46 tahun akibat sakit liver dan kanker. (rid/ipg)

Berita Terkait

Potret NetterSelengkapnya

Motor Tabrak Pikap di Jalur Mobil Suramadu

Mobil Tertimpa Pohon di Darmo Harapan

Pagi-Pagi Terjebak Macet di Simpang PBI

Surabaya
Sabtu, 27 April 2024
28o
Kurs