Jumat, 29 Maret 2024

RUU PKS Berpotensi Tabrakan dengan Revisi KUHP

Laporan oleh Muchlis Fadjarudin
Bagikan
Taufiqulhadi anggota Komisi III DPR dari Fraksi NasDem di Kompleks Parlemen, Senayan Jakarta, Selasa (30/7/2019). Foto: Faiz suarasurabaya.net

Rancangan Undang-Undang (RUU) Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS) jika dilanjutkan berpotensi bertabrakan dengan Revisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), sehingga akan terjadi over kriminalisasi.

“Masalah kekerasan dan atau kejahatan seksual itu sudah diatur dalam Revisi KUHP yang akan disahkan oleh Komisi III DPR RI, karenanya kalau RUU PKS itu dilanjutkan bisa tabrakan dan berpotensi over kriminalisasi. Baik bagi korban maupun pelaku,” ujar Taufiqulhadi anggota Komisi III DPR dari Fraksi NasDem di Kompleks Parlemen, Senayan Jakarta, Selasa (30/7/2019).

Pernyataan Taufiqulhadi disampaikan dalam Forum legislasi “RUU PKS Terganjal Revisi KUHP?” bersama Diah Pitaloka anggota Komisi VIII DPR RI FPDIP dan Masruchah Ketua Sub Komisi Pendidikan Komnas Perempuan.

Kata Taufiq, apapun yang memgarah kepada kekerasan seksual semua bisa dikriminalisasi, sedangkan Revisi KUHP lebih pada perlindungan bagi korban maupun pelaku dari amukan massa. Karena itu, yang dimaksud kekerasan seksual dalam RUU PKS itu definisinya harus jelas agar tidak terjadi multitafsir.

“Jadi, wajar kalau pihak kepolisian menolak RUU PKS ini karena definisi kekerasan seksual belum clear, dan pidananya sudah diatur di RKUHP. Saya harap RUU PKS tunggu RKUHP disahkan. Atau sebagian pasal-pasal RUU PKS itu bisa dimasukkan secara simultan ke dalam RKUHP sebelum disahkan,” jelasnya.

Sementara, Diah Pitaloka menjelaskan yang terpenting bagaimana solusi dari korban pelecehan seksual seperti kasus Baiq Nuril itu, ada jalan keadilannya secara hukum.

“Justru, RUU PKS ini lahir akibat tidak diatur dalam Revisi KUHP. Sehingga korban sulit mencari keadilan hukum,” kata Diah.

Dengan kata lain, menurut Diah, RUU PKS ini ada karena KUHP tidak mengatur sanksi pidana kekerasan dan pelecehan seksual tersebut. Apalagi pelecehan dan kejahatan seksual itu kini bisa dilakukan melalui media sosial (medsos).

“Pada prinsipnya kasus itu harus ada sanksi hukumnya. Kalau tidak, pelaku akan pernah takut berbuat karena tak ada sanksi hukum pidananya. Kalaupun pasal-pasalnya masuk ke RKUHP juga tak masalah, sepanjang ada keadilan hukum bagi korban,” pungkasnya.

Di sisi lain, Masruchah berharap ada perlindungan hukum bagi korban kejahatan, kekerasan maupun pelecehan seksual tersebut, karena kasusnya terus meningkat.

“Apalagi setiap jamnya ada tiga korban perempuan yang diperkosa. Belum lagi yang inses (dilakukan orang dekat; keluarga, ayah, paman) dan perkawinan paksa,” tegas Masruchah.(faz/iss/ipg)

Berita Terkait

Potret NetterSelengkapnya

Kecelakaan Mobil Porsche Seruduk Livina di Tol Porong

Mobil Tertimpa Pohon di Darmo Harapan

Pagi-Pagi Terjebak Macet di Simpang PBI

Surabaya
Jumat, 29 Maret 2024
26o
Kurs