Jumat, 29 Maret 2024

Bupati Banyuwangi Buktikan Budaya Lokal Bisa Datangkan Kesejahteraan

Laporan oleh Muchlis Fadjarudin
Bagikan
Abdullah Azwar Anas Bupati Banyuwangi saat berbicara dalam webinar kedua dengan tema 'Rakyat Sumber Kebudayaan Nasional' yang digelar dalam rangkaian kegiatan Bulan Bung Karno 2020 yang dimulai sejak 1 Juni 2020. Foto: Istimewa

Abdullah Azwar Anas Bupati Banyuwangi, Jawa Timur mengatakan pihaknya sudah membuktikan ekspresi kebudayaan lokal mampu menghidupi masyarakat di kotanya secara ekonomi.

Selama ini, banyak pihak yang menganggap kebudayaan lokal Indonesia tak bersifat komersial. Namun, praktik di Banyuwangi, daerah yang dulu kemiskinannya tinggi di Jawa Timur membuktikan sebaliknya.

“Kami melaksanakan pengembangan kebudayaan lokal yang mensejahterakan masyarakat. Dengan kebudayaan membuat rakyat lebih guyub, lebih nyaman, lebih tenang,” kata Anas saat berbicara dalam webinar kedua dengan tema ‘Rakyat Sumber Kebudayaan Nasional’ yang digelar dalam rangkaian kegiatan Bulan Bung Karno 2020 yang dimulai sejak 1 Juni lalu.

Di acara yang digelar, Selasa (16/6/2020) itu, hadir sebagai pembicara adalah Djarot Saiful Hidayat Ketua DPP PDIP, Rano Karno dan Krisdayanti anggota DPR, Gus Muwafiq Ulama Nahdatul Ulama (NU), dan Tamara Geraldine sebagai moderator.

Kader PDI Perjuangan (PDIP) itu juga menjelaskan Banyuwangi melakukan dua strategi. Pertama, melakukan penyediaan ruang ekspresi budaya bagi rakyat untuk memperkuat kebudayaan nusantara. Strategi kedua, pengembangan kebudayaan lokal untuk kesejahteraan masyarakat untuk memperkuat Banyuwangi.

Dengan itu, maka Pemerintah Daerah Banyuwangi melaksanakan berbagai festival seni dan budaya yang buka hanya sekedar peristiwa pariwisata yang mendatangkan orang dan uang, namun juga alat konsolidasi kebudayaan. Sebab di sana terjadi dialog, penyiapan, materi, yang melibatkan masyarakat.

“Tahun sekarang saja ada 123 even. Hampir sebagian besar dibuat oleh rakyat sendiri. Swadaya oleh rakyat, mayoritas dibuat oleh sanggar-sanggar. Bedanya Banyuwangi dengan kabupaten lain adalah kami tidak melibatkan koreografer hebat dari Jakarta. Tak dibuat oleh EO, namun dari kampung-kampung, rata-rata kaum Marhaen,” ujar Anas.

Dengan itu, tarian Gandrung Sewu dulunya tidak dihitung sebagai pentas seni. Saat ini, dia menjadi salah satu atraksi yang ditunggu dengan melibatkan 1000 penari.

Berikutnya, pihaknya menjadikan alun-alun, atau tempat utama, tak hanya ditempati orang yang bisa membayar. Alun-alun justru harus menjadi bagian dari panggung budaya bersama yang boleh diakses seluruh kalangan masyarakat.

Di Alun-alun Banyuwangi, dilaksanakan even Banyuwangi Culture Everyday setiap malam, terkecuali hari besar seperti Lebaran. Anak-anak muda didorong menunjukkan ekspresi budaya lokal di tempat itu.

“Mereka sebagian kita berikan honor untuk kelompok-kelompok seninya. Sehingga seniman-senimannya menjadi berdaya karena dia menjadi kurator dari kesenian ini dan mendapat honor. Rata-rata kaum marhaen di tempat ini,” jelasnya.

Dampak pengembangan kebudayaan lokal ini, wisatawan ke Banyuwangi dulunya hanya sekitar 491 ribu orang, kini mencapai 5,3 juta orang pertahun. Jika dahulu tingkat kemiskinan warga Banyuwangi di angka 20,4 persen, kini turun menjadi 7,52 persen. Salah satu terendah di Jatim.

“Ini sejalan dengan amanat yang disampaikan Ibu Ketua Umum Ibu Megawati Soekarnoputri, agar kebudayaan terus ditumbuhkan. Kita lihat Bodjonegoro yang kaya minyak saja masih 12 persen kemiskinannya,” kata Anas.

“Sehingga Presiden pernah pidato kalau mau belajar Sillicon Valey belajarlah ke Bandung, tapi kalau belajar menurunkan kemiskinan belajarlah ke Banyuwangi,” tambahnya.

Pendapatan perkapita masyarakat Banyuwangi juga meningkat. Dulunya hanya Rp14 juta pertahun, dan kini sudah mencapai Rp51,8 juta.

“Kami tidak ada kawasan industri, seperti Lamongan, Tuban, dan seterusnya. Kami punya budaya, karena DNA Indonesia adalah budaya, maka budaya kita ini yang kita jadikan strategi untuk membangun daerah,” tegas Anas.

Anas mengatakan, Banyuwangi adalah bukti bahwa daerah boleh maju dengan budaya dan pariwisata, namun sawah-sawah rakyat tak boleh dikorbankan. Kerap terjadi ketika pariwisata meningkat dan nilai properti membumbung tinggi, tanah rakyat diperjualbelikan demi mengakomodasi pemodal besar.

“Ini mungkin menyampaikannya mudah, tapi saya sudah 10 tahun agak sakit perut menahan ini. Betapa kepentingan luar biasa, misal properti di sekitar bandara. Tapi pesan Ketua Umum, supaya keseimbangan ini dijaga,” kata Anas. (faz/bas/ipg)

Berita Terkait

Potret NetterSelengkapnya

Kecelakaan Mobil Porsche Seruduk Livina di Tol Porong

Mobil Tertimpa Pohon di Darmo Harapan

Pagi-Pagi Terjebak Macet di Simpang PBI

Surabaya
Jumat, 29 Maret 2024
27o
Kurs