Kamis, 28 Maret 2024

Membuka Peluang Bail-Out dan Blanket Guarantee, FPKS Tolak Perppu No 1 Tahun 2020 Jadi UU

Laporan oleh Muchlis Fadjarudin
Bagikan
Ecky Awal Mucharam anggota DPR RI fraksi PKS (kanan). Foto: Dok/Faiz suarasurabaya.net

Ecky Awal Mucharam anggota Komisi XI DPR RI dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (FPKS) mengatakan bahwa Perppu no 1/2020 telah berdampak buruk pada sistem keuangan, sehingga FPKS menolak Rancangan Undang-Undang (RUU) Tentang Penetapan Perpu No. 1 tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan menjadi Undang-Undang.

FPKS berpedapat sebaiknya Pemerintah fokus mengatasi dampak-dampak dari Covid-19, dengan menghadirkan payung hukum atau Perppu yang tidak bermasalah. Tapi FPKS menolak Perppu 1/2020 untuk dijadikan UU.

“Perppu ini membuka banyak ruang terbuka yang berbahaya bagi sistem keuangan kita. Kekuasaan tak terbatas Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK), kekebalan hukum, dibukanya peluang kebijakan bail-out dan blanket guarantee adalah contoh-contohnya. Ini sangat berbahaya,” ujar Ecky saat raker Badan Anggaran (Banggar) DPR dengan Menkeu, OJK, dan LPS, Selasa (5/5/2020).

Kata Ecky, Perppu No. 1 Tahun 2020 telah membuka peluang terjadinya kebijakan bail-out atau penyelamatan sektor keuangan dengan keuangan negara yang bersifat tidak adil.

“Kebijakan bailout memunculkan ketidakadilan bagi rakyat, dan seharusnya skema penyelematan bank melalui peran pemegang saham atau group konglomerasinya (bail-in) sebagaimana ditetapkan pada UU No. 9 Tahun 2016 tentang PPKSK. Seharusnya ini yang tetap digunakan dan diutamakan. Hal ini disebabkan pemilik bank merupakan konglomerat di negeri ini. Bisnisnya pun menjamur ke sektor-sektor lainnya. Jadi, tidak ada alasan untuk tidak mampu menggunakan skema bail-in,” tegasnya.

Ecky menekankan bahwa skema bail-out selalu berpotensi melahirkan skandal penyimpangan kekuasaan keuangan negara atas penanganan krisis yang telah menimbulkan biaya yang besar dan telah mengingatkan publik atas trauma krisis ekonomi 1997-1998.

Penyimpangan tersebut telah membebani negara lebih dari Rp650 triliun ditambah dengan beban bunganya. Beban berat ini kemudian ditanggung oleh rakyat secara keseluruhan melalui beban pajak dan inflasi yang berkelanjutan.

“Segelintir kelompok konglomerat menikmati kebijakan yang tidak adil dari fasilitas BLBI dan Obligasi Rekap dan tetap menjadi penguasa modal paska reformasi sampai sekarang. Mereka tetap memiliki privilege menjadi oligarki ekonomi dan modal yang bahkan mempengaruhi lanskap sosial dan politik hari ini. Kita menolak skema bail-out dari keuangan negara atas kerugian perusahaan swasta baik bank, lembaga keuagan, atau perusahaan lainnya,” jelasnya.

Ecky juga mengungkapkan bahwa Perppu No. 1 Tahun 2020 memunculkan potensi lahirnya kebijakan penjaminan penuh (blanket guarantee) yang melukai keadilan dan berpotensi memunculkan moral hazard. Pada Pasal 20 disebutkan bahwa LPS diberikan kewenangan untuk merumuskan dan melaksanakan kebijakan penjaminan simpanan untuk kelompok nasabah dengan mempertimbangkan sumber dana dan/atau peruntukkan simpanan serta besaran nilai yang dijamin bagi kelompok nasabah tersebut yang diatur dengan Peraturan Pemerintah. Sementara pada Pasal 22 ayat 1 ditegaskan bahwa untuk mencegah krisis sistem keuangan yang membahayakan perekonomian nasional, Pemerintah dapat menyelenggarakan program penjaminan di luar program penjaminan simpanan sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang mengenai LPS. Dengan penjaminan penuh (full guarantee) maka seluruh simpanan di perbankan seluruhnya dijamin oleh pemerintah.

“Tentu ini menciderai rasa keadilan rakyat. Selain berpotensi memunculkan moral hazard,” pungkas Ecky.(faz/ipg)

Berita Terkait

Potret NetterSelengkapnya

Kecelakaan Mobil Porsche Seruduk Livina di Tol Porong

Mobil Tertimpa Pohon di Darmo Harapan

Pagi-Pagi Terjebak Macet di Simpang PBI

Surabaya
Kamis, 28 Maret 2024
31o
Kurs