Jumat, 29 Maret 2024

MPR Berpotensi Lakukan “Abuse of Power” Jika Mengamandemen UUD untuk Menunda Pemilu

Laporan oleh Muchlis Fadjarudin
Bagikan
Arsul Sani anggota Komisi III DPR RI. Foto: Faiz suarasurabaya.net

Arsul Sani Wakil Ketua MPR RI dari fraksi PPP menegaskan, sejak wacana penundaan Pemilu digelindingkan oleh Muhaimin Iskandar Ketum PKB dan juga disuarakan Airlangga Hartarto Ketum Partai Golkar serta diamini Zulkifli Hasan Ketum PAN, sampai saat ini MPR belum membicarakan secara formal soal wacana penundaan Pemilu tersebut.

“MPR RI dalam hal ini pimpinan MPR dan fraksi-fraksi di MPR secara formal belum pernah membicarakan soal wacana penundaan Pemilu 2024,” ujar Arsul dalam keterangannya, Senin (28/2/2022).

Tetapi, kata Arsul, pimpinan MPR memang mengikuti wacana penundaan Pemilu melalui media, yang selanjutnya berkomentar di grup WA internal.

“Yang ada tentu kami pimpinan MPR mengikuti wacana yang ada di ruang publik dan media dan kemudian saling memberikan komentar di WAG internal. Kalau soal konten komentarnya ya tentu sesuai dengan sikap partai masing-masing,” jelasnya.

Sebagai satu di antara Wakil Ketua MPR RI dari PPP, Arsul berpendapat bahwa meskipun penundaan Pemilu memang bisa dilakukan dengan amandemen UUD oleh MPR, tapi secara moral konstitusi tidak pas untuk melakukan amandemen UUD jika MPR tidak bertanya dulu kepada rakyat secara keseluruhan, apakah rakyat setuju pemilu ditunda.

Jika hanya mengandalkan kekuasaan formal MPR untuk mengubah UUD NRI 1945 , maka meski syarat Pasal 37 UUD bisa dipenuhi, menurut Arsul, MPR tidak akan bisa menghindar dari kesan melakukan “abuse of power” (kesewenang-wenangan kekuasaan).

“UUD NRI 1945 itu jelas menetapkan bahwa pemegang kedaulatan di Indonesia ini adalah rakyat. Menunda pemilu itu berarti menunda hak konstitusional pemegang kedaulatan untuk memilih para pengemban mandat yang akan melaksanakan kedaulatan tersebut untuk masa lima tahun yang akan datang,” tegas Arsul.

Secara moral sebagai anggota MPR-RI, Araul melihat tidak elok bahwa sebagai pemegang mandat kedaulatan, MPR justru mereduksi hak pemilik kedaulatan, yakni rakyat, jika tanpa bertanya kepada rakyat itu sendiri yang memiliki kedaulatan.

“Jadi, bagi saya, tidak cukup hanya mengandalkan landasan formal Pasal 37 UUD NRI 1945, tanpa diikuti dengan bertanya kepada rakyat, apakah mereka setuju hak konstitusional-nya untuk memilih pemegang mandat lima tahunan baik di rumpun eksekutif maupun legislatif ditunda,” pungkas Arsul.(faz/iss/ipg)

Berita Terkait

Potret NetterSelengkapnya

Kecelakaan Mobil Porsche Seruduk Livina di Tol Porong

Mobil Tertimpa Pohon di Darmo Harapan

Pagi-Pagi Terjebak Macet di Simpang PBI

Surabaya
Jumat, 29 Maret 2024
32o
Kurs