Jumat, 29 Maret 2024

Perludem: Pembenahan Peran Parpol Bisa Menutup Kelemahan Sistem Pileg Proporsional Terbuka

Laporan oleh Farid Kusuma
Bagikan
Perwakilan delapan partai politik yang ada di DPR RI menyampaikan pernyataan bersama menolak sistem pemilu legislatif proposional tertutup, Rabu (11/1/2023), di Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta. Foto: Farid suarasurabaya.net

Sebanyak delapan partai politik (parpol) yang punya wakil di parlemen (DPR RI), melakukan konsolidasi dan mernyatakan sikap menolak sistem pemilu proporsional tertutup. Konsolidasi itu diinisiasi Partai Golkar

Airlangga Hartarto Ketua Umum Partai Golkar menegaskan dukungan terhadap sistem pemilu proporsional terbuka untuk menjaga kemajuan demokrasi.

Menurutnya, sistem Pemilu proporsional tertutup merupakan kemunduran bagi demokrasi.

“Kami menolak proporsional tertutup dan memiliki komitmen untuk menjaga kemajuan demokrasi di Indonesia yang telah dijalankan sejak era reformasi,” ujarnya di Jakarta, Minggu (8/1/2023).

Afit Khomsani Ketua Network for Indonesia Democratic Society (Netfid) Indonesia mengapresiasi respons delapan parpol tersebut.

Dia menilai para elite parpol mulai beranjak ke wacana yang lebih produktif. Pernyataan sikap itu juga mempunyai dampak positif pada perhatian publik menjelang Pemilu 2024.

“Artinya, para elite mulai aware dengan Pemilu 2024 dan komitmen pada penyelenggaraan Pemilu 2024, serta meninggalkan wacana kontraproduktif yang dulu sering dilakukan, misalkan menunda Pemilu,” katanya kepada wartawan, Rabu (11/1/2023).

Afit menyadari, tidak ada sistem pemilu yang paling ideal dan bagus. Tapi, sistem pemilu dipilih berdasar yang paling memungkinkan dan bisa disesuaikan dengan konteks dan kultur masyarakat.

Sistem pemilu proporsional terbuka memiliki beberapa kelemahan. Di antaranya mengecilnya peran parpol, dan rawan politik uang.

“Karena adanya liberalisasi dalam proses pemilu, di mana para calon saling berlomba untuk mendapatkan suara terbanyak,” paparnya.

Lebih lanjut, Afit menyebut masalah yang patut diperhatikan terkait sistem pemilu proporsional terbuka adalah derajat kedekatan warga dengan partai yang akan dipilih atau party-identification (Party-ID).

“Problem kita adalah rendahnya Party ID, bahkan sekarang hampir tidak ada. Hal itu diakibatkan pada banyak faktor, termasuk disorientasi parpol, ideologi yang semakin tidak jelas, dan sebagainya,” tambahnya.

Untuk mengatasi kelemahan tersebut, parpol diharapkan mampu memastikan calon legislatif (caleg) yang diusung merepresentasikan Party-ID yang kuat.

“Tentu parpol mempunyai tugas untuk memastikan bahwa calon yang diusung atau dicalonkan adalah calon yang mempunyai Party ID yang kuat, tidak hanya semata elektabilitas dan tingginya basis dukungan,” lanjutnya.

Sedangkan untuk meminimalisir politik uang, parpol juga patut untuk mempunyai mekanisme kontrol atas dana kampanye yang digunakan dan tidak memanfaatkan surat rekomendasi sebagai mahar politik.

“Parpol juga tentu harus mempunyai mekanisme yang jelas dan kontrol atas dana politik dan kampanye yang dilakukan oleh kader-kadernya. Sebaliknya, parpol jangan memanfaatkan situasi ini untuk menjadikan surat rekomendasi sebagai mahar politik,” pungkasnya.

Sementara itu, Khairunnisa Nur Agustyati Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) mengatakan, kompleksitas sistem proporsional terbuka bisa diatasi dengan beberapa strategi.

“Misalnya, pada tahun 2019 dengan sistem proporsional terbuka, memang ada kompleksitas, surat suara besar, kompleks karena menggabungkan lima pemilu dalam satu hari. Belajar dari hal itu, pemilu mendatang tidak menggabungkan lima pemilu dalam satu hari,” katanya.

Kemudian, harus diperhitungkan jumlah caleg pada daerah pemilihan. Sekarang ada 18 partai yang akan berlaga di Pemilu 2024. Kalau dari dapil ada 10 caleg, maka kertas suara semakin besar ukurannya.

“Dapil penting untuk disederhanakan, mungkin paling banyak 6 atau 8. Bagi pemilih, dalam situasi pemilih yang belum terlalu melek politik, pemahaman pemilu belum maksimal, mereka belum mencari tahu. Kalau pemilih yang baik kita harus cari tahu,” jelasnya.

Apalagi dari pengalaman sebelumnya, banyak caleg yang tidak dikenal pemilih, dan informasi tentang caleg minim. Tapi, sekarang di era digital dan media sosial, siapa pun bisa dikenal dan dicari informasinya.

“Tentu medsos jadi sarana yang efektif hari ini karena mudah, gratis dan cepat menyebarkan info. Itu jadi metode kampanye yang efektif apalagi bagi mereka yang terbatas finansial, dan di medsos bisa berinteraksi,” ungkapnya.

Di sisi lain, Khairunnisa mengingatkan parpol dan caleg yang aktif di media sosial waspada dengan adanya disinformasi atau hoaks.

Lalu untuk politik uang, baik sistem proporsional terbuka mau pun tertutup sama-sama rentan. Bedanya, dalam sistem proporsional terbuka, uang bisa beredar di pemilih dan kandidat. Sementara pada sistem proporsional tertutup, bisa berupa suap untuk menentukan nomor urut partai.(rid)

Berita Terkait

Potret NetterSelengkapnya

Kecelakaan Mobil Porsche Seruduk Livina di Tol Porong

Mobil Tertimpa Pohon di Darmo Harapan

Pagi-Pagi Terjebak Macet di Simpang PBI

Surabaya
Jumat, 29 Maret 2024
32o
Kurs