Jumat, 1 November 2024

Pengamat: People Power Versi 02 Distorsi Demokrasi, Solusinya Rekonsiliasi

Laporan oleh Denza Perdana
Bagikan
Novri Susan Pengamat Politik sekaligus Pengajar di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Negeri Airlangga dalam diskusi "Positive People, Positive Power" di Surabaya, Kamis (26/5/2019). Foto: Denza suarasurabaya.net

Novri Susan Pengamat Politik sekaligus Pengajar di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Negeri Airlangga mengatakan, people power dalam konteks yang dimaksud kubu calon presiden (capres) 02 jauh dari memenuhi syarat.

Sandiaga Salahuddin Uno Calon Wakil Presiden 02 pendamping Prabowo Subianto, beberapa waktu lalu mengajak pendukungnya di Surabaya agar terus berjuang sebagaimana perjuangan rakyat pada peristiwa Reformasi, Mei 1998 silam.

People power kubu 02 ini jauh dari memenuhi (syarat) untuk menggerakkan masyarakat ke lapangan, menciptakan gerakan ekstraparlementer demi memaksa perubahan struktur politik secara radikal,” ujar Susan usai diskusi “Positive People Positive Power” di Surabaya, Kamis (16/5/2019).

Dia menjelaskan, people power untuk perubahan struktur radikal seperti masa 1998 itu karena desakan kondisi pada saat itu. Menurutnya, saat itu sumbatan-sumbatan politik sudah terlalu besar.

“Kekerasan terhadap masyarakat sangat besar sehingga masyarakat tidak punya pilihan. Karena saat itu struktur politik tidak bekerja. Nah, sekarang ini kan struktur politik diawasi oleh masyarakat, sangat terbuka banget,” ujarnya.

Susan berpendapat, people power kubu 02 justru lebih mengarah pada distorsi demokrasi, bukan hanya pendelegitimasian penyelenggara Pemilu: KPU maupun Bawaslu. Karena kubu 02 juga menolak Mahkamah Konstitusi.

“Levelnya sudah menolak, sudah enggak mau mengakui, bahkan bukan hanya KPU, kan? MK juga. Padahal MK lembaga yudikatif, sebagai representasi struktur politik negara. Kalau itu tidak diakui, ini sudah distorsi demokrasi. Menurut saya ini berbahaya bagi bangsa dan negara,” ujarnya.

Dr. Sidratahta Mukhtar Pengamat Politik dari Universitas Kristen Indonesia (UKI) Jakarta. Foto: Denza suarasurabaya.net

Novri Susan bahkan menegaskan pendapatnya bahwa upaya mobilisasi massa seperti itu, yang sudah pada level distorsi demokrasi, menurutnya sangat inkonstitusional.

“Persoalannya, kalau bersifat kolektif seperti ini, penanganan yang tepat tidak lagi bersifat orang-perorangan. Ada yang menyebut rekonsiliasi, tapi penegakan hukum juga harus dilakukan pada level-level yang bisa diterapkan,” katanya.

Dr. Sidratahta Mukhtar Pengamat Politik dari Universitas Kristen Indonesia (UKI) Jakarta berpendapat, apa yang perlu dilakukan untuk mencegah dampak dari apa yang disebut people power itu adalah rekonsiliasi.

“Tokoh masyarakat seperti Muhammadiyah sudah menawarkan rekonsiliasi. Itu begini. Sekarang ini, di Indonesia, satu keluarga ada yang berbeda kubu calon presiden. Misalnya istri di kubu 02, suaminya di kubu 01. Tapi mereka tetap baik-baik saja.”

“Artinya, kita ini memiliki sistem sosial yang memungkinkan pencegahan atas kondisi terparah secara seketika, yang disebabkan oleh terjadinya hal-hal seperti itu (people power,red),” ujarnya pada kesempatan yang sama di Hotel Santika Gubeng Surabaya.

Pengajar Ilmu Politik yang juga pendiri Center For Security and Foreign Affairs (CESFAS) UKI Jakarta itu juga menekankan perlunya antisipasi dengan pendekatan yang lembut, bukan dengan show off force melibatkan militer.

“Sebaiknya harus dihindari penggunaan aparat secara eksploitatif, secara show off force. Karena penggunaan militer sejatinya berada pada degradasi terakhir, ketika polisi dan sistem hukum tertib sosial itu tidak ada,” ujarnya.

Dia mengingatkan pemerintah jangan sampai membalik mindset dengan melakukan pamer kekuatan militer. Karena saat ini belum terbukti ada people power. “Karena kalau dipancing dengan itu, akan muncul perlawanan lebih besar (dari rakyat, red),” katanya.

Sidratahta juga berpendapat, jalan revolusi bukan suatu proses yang cocok untuk Indonesia. Karena menurutnya, Indonesia bukan bangsa yang bisa disatukan dengan cara hard power atau pendekatan yang sangat keras.

“Karena itu bisa berlaku begini. Ketika revolusi terjadi di Jawa, misalnya, belum tentu itu juga terjadi di Sumatera. Seperti itu. Saya kira jalan terbaik adalah rekonsiliasi,” ujarnya.(den/dwi)

Berita Terkait

Potret NetterSelengkapnya

Teriknya Jalan Embong Malang Beserta Kembang Tabebuya

Bunga Tabebuya Bermekaran di Merr

Kebakaran Pabrik Plastik di Kedamean Gresik

Surabaya
Jumat, 1 November 2024
27o
Kurs