
Situasi geopolitik di Timur Tengah kembali berada di ambang eskalasi besar setelah Amerika Serikat mengerahkan pesawat kargo militer terbesar di dunia, C-5M Super Galaxy, ke Arab Saudi. Pesawat ini diketahui lepas landas dari Pangkalan Udara Aviano di Italia dan tiba di kawasan Teluk Persia pada Kamis (19/6/2025), hanya beberapa ratus kilometer dari perbatasan Iran.
Langkah tersebut memicu kekhawatiran global, mengingat meningkatnya ketegangan antara Iran dan Israel yang berpotensi menyeret kekuatan-kekuatan besar dunia ke dalam konflik terbuka.
Ahmad Khoirul Umam, Direktur Pascasarjana Studi Hubungan Internasional Universitas Paramadina, Jakarta, menilai bahwa pengerahan militer AS ini merupakan sinyal jelas atas kemungkinan keterlibatan lebih jauh Washington dalam konflik Iran–Israel.
“Kehadiran militer AS dalam skala sebesar ini, tanpa mandat internasional, sangat berbahaya dan membuka peluang terjadinya strategic miscalculation antara negara-negara besar. Jika terjadi salah kalkulasi, situasi bisa berubah menjadi konflik global,” ujar Umam dalam pernyataan tertulisnya kepada suarasurabaya.net, Sabtu (21/6/2025).
Ia menambahkan, kehadiran AS di kawasan dengan mengandalkan pendekatan militer justru bisa menyulut respons keras dari Iran dan negara-negara sekutunya, termasuk Rusia dan Tiongkok, yang selama ini memiliki hubungan strategis dengan Teheran.
“Benturan ego pemimpin dunia dapat menutup ruang diplomasi dan mempercepat eskalasi menuju konfrontasi bersenjata. Bila ini terjadi, bukan tidak mungkin senjata pemusnah massal akan menjadi bagian dari solusi ekstrem yang mengerikan,” tambah Umam.
Selain potensi ancaman perang global, Umam juga menyoroti ironi yang terjadi di dunia Islam. Di saat Iran meskipun mewakili mazhab Syiah berani secara terbuka menghadapi Israel, negara-negara mayoritas Muslim lain justru terkesan diam, atau bahkan membiarkan wilayah udaranya digunakan dalam operasi militer terhadap Iran.
“Konflik ini mencerminkan pergeseran orientasi dunia Islam. Banyak negara di kawasan justru lebih mempertimbangkan kalkulasi geopolitik ketimbang solidaritas keumatan. Beberapa di antaranya bahkan menormalisasi hubungan dengan Israel dan menoleransi agresinya terhadap Iran,” tegasnya.
Umam menyebut hal ini sebagai cerminan bergesernya persepsi ancaman di dunia Islam. Jika dahulu Israel dianggap sebagai aktor yang mengancam kawasan, kini sebagian negara lebih memandang Iran sebagai ancaman utama, seiring masuknya pengaruh kekuatan besar dunia dan tekanan geopolitik dari Barat.
Menyikapi potensi tragedi global ini, Umam mengatakan, Amerika Serikat dan negara-negara besar dunia agar tidak terus mendorong pendekatan militer dalam merespons krisis Iran–Israel.
“Amerika, terutama di bawah tekanan politik dalam negeri, harus menahan diri dan mendorong diplomasi multilateral yang adil. Jangan lagi memanjakan Israel, tetapi jadilah kekuatan yang mendorong perdamaian dunia,” katanya.
Lebih lanjut, Umam mengingatkan dunia untuk belajar dari sejarah. Perang Dunia I dan II, kata dia, terjadi karena kesalahan kalkulasi para pemimpin dunia yang terjebak pada kebanggaan nasionalisme dan ego kekuasaan.
“Dunia tak boleh lengah. Kita berisiko menghadapi Perang Dunia III jika eskalasi ini tidak segera dikendalikan. Kemenangan sejati bukan terletak pada kekuatan militer, tapi pada keberanian berdialog dan membangun kepercayaan di atas reruntuhan ketakutan,” pungkasnya.(faz)