Minggu, 28 Desember 2025

Angka Perceraian di Jatim Turun, Lia Istifhama Ingatkan Negara Jangan Sekadar Bangga Statistik

Laporan oleh Muchlis Fadjarudin
Bagikan
Ilustrasi - Cincin pernikahan. Foto: Pixabay

Tren penurunan angka perceraian di Jawa Timur dalam beberapa tahun terakhir dinilai sebagai capaian positif, namun belum cukup untuk membuat negara berpuas diri.

Lia Istifhama Senator DPD RI asal Jawa Timur menegaskan bahwa penurunan statistik harus dibarengi dengan kebijakan yang lebih kuat dan berkelanjutan untuk menjaga ketahanan keluarga.

Data menunjukkan Jawa Timur masih menempati peringkat kedua nasional dengan 77.658 kasus perceraian, di bawah Jawa Barat dan di atas Jawa Tengah. Meski secara absolut angka tersebut menurun sejak 2022, Pulau Jawa tetap menjadi episentrum perceraian nasional.

“Angka perceraian tidak boleh dibaca sekadar sebagai data tahunan. Di balik setiap kasus ada perempuan dan anak yang menanggung dampak sosial, psikologis, dan ekonomi jangka panjang,” kata Lia Istifhama.

Ia mengapresiasi langkah Pemerintah Provinsi Jawa Timur dan Kantor Wilayah Kementerian Agama Jawa Timur yang konsisten memperkuat literasi perkawinan, bimbingan pra-nikah, serta layanan konseling keluarga.

Menurutnya, kebijakan ini mulai menunjukkan hasil nyata. Namun, Lia juga menyoroti fakta bahwa Cerai Gugat masih mendominasi, dengan lebih dari 58 ribu kasus pada 2024, jauh melampaui Cerai Talak yang berada di kisaran 18 ribu kasus.

“Dominasi cerai gugat menandakan dua hal. Di satu sisi, perempuan semakin sadar hukum. Di sisi lain, ini alarm keras bahwa negara belum cukup kuat mencegah relasi perkawinan yang rapuh sejak awal,” tegasnya.

Momentum penguatan ketahanan keluarga, menurut Lia, terlihat saat Pemprov Jatim menandatangani kerja sama perlindungan hak perempuan dan anak di Pasuruan pada 29 Juli 2025.

Ia menilai langkah tersebut sebagai sinyal bahwa negara mulai menempatkan keluarga sebagai pilar utama pembangunan manusia.

Dari aspek keagamaan, Lia menilai penguatan peran Badan Penasihatan, Pembinaan, dan Pelestarian Perkawinan (BP4) menjadi kunci.

Ia mendukung langkah Kementerian Agama yang mendorong BP4 aktif dalam mediasi konflik keluarga, mulai dari pra-nikah hingga pascaperceraian.

“Mediasi harus diposisikan sebagai instrumen utama, bukan sekadar formalitas sebelum sidang cerai. Negara wajib hadir lebih awal, bukan baru datang saat keluarga sudah runtuh,” ujarnya.

Karena itu, Lia secara terbuka mendorong revisi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, dengan menambahkan bab khusus mengenai pelestarian perkawinan berbasis mediasi.

“Undang-undang kita terlalu fokus pada prosedur cerai, tetapi minim instrumen penyelamatan. Perlu bab khusus pelestarian perkawinan, termasuk pelibatan resmi BP4 sebelum hakim menjatuhkan putusan,” kata Lia.

Ia juga menyinggung fenomena fatherless yang semakin menguat di Jawa Timur, yakni ketiadaan figur ayah secara fisik maupun emosional, yang berdampak serius pada tumbuh kembang anak.

“Ketahanan keluarga tidak bisa diserahkan pada satu instansi. Dibutuhkan orkestrasi kebijakan yang menghubungkan data terbuka, layanan konseling, pendidikan keluarga, hingga perlindungan sosial,” tambahnya.

Lia berharap penurunan tren perceraian tidak dijadikan alasan untuk melonggarkan perhatian negara. Menurutnya, justru pada fase ini pemerintah pusat dan daerah harus memperkuat kebijakan pencegahan agar keluarga Indonesia tidak hanya bertahan, tetapi juga sehat dan berdaya. (faz)

Berita Terkait

Potret NetterSelengkapnya

Perpaduan Macet dan Banjir di Kawasan Banyuurip-Simo

Banjir Menggenangi Sidosermo 4

Kecelakaan Bus Vs Truk Gandeng di Jembatan Suramadu

Perpaduan Hujan dan Macet di Jalan Ahmad Yani

Surabaya
Minggu, 28 Desember 2025
25o
Kurs