Jumat, 29 Maret 2024

Tiga Keuntungan Pengembangan Industri Perfilman untuk Pariwisata

Laporan oleh Ika Suryani Syarief
Bagikan
Adegan film Pasir Berbisik yang diambil di Bromo. Foto: Istimewa

Daniel Rohi Anggota Komisi B DPRD Jatim mengatakan, industri perfilman erat kaitannya dengan industri pariwisata. Menurutnya, daerah yang pernah dijadikan lokasi pembuatan film misalnya, selalu mengalami kenaikan kunjungan  wisata.

“Ada tiga hal yang akan didapatkan dalam pengembangan industri ini, pertama mendapatkan hiburan, meningkatkan ekonomi dan membentuk karakter bangsa. Karena karakter bangsa itu terbentuk selain dengan membaca buku juga dari menonton film,” ujar Daniel Rohi seperti dalam siaran pers Kadin yang diterima suarasurabaya.net, Senin (9/11/2020).

Ia mengungkapkan, secara nasional, kontribusi pendapatan industri film mencapai Rp 2,4 triliun di 2019, naik dari Rp 2,1 triliun di 2018. Dan jumlah penonton di  2019 mencapai hampir 60 juta dan terus mengalami peningkatan. Sedangkan jumlah judul film yang dihasilkan juga mengalami kenaikan menjadi 200 judul dari sebelumnya yang hanya 134 judul.

“Besarnya animo pembuatan film ini juga bisa dilihat dari jumlah proposal pembuatan film yang masuk sebanyak 343 proposal, naik 300 persen dari tahun 90an. Ini menunjukkan, industri film Indonesia ini memiliki masa depan bagus. Tetapi ironinya, industri ini hanya terpusat di Jakarta sehingga produksi film lokal daerah masih minim, termasuk Jatim karena terbentur dengan UU 23/2014,” tambahnya.

Daniel menegaskan, ia selalu meminta dan berdiskusi dengan Biro Hukum Provinsi Jatim untuk melakukan kajian tentang banyaknya Perda yang tidak efektif, termasuk Perda nomor 80/2014 tentang perfilman. “Kenapa ada hambatan disni. Harusnya, kalau Perda sudah ada, 6 bulan selanjutnya harus ada Pergub sehingga Perda bisa berjalan. Apakah ini karena terbentur aturan diatas yang memangkas dan menghambat kewenangan daerah. Karena industri film bisa maju ketika ada regulasi yang responsif dan akomodatif terhadap industri ini,” ujarnya.

Selain terbentur dengan persoalan hukum, stagnasi industri film Jatim ini menurut Luthfil Hakim Ketua Komite Tetap Ekonomi Kreatif, Film dan Televisi Kadin Jatim karena belum adanya dukungan finansial dari pemerintah daerah. Harusnya politik anggaran diarahkan pada semua sektor yang memberikan kontribusi terhadap Pendapatan Domestik Regional Bruto (PDRB), termasuk industri perfilman. Dan sebenarnya Perda nomor 80/2014 yang tidak efektif itu pun belum jawab kepentingan dan kebutuhan industri perfilman Jatim.

“Yang harus dilakukan pemerintah, alokasi APBD harus diprioritaskan kepada sektor yang berkontribusi. Apakah Pemprov Jatim dan Pemkot Surabaya sudah melakukannya dan seberapa besar alokasi APBD untuk mendukung sektor yang berkontribusi. Ini yang harus dilihat. Karena ikutan dari industri perfilman ini sangat banyak, diantaranya ada fashion dan bioskop. Ada yang bisa diraup dari sini, misalnya pembuatan merchandise,” tambah Lutfil.

Di sisi lain, dukungan finansial dari lembaga perbankan daerah Jatim juga belum ada. Padahal Bank Jabar dan Bank Banten telah memberi dukungan untuk pembuatan film lokal daerah.”Misal film Seteru dan Guru Ngaji, itu ada Bank Jateng di belakangnya. Saya tidak tahu apakah Bank Jatim sudah pernah terlibat pembiayaan. Karena ini nyata-nyata yang dihadapi oleh industri perfilman daerah. Dalam hal ini, Kadin Jatim juga bisa membuat Corp Finance sebagai solusi dukungan pembiayaan,” tegas Luthfil.(iss/ipg)

Berita Terkait

Potret NetterSelengkapnya

Kecelakaan Mobil Porsche Seruduk Livina di Tol Porong

Mobil Tertimpa Pohon di Darmo Harapan

Pagi-Pagi Terjebak Macet di Simpang PBI

Surabaya
Jumat, 29 Maret 2024
31o
Kurs