Kamis, 16 Mei 2024

Bertemu Pengusaha Jatim, Perwakilan The World Bank Lakukan Validasi Data Ekonomi Indonesia

Laporan oleh Billy Patoppoi
Bagikan
Habib Rab Perwakilan The World Bank berfoto bersama seluruh pengurus KADIN Jatim usai melakukan paparan dalam Forum General Discussion (FGD) bersama pelaku usaha Jawa Timur di Graha Kadin Jatim, Selasa (30/4/2024). Foto: Kadin

Perwakilan The World Bank melakukan Forum General Discussion (FGD) bersama pelaku usaha Jawa Timur (Jatim) di Graha Kadin Jatim, Selasa (30/4/2024). Dalam kesempatan tersebut, mereka ingin menggali informasi secara riil tentang kondisi ekonomi domestik dalam negeri, khususnya di Jatim.

Habib Rab Lead Economist The World Bank mengungkapkan bahwa Bank Dunia sedang melakukan studi komprehensif tentang pertumbuhan ekonomi jangka panjang di Indonesia, termasuk di sektor swasta, diantaranya sektor manufaktur dan jasa. Studi juga dilakukan terhadap perpajakan di Indonesia.

Karenanya, untuk mendorong pertukaran ide yang produktif dan mendapatkan wawasan berharga dari sektor swasta, maka Bank Dunia meminta masukan dari Kadin apakah studi yang dilakukan sudah sesuai dengan kenyataan atau ada hal yang bisa dapatkan sebagai umpan balik untuk mempertajam analisa dan data.

“Dan seperti yang telah diungkapkan oleh Kadin Jatim, beberapa poin yang telah kami kemukakan ternyata memang terjadi di lapangan. Intinya, analisa kami sudah ada pada arah yang tepat,” kata Habib Rab.

Habib Rab Perwakilan The World Bank saat melakukan paparan dalam Forum General Discussion (FGD) bersama pelaku usaha Jawa Timur di Graha Kadin Jatim, Selasa (30/4/2024). Foto: Kadin

Ia menegaskan, penting untuk tetap melakukan konsultasi terhadap sektor swasta agar analisa yang dilakukan lebih tajam sehingga data tidak hanya bercerita tetapi juga berbicara tentang realita yang ada di lapangan, bagaimana dan apa yang dialami dunia usaha. “Tidak sekedar angka saja tetapi kita bisa tahu apa yang ada dibaliknya itu,” jelasnya.

Pada kesempatan tersebut, Habib Rab mengatakan kondisi Indonesia saat ini terbilang masih cukup bagus. Pendapatan per kapita masyarakat juga telah bergeser dari middle income ke level upper middle income. Berbeda dengan India, Nigeria, Philipina dan Mesir dimana income per kapitanya masih di level middle income.

Tetapi saat ini pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) tahunan Indonesia terus mengalami perlambatan. Pertumbuhan sektor manufaktur yang menjadi penyumbang utama ekonomi Indonesia misalnya, ketika dibandingkan dengan berbagai negara, maka pertumbuhannya terbilang cukup lambat, kalah dengan China, Meksiko, Mesir, Nigeria, bahkan dengan India.

Menurut Alexandre Hugo Laure Senior Economist The World Bank, salah satunya disebabkan karena minimnya penelitian dan pengembangan serta rendahnya adaptasi teknologi dan inovasi yang dilakukan oleh industri besar di Indonesia. “Pengeluaran penelitian dan pengembangan terbilang rendah dibandingkan negara-negara sejenis,” tandasnya.

Pengeluaran untuk penelitian dan pengembangan yang dilakukan industri di Indonesia hanya sekitar sembilan persen, jauh tertinggal dibandingkan kompetitor. Dan hanya lima persen perusahaan yang mengeluarkan dana untuk penelitian serta pengembangan.

“Hanya sedikit perusahaan yang memperkenalkan inovasi, baik inovasi produk atau proses. Mengadopsi teknologi dan efisiensi energi juga sangat kecil di Indonesia dan hanya sedikit perusahaan yang mengadopsi praktik manajemen ramah lingkungan,” katanya.

Kondisi tersebut dibenarkan oleh Prof. Tommy Kaihatu yang turut hadir dalam diskusi tersebut, bahwa kecenderungan perusahaan besar di Indonesia kurang berminat melakukan inovasi karena mereka merasa sudah memiliki pasar besar dengan pertumbuhan yang baik.

“Menurut mereka, buat apa melakukan penelitian dan pengembangan. Sementara yang kecil-kecil, UMKM, peningkatan kinerja datang dari inovasi. Tetapi mereka tidak mempunyai akses inovasi karena tidak memiliki dana untuk R&D, tidak punya akses ke pasar ekspor, tidak memiliki akses ke pendanaan dan lain sebagainya. Disamping kompetensi tenaga kerja UMKM itu kecil atau rendah,” katanya.

Begitu juga dengan penerapan teknologi, perusahaan besar yang ada tidak berminat melakukan inovasi karena dianggap membuang-buang uang. Sementara yang kecil (UMKM) tidak bisa melakukan inovasi karena tidak memiliki resources, baik sumber dana, kompetensi SDM dan lain sebagainya.

Meski demikian, lanjut Prof. Tommy, sebenarnya masih ada peluang pengembangan sektor swasta di Jatim,, khususnya di bidang industri pengolahan atau manufaktur, perdagangan, pertanian dan agrobisnis, pariwisata serta bidang infrastruktur dan konstruksi.

“Selain peluang tersebut di atas, ada pula peluang yang berkaitan dengan pengembangan pasar domestik dan ekspor, serta rencana pelaksanaan hilirisasi sumber daya alam yang akan membuka peluang pengusaha Jatim untuk menggandeng investasi asing. Kita punya row material, SDM dan market,” ungkap Prof. Tommy.

Sejauh ini, lanjutnya, yang menjadi tulang punggung PDB Indonesia adalah dari pajak. Tetapi yang harus ditekankan bahwa Indonesia sebenarnya bisa memperbesar PDB dari sisi non pajak atau non fiskal, seperti hilirisasi industri dalam negeri.  “Sehingga saya mengusulkan hilirisasi di semua sektor harus dipercepat,” tegasnya.

Karena ketika hilirisasi terjadi, maka banyak dibuka industri turunan yang bisa menyerap tenaga kerja.

Meski demikian, kompetensi tenaga kerjanya harus dilatih dengan serius. Program pemerintah yang ditujukan untuk peningkatan kompetensi harus terus dimaksimalkan, seperti yang telah dilakukan Kadin Jatim untuk menjadi satgas revitalisasi pendidikan vokasi.

Adik Dwi Putranto Ketua Kadin Jatim dalam kesempatan itu juga menegaskan, pihaknya memiliki komitmen untuk meningkatkan kualitas tenaga kerja dalam negeri melalui percepatan pelaksanaan revitalisasi pendidikan dan pelatihan vokasi.

Melalui Kadin Institute, sejumlah upaya telah dilakukan, mulai dari menyiapkan pelatih tempat kerja hingga harmonisasi kurikulum. Sertifikasi tenaga kerja juga terus dilakukan untuk mencetak tenaga kerja yang berkualitas dan berdaya saing.

Peningkatan kinerja, tambah Adik, juga bisa dilakukan dengan menguasai pasar dalam negeri karena saat ini pasar di luar negeri tengah melambat. Tetapi Indonesia memiliki tantangan, melalui platform e-commerce, maka transaksi yang terjadi antara dua negara tidak lagi Business to Business tetapi polanya sudah menjadi Business to Consumer (B to C).

Dengan B to C, maka seakan-akan impor Indonesia kecil tetapi ketika jika disadari, ternyata volumenya sangat besar. Sehingga menghambat produk dalam negeri.

“Oleh karena itu harus ada kebijakan yang benar-benar pro terhadap industri domestik kita dalam rangka merebut kembali pasar lokal,” pungkas Adik.(bil/ipg)

Berita Terkait

..
Potret NetterSelengkapnya

Massa Hari Buruh Berkumpul di Frontage Ahmad Yani

Motor Tabrak Pikap di Jalur Mobil Suramadu

Mobil Tertimpa Pohon di Darmo Harapan

Surabaya
Kamis, 16 Mei 2024
25o
Kurs