Kamis, 25 April 2024

Mantan Ketua BPK Dikukuhkan Guru Besar Unair, Ini Penemuannya

Laporan oleh Denza Perdana
Bagikan
Prof. Harry Azhar Aziz, MA., Guru Besar Universitas Airlangga sekaligus Mantan Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Republik Indonesia (RI) periode 2014-2017 saat menyampaikan orasi ilmiah, Senin (26/11/2018). Foto: Istimewa

Prof. Harry Azhar Aziz, MA., Mantan Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Republik Indonesia (RI) periode 2014-2017 dikukuhkan guru besar Universitas Negeri Airlangga (Unair) ke-183 di Aula Garuda Mukti, Surabaya, Senin (26/11/2018).

Harry dikukuhkan atas penelitiannya tentang teori pelaksanaan audit di Indonesia. Dengan pengukuhan ini, dia secara resmi menjadi guru besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Unair yang ke-24.

“Jadi hari ini kita mengukuhkan Pak Harry sebagai guru besar Universitas Airlangga ke-475. Kalau di FEB beliau guru besar ke-24,” kata Mohammad Nasih, Rektor Unair setelah prosesi pengukuhan.

Harry resmi dikukuhkan guru besar setelah berhasil melakukan penemuan berdasarkan penelitian yang telah dia lakukan, yakni dengan menggabungkan tiga teori yang terbukti mempermudah proses audit keuangan.

“Ini, kan, ada tiga teori yang saya coba hubungkan. Antara teori kesejahteraan, teori-teori anggaran, dan teori mengenai auditing,” kata Harry.

Dia menjelaskan, proses audit yang diterapkan belum sejalan dengan peningkatan kesejahteraan masyarakat yang menjadi tujuan utama. Sementara, BPK selama ini lebih banyak menekankan aspek kepatuhan undang-undang.

“Sebenarnya ada peraturan perundang-undangan yang dilupakan, yaitu tanggung jawab kepada terciptanya atau terwujudnya kesejahteraan masyarakat,” jelasnya.

Maka proses audit BPK selama ini, meski menurutnya sudah benar, masih meninggalkan celah. Sehingga ada begitu banyak kepala daerah berprestasi tetapi justru terjerat kasus-kasus korupsi.

Kinerja audit BPK selama ini, kata Harry, 50 persennya adalah audit keuangan. Lainnya, 30 persen untuk audit tujuan tertentu, dan 20 persen untuk audit kinerja pemerintahan.

Dia berteori, persentase itu seharusnya dibalik. Fokus audit harus lebih banyak pada kinerja pemerintahan. Audit kinerja itu diperkuat baik dari segi anggaran maupun personelnya.

Hal itu, kata dia, untuk membuktikan, misalnya selama 19 tahun, sebagaimana yang dia teliti, terjadi kenaikan anggaran sekitar 800 persen lebih tetapi angka kemiskinan di Indonesia turun hanya 45 persen.

Dia sendiri mengaku sedih. Anggaran Pembelanjaan dan Belanja Negara (APBN) dari Rp245 triliun pada 1999 silam menjadi Rp2.200 triliun pada 2018, tetapi tingkat pengangguran di Indonesia masih tinggi.

“Jadi pertanyaannya, anggaran naik terus-menerus tapi kok kesejahteraan indikatornya menurun. Untuk siapa APBN itu?” Ujarnya.(den/dim/ipg)

Berita Terkait

Potret NetterSelengkapnya

Motor Tabrak Pikap di Jalur Mobil Suramadu

Mobil Tertimpa Pohon di Darmo Harapan

Pagi-Pagi Terjebak Macet di Simpang PBI

Surabaya
Kamis, 25 April 2024
26o
Kurs