Jumat, 24 Mei 2024

Ubaya Bedah Fenomena Surat Ijo

Laporan oleh J. Totok Sumarno
Bagikan
Aksi warga masyarakat memperjuangkan penghapusan Surat Ijo di Surabaya. Foto: Dok. suarasurabaya.net

Kompleksitas Surat Ijo di Surabaya menimbulkan kegelisahan masyarakat diberbagai aspek. Laboratorium Hukum Administrasi Negara Fakultas Hukum Universitas Surabaya, Kamis (22/3/2018) menggagas forum group discussion (FGD).

Diharapkan dari FGD itu nantinya akan menggagas dan menginisiasi cetak biru nasib perjuangan Surat Ijo untuk menemukan solusi. FGD digelar di ruang Serbaguna Fakultas Psikologi (SGFP) Universitas Surabaya (Ubaya).

Dijadwalkan, akan hadir 31 orang peserta pemantik yang diundang mewakili unsur-unsur yang berkaitan dengan permasalahan hukum mengenai Surat Ijo. Perwakilan pemerintah pusat, pemerintah kota Surabaya, NGO dan akademisi dimoderatori dan dimoderatori Dr. H Taufik Iman Santoso, S.H., M.Hum.

Pemerintah Kota Surabaya menerbitkan Izin Pemakaian Tanah (IPT) kepada warga yang menempati tanah eks gementee Surabaya serta tanah-tanah peninggalan zaman Belanda, diantaranya: tanah yang diakui berasal dari Eigendom Gementee Soerabaja; tanah yang diakui sebagai Hak Pakai yang asalnya dari Hak Gebruik dan Vruchtgebrik; tanah HPL Pemkot Surabaya; juga tanah eks Pemerintah Hindia-Belanda.

Tanah yang kemudian ditempati warga tersebut dikenal dengan sebutan Tanah Surat Ijo. Kepada pemegang Surat Ijo, dampak yang dirasakan adalah setiap tahunnya, mereka dikenakan kewajiban membayar retribusi yang semakin besar karena disesuaikan dengan Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) dan juga wajib membayar Pajak Bumi dan Bangunan (PBB). Kondisi yang merugikan masyarakat, khususnya rakyat kecil.

Luasan tanah yang dikuasai oleh Pemkot Surabaya seluas ±15.686.414,72 m2. Dari luas tanah tersebut, telah dikeluarkan surat ijo seluas ±1.276,12 ha dengan total jumlah IPT sebanyak kurang lebih 48.000 IPT/Surat Ijo yang tersebar di 23 Kecamatan dan 88 Kelurahan di Kota Surabaya.

Selanjutnya, tanah-tanah bekas Belanda tersebut secara otomatis menjadi milik dan aset barang yang tidak bergerak oleh Pemkot Surabaya.

Jika dikembalikan kepada marwah dari hukum agraria di Indonesia, berkaitan dengan hak atas tanah dengan status Hak Pengelolaan (HPL) bukanlah merupakan hal atas tanah sebagaimana dimaksud dalam UUPA, melainkan wujud hak menguasai dari negara yang kewenangan pelaksanaannya sebagian dilimpahkan kepada pemegangnya yang dalam hal ini adalah Pemkot Surabaya.

Oleh karenanya, Pemkot Surabaya selama ini menyerahkan kepada pihak ketiga suatu hak dengan ketentuan yang berlaku, satu diantaranya adalah Hak Guna Bangunan (HGB) di atas HPL yang diperuntukkan bagi para pengusaha atau badan untuk kegiatan usaha.

Namun permasalahan lain muncul ketika tanah tersebut difungsikan sebagai perumahan dan atau pemukiman yang seyogyanya bertentangan dengan atas hak peruntukkannya.

Dari sekian luas tanah aset Pemkot Surabaya yang memiliki sertifikat HPL, hanya sebagian kecil saja yang diberikan dengan status HGB di atas HPL untuk kegiatan usaha.

“Kami akan membahas ini sebagai upaya untuk masyrakat, juga merupakan peran kami untuk masyarakat yang dalam faktanya banyak terkena masalah ini. Padahal belum jelas landasannya, serta bagaimana menuntaskan maslaah ini. Itulah yang akan kami bahas dalam FGD nanti,” tegas Erly Aristo, S.H., M.Kn, Wakil Ketua Panitia FGD, Rabu (21/3/2018).(tok/rst)

Berita Terkait

..
Potret NetterSelengkapnya

Evakuasi Kecelakaan Bus di Trowulan Mojokerto

Motor Tabrak Pikap di Jalur Mobil Suramadu

Surabaya
Jumat, 24 Mei 2024
32o
Kurs