Jumat, 29 Maret 2024

Jadi Syarat Perjalanan Udara, Epidemiolog: Tes PCR sebagai Alat Diagnosis atau Skrining?

Laporan oleh Agustina Suminar
Bagikan
Ilustrasi. Tim swab hunter Surabaya melakukan kegiatan operasi di perbatasan Surabaya, Rabu (4/11/2020). Foto: Dok.suarasurabaya.net

Setelah pemerintah Indonesia menetapkan aturan bahwa tes RT-PCR menjadi syarat wajib pelaku perjalanan moda transportasi udara, pro dan kontra mulai bermunculan.

Berdasarkan petisi yang disuarakan Dewangga Pradityo dalam platform Change.com, salah satu poin yang ia kritik adalah syarat PCR yang hanya diberlakukan bagi calon penumpang pesawat, namun tidak dengan moda transporasi lain. Saat berita ini diunggah, petisi tersebut sudah ditandatangi 49.415 orang secara online dari target 50.000 tanda tangan.

Hingga kemudian, pemerintah menanggapi hal itu menegaskan bahwa aturan tersebut masih dalam tahap evaluasi. Jadi tidak menutup kemungkinan, tes PCR juga akan menjadi syarat perjalanan bagi semua pelaku perjalanan.

“Kemarin Koordinator PPKM menegaskan, bahwa ini sifatnya masih dilakukan evaluasi. Rencananya memang (tes PCR) nanti akan diterapkan untuk moda transportasi yang lain,” kata Adita Irawati Staf Ahli Menteri Perhubungan saat dihubungi Radio Suara Surabaya, Jumat (29/10/2021) pagi.

Pada kesempatan yang sama, dr. Atoillah Isfandiari Pakar Epidemiologi Universitas Airlangga (Unair) Surabaya. Ia mempertanyakan, apakah pemerintah menempatkan tes PCR sebagai alat diagnosis, atau sebagai alat skrining.

“Jika terkait PCR sebagai salah satu persyaratan perjalanan, saya kira dari sudut pandang ilmu epidemiologi, dilihat dulu PCR itu alat skrining atau alat diagnosis?,” kata dr. Atok kepada Radio Suara Surabaya pada Jumat pagi.

Ia melanjutkan, jika tes PCR sebagai alat diagnosis, maka tes dilakukan terhadap orang yang datang dengan gejala yang mengarah ke Covid-19, dan ditindak lanjuti dengan pemeriksaan penunjang, yakni tes laboratorium. Dalam hal ini, tes lab untuk Covid-19 adalah tes PCR.

“Jadi dalam hal ini, PCR pada dasarnya adalah didesain untuk alat diagnosis. Kalau untuk syarat perjalanan, untuk skrining, saya kira PCR tidak cocok,” ujar pria yang juga sebagai Wakil Dekan II Fakultas Kesehatan Masyarakat Unair Surabaya itu.

Sedangkan, jika alat pemeriksaan yang digunakan untuk skrining, memiliki lima syarat utama. Syarat pertama, alat skrining harus murah.

“Kalau alat itu mahal, maka nggak ideal untuk skrining. Kalau diagnosis silakan. Karena kita hanya mendeteksi apakah orang ini mengarah ke sakit tertentu? Karena dia tidak menunjukkan gejala. Berbeda dengan diagnosis,” jelasnya.

Alat skrining juga harus mudah dilakukan. Ini dikarenakan skrining dilakukan secara massal. “Skrining kan massal, makanya tidak bisa dilakukan skrining pada populasi terluar kalau tidak mudah dilakukan,” tegas dr. Atok.

Ketiga, alat skrining harus memberikan kenyamanan. Keempat, hasil dari alat skrining memiliki validitas yang cukup tinggi. Terakhir, hasilnya harus reliable atau dapat diandalkan.

Reliable artinya hasilnya konsisten. Maksudnya mau siapapun yang melakukan tes dengan metode yang sama, maka hasilnya sama,” lanjutnya.

Sedangkan dalam kasus ini, tes PCR memang memiliki validitas yang tinggi. Namun dr. Atok menjelaskan, untuk mengetahui validitas alat skrining, maka alat skrining harus dibandingkan dengan standar baku metode diagnosis. Sedangkan standar diagnosis untuk Covid-19 juga adalah tes PCR.

“Kalau PCR dijadikan alat skrining, maka PCR dibandingkan dengan PCR? Kembali lagi, tujuan manfaat PCR untuk apa. Kalau skrining, maka menempatkan sesuatu tidak pada tempatnya,” tegasnya.

Namun di sisi lain, dr. Atok sepakat jika tes PCR dilakukan terhadap pelaku perjalanan lintas batas yang krusial. Misalnya antar pulau. Namun jika hanya untuk domestik, tes PCR dianggap kurang cocok sebagai alat skrining.

“Tapi oke lah misalnya diimplementasikan untuk udara. Basicly, saya sepakat kalau orang yang di-PCR dengan hasilnya negatif, berarti kan kemungkinannya dua. Dia memang tidak terinfeksi. Atau sudah terinfeksi tapi tidak menularkan yang lain,” ungkapnya.

Menurut dr. Atok, jika pelaku perjalanan tidak menunjukkan gejala, lalu menggunakan masker dan menerapkan protokol kesehatan yang ketat, sudah divaksin, dan moda transportasi yang digunakan berjarak dengan penumpang lainnya, ia menganggap tes antigen sebagai skrining sudah cukup.

“Kalau kapasitas dikurangi, masker diperketat, tidak ada gejala dan menunjukkan kartu vaksinasi, saya kira alat skrining antigen cukup,” imbuhnya.(tin/ipg)

Berita Terkait

Potret NetterSelengkapnya

Kecelakaan Mobil Porsche Seruduk Livina di Tol Porong

Mobil Tertimpa Pohon di Darmo Harapan

Pagi-Pagi Terjebak Macet di Simpang PBI

Surabaya
Jumat, 29 Maret 2024
30o
Kurs