Kamis, 25 April 2024

RUU TPKS Upaya DPR untuk Melindungi Korban Kekerasan Seksual

Laporan oleh Farid Kusuma
Bagikan

Willy Aditya Ketua Panitia Kerja RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) DPR RI menyatakan, RUU yang diperjuangkannya bertujuan memberikan perlindungan kepada korban.

Menurutnya, undang-undang yang ada sekarang seperti KUHP, UU Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, UU Perkawinan, UU ITE, hingga UU Pornografi belum bisa jadi payung hukum untuk melindungi korban kekerasan seksual.

“RUU TPKS dibutuhkan dalam dua ranah. Pertama, bagaimana korban mendapat keadilan dan perlindungan, agar aparat penegak hukum, khususnya polisi dan jaksa punya legal standing dalam menindak,” ujarnya, Jumat (26/11/2021).

Dia nyatakan itu dalam diskusi bertajuk Stop Kekerasan Seksual di Sekitar Kita! Dengar, Peduli dan Respons (DPR) dalam rangka Hari Internasional Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan, di Gedung DPR, Kompleks Parlemen, Jakarta.

Legislator Partai NasDem itu melanjutkan, hal tersebut penting mengingat penegak hukum bekerja berdasarkan hukum positif.

Dia mengatakan, banyak korban kekerasan seksual tidak melapor karena dalam realisasinya, seksualitas masih dianggap sebagai aib atau hal yang tabu.

“Korban kekerasan seksual itu sudah jatuh, tertimpa tangga, ditimpuk batu, disorakin lagi. Mereka berbicara tapi kemudian disalahkan karena pakai rok kependekan. Kayak gini bukan satu atau dua kali. Jadi, nggak ada tempat di mana mereka mencari keadilan. Maka RUU TPKS ini yang kita butuhkan,” sambungnya.

Ranah kedua yang perlu diatur lewat RUU TPKS adalah soal memisahkan antara urusan publik dan urusan privat. Substansi yang menjadi penting adalah bagaimana kebebasan seksual, penyimpangan seksual dan kekerasan seksual dapat diatur melalui regulasi.

“Memisahkan di mana res publica (urusan publik) dan res privata (urusan privat). Nah, kami ingin atur res publica-nya. Hanya kebetulan objeknya seksulitas. Ini yang sering menjadi perdebatan di Panja,” kata Willy.

Wakil Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR RI itu menambahkan, poin-poin krusial pada RUU TPKS sebenarnya sudah disepakati.

Willy merinci, poin-poin krusial itu meliputi judul undang-undang, sistematika, perlindungan kepada korban, hingga metodologi persidangan kasus kekerasan seksual.

“Metodologi persidangan apakah tertutup atau terbatas. Di Panja dipilih tertutup untuk melindungi korban. Dan yang paling utama adalah hukum acaranya, kalau di KUHP butuh tiga alat bukti. Di RUU TPKS, kesaksian korban sudah bisa jadi alat bukti. Jadi ini UU yang progresif terhadap keadilan,” ujarnya.

Sekarang, kata Willy yang dibutuhkan adalah political will untuk membawa ke rapat pleno dan ke rapat paripurna.

Dia berharap sebelum masa sidang selesai 15 Desember bisa diplenokan, bahkan diparipurnakan sebagai RUU inisiatif DPR.

Dalam forum yang sama, Diah Pitaloka Ketua Presidium Kaukus Perempuan Parlemen menyebut RUU TPKS identik dengan perempuan.

Sebab, 90 persen korban kekerasan yang terjadi di Indonesia datang dari kaum perempuan sehingga RUU TPKS dianggap sebagai dorongan moril dari DPR.

“Emansipasi adalah agenda substansi dari demokrasi. Narasi emansipasi ini tidak boleh surut, harus terus hidup dalam perjuangan di DPR. Dan emansipasi tidak otomatis kewajiban perempuan, karena emansipasi juga dimiliki oleh laki-laki sebagai bagian dari semangat demokrasi,” kata Diah.

Wakil Ketua Komisi VIII DPR itu menggarisbawahi bagaimana perjuangan DPR terhadap emansipasi perempuan tidak berbasiskan gender.

Diah menyebut contoh, bagaimana Ketua Panja RUU TPKS justru dipimpin oleh laki-laki.

“Alhamdulillah, teman-teman DPR termasuk di DPD juga khususnya yang perempuan banyak menyuarakan perlunya penghapusan kekerasan terhadap perempuan,” ucapnya.

Walau RUU TPKS masih terkendala sejumlah perdebatan antarfraksi di DPR, Diah optimistis RUU itu bisa disahkan. Apalagi, semangat anggota DPR periode ini terkait RUU TPKS terbilang lebih baik.

“Kalau RUU ini gagal disahkan, bagaimana nasib korban-korban atau kasus-kasus kekerasan seksual. Kami harus merespons lewat produk hukum. Jangan sampai banyaknya kasus kekerasan seksual menjadi wajah peradaban Indonesia. Persoalan ini nyata, jadi bagaimana kita memperjuangkan keadilan. Ini kepentingan sosial kita karena kekerasan seksual sudah menjadi persoalan publik,” imbuhnya.

Abby Gina Boang Manalu Direktur Eksekutif Jurnal Perempuan menyebut tingginya kasus kekerasan seksual di Indonesia sudah menjadi fenomena gunung es. Masyarakat menantikan regulasi yang komprehensif untuk melindungi korban-korban kekerasan seksual.

“Menurut data Komnas Perempuan, kekerasan seksual yang paling banyak jumlahnya kedua tertinggi dibanding kekerasan yang lainnya. Harapan dari masyarakat bagaimana ada sebuah hukum yang mengatur dan menangani hal tersebut secara komprehensif karena dari berbagai data menunjukkan banyak kasus-kasus kekerasan seksual yang sulit diproses,” ujar Gina.

Jurnal Perempuan melihat banyak korban yang enggan melaporkan kekerasan seksual karena masalah sosial kultural di masyarakat.

Gina memberi contoh, saat korban justru disalahkan ketika mengaku mendapat tindak kekerasan seksual.

“Sistem hukum kita yang belum mengenal persoalan itu sehingga korban seringkali mengalami reviktimisasi. Maka kita punya harapan yang besar dengan RUU TPKS,” timpalnya.

Dukungan terhadap RUU TPKS pun datang dari Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumberdaya Manusia (Lakpesdam) PBNU. Beberapa penolakan terhadap RUU TPKS diketahui kerap datang dari kalangan agamis.

“Apapun agamanya, pasti melarang kekerasan seksual. Sebab kekerasan seksual jelas sekali pelanggaran hak-hak kemanusiaan dan penodaan kesucian. Juga berlawanan dengan hukum Tuhan. Maka semua agama menolak kekerasan seksual, tidak ada yang membolehkan,” kata KH Marzuki Wahid Sekretaris Lakpesdam PBNU.

Dia bilang, negara harus hadir memberikan perlindungan kepada korban-korban kekerasan seksual. Marzuki menilai RUU TPKS menjadi calon payung hukum yang melindungi dan memberikan jaminan pemulihan untuk korban.

“Saya tidak menemukan satu pasal pun dalam RUU TPKS yang melegalisasi zina atau LGBT. Karena RUU TPKS mengatur soal hukuman pelaku, melindungi korban dan pencegahan kekerasan seksual,” urainya.

Marzuki menyatakan, kekerasan seksual lebih jahat dari tindak korupsi. Oleh karenanya, RUU TPKS diperlukan untuk melindungi masyarakat.

“Korupsi kejahatan berat tapi kekerasan seksual lebih berat dari korupsi karena korban kekerasan seksual tidak bisa dipulihkan seperti kemuliannya, kehormatannya, belum lagi korban memiliki trauma. Kami atas nama agamawan mendukung RUU TPKS untuk segera disahkan,” katanya.

Sementara itu, Luky Sandra Amalia Peneliti Institut Sarinah menganggap persoalan kekerasan seksual berkaitan dengan Pancasila. Karen seksualitas masuk dalam ranah privat, negara harus hadir lewat regulasi.

“Kalau ini dikaitkan dengan Pancasila, maka memahami Pancasila harus runut karena kita tidak bisa mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia apabila belum bisa mewujudkan kemanusian yang adil dan beradab,” paparnya.

Amalia mengingatkan, perempuan tidak bisa bekerja sendiri untuk menghentikan kekerasan seksual. Apalagi laki-laki, berdasarkan data yang ada, merupakan pelaku terbanyak dari tindak kekerasan seksual selama ini.

“Dengan menjadikan lelaki sebagai sekutu, kita bisa mengubah mereka dari power abuser menjadi challenge maker maka diperlukan hadirnya laki-laki dalam proses lahirnya UU ini. Saya berharap media bisa bantu blow up sehingga bisa mendorong teman-teman legislatif untuk segera mengesahkan RUU TPKS,” pungkas Amalia.(rid/den)

Berita Terkait

Potret NetterSelengkapnya

Motor Tabrak Pikap di Jalur Mobil Suramadu

Mobil Tertimpa Pohon di Darmo Harapan

Pagi-Pagi Terjebak Macet di Simpang PBI

Surabaya
Kamis, 25 April 2024
26o
Kurs