Sabtu, 27 April 2024

Sejarawan Beberkan Peran Etnis Tionghoa pada Masa Pra-kemerdekaan

Laporan oleh Ika Suryani Syarief
Bagikan
Hasto Kristiyanto Sekjen PDIP (tengah) bersama Zuhairi Misrawi (kanan) dan Bonnie Triyana (kiri) usai acara bertajuk : Imlekan Bareng Banteng di Kantor DPP PDIP, Jakarta, Jumat (12/2/2021). Foto: PDIP

Sejarawan Bonnie Triyana mengatakan perayaan Imlek atau Tahun Baru China bisa terjadi karena etnis Tionghoa memang mempunyai sejarah panjang keberadaan di Indonesia.

“WNI etnis Tionghoa terbukti ikut menghiasi wajah masa perjuangan kemerdekaan Indonesia,” kata Bonnie saat berbicara di perayaan Imlek 2021 yang digelar DPP PDI Perjuangan (PDIP) dengan tema ‘Imlekan Bareng Banteng’, pada Jumat (12/2/2021).

Acara ini yang dilakukan secara virtual, sebagai bentuk patuh kepada protokol kesehatan Covid-19. Dan ditayangkan secara langsung di channel resmi PDIP di Youtube @pdiperjuangan.

Bonnie menuturkan pada tahun 1932, didirikan Partai Tionghoa Indonesia. Partai ini ikut terlibat dalam politik pra-kemerdekaan Indonesia.

“Pada tahun 1932 ada Partai Tionghoa Indonesia yang didirikan oleh Liem Koen Hian. Dia seorang etnis Tionghoa yang berwawasan nasionalis Indonesia. Dia juga berkawan dengan Bung Karno,” tutur Bonnie seperti dilaporkan Antara.

Bahkan ada seorang perwira TNI AL beretnis Tionghoa bernama John Lie, yang sudah ditetapkan menjadi pahlawan nasional.

“Jadi sebetulnya tidak ada perbedaan. Mereka semua punya peran, punya posisi penting, berdampingan dengan sejarah kita,” ucap Bonnie.

Menurut dia, jika kini isu rasial terhadap WNI etnis Tionghoa terjadi, sebenarnya juga sudah ada dari masa kolonialisme Belanda. Penjajah saat itu mengelompokkan masyarakat di Hindia Belanda berdasarkan segregasi ras atau yang disebut dengan Regering Reglement pada tahun 1854. Pertama orang kulit putih atau Eropa, kemudian orang Timur Asing dan orang China, serta Inlander atau pribumi.

“Ini sangat diskriminatif. Politik rasial yang sangat diskriminatif,” kata Bonnie menegaskan.

Oleh karena itu, dia menyebut mereka yang berpikir seperti itu di saat ini sebagai masyarakat yang memiliki kesadaran “pra-ke-Indonesiaan” atau sebelum awal abad 2020.

Titik perlawanan terhadap kebijakan rasialis Kolonial itu adalah ketika para pemuda bersatu pada tahun 1928 atau peristiwa Sumpah Pemuda.

“Jadi waktu ada wakilnya. Orang Tionghoa, orang Ambon, Orang Sumatera, dan dari mana-mana sudah mewakili daerah-nya kemudian berikrar untuk menjadi Indonesia. Jadi meninggalkan kesadaran pra-Indonesia yang sebetulnya disekat-sekat secara sempit berdasarkan segregasi ras,” ujar Bonnie.

Keinginan bersatu ini, selain pada saat Sumpah Pemuda, juga diperkuat oleh pidato Bung Karno 1 Juni 1945. Yang mengatakan Indonesia adalah negara oleh semua dan untuk semua.

“Paham-nya nasionalisme modern yang tidak tersekat latar belakang agama, etnis, maupun, ras,” tutur Bonnie.

Perayaan Imlek di era Presiden Soekarno diperbolehkan dan tidak dilarang. Di masa Orde Baru, masa Presiden Soeharto, Imlek dilarang melalui Inpres Nomor 14 Tahun 1967.

Setelah dilarang hampir 30 tahun, cerita Bonnie, masa kepemimpinan Soeharto berakhir dan Imlek kembali boleh dirayakan di masa kepemimpinan Presiden Abdurrahman Wahid alias Gus Dur pada tahun 2000. Kebijakan ini lalu disempurnakan oleh Presiden Megawati Soekarnoputri yang menetapkan Imlek sebagai hari libur nasional pada tahun 2002.

“Sehingga orang tidak hanya warga Tionghoa tapi non-Tionghoa ikut merayakannya sebagai satu rasa kebersamaan, sebagai satu rasa dan bangsa yang tidak membeda-bedakan ras dan etnis,” kata Bonnie.

Ditegaskan Bonnie, jika ada orang saat ini masih berpikiran rasis terlebih kepada etnis Tionghoa, mereka adalah orang yang terjebak dalam pemikiran kolonialisme. “Itu kita kategorikan orang yang berada dalam kesadaran orang di bawah kesadaran pra-Indonesia atau di bawah kolonialisme. Jadi udah tidak keren,” tutur Bonnie.

Padahal, lanjut Bonnie, jika mengacu sejarah, pada 4.000 tahun lalu ada yang masuk ke Nusantara dari Yunnan, wilayah China saat ini.

“Masuk ke Indonesia dan kemudian sudah bermukim di kepulauan Nusantara. Jadi kalau dites DNA gitu, kita pasti punya sisi genetik dari Yunnan,” ujarnya.

Atas dasar tersebut, dia meminta seluruh masyarakat tetap belajar sejarah untuk mengenal kebudayaan Indonesia sendiri.

“Sehingga kita sebagai sebuah bangsa tidak bisa dipecah belah oleh sentimen-sentimen yang sempit, bernada hasutan yang bersifat rasial,” ucap Bonnie.(ant/iss/lim)

Berita Terkait

Potret NetterSelengkapnya

Motor Tabrak Pikap di Jalur Mobil Suramadu

Mobil Tertimpa Pohon di Darmo Harapan

Pagi-Pagi Terjebak Macet di Simpang PBI

Surabaya
Sabtu, 27 April 2024
32o
Kurs