Sabtu, 27 April 2024

Sosiolog: Budaya Buang Sampah di Sungai Terjadi karena Kurangnya Sanksi Informal

Laporan oleh Ika Suryani Syarief
Bagikan
Ilustrasi sungai penuh sampah. (Foto: Brury suarasurabaya.net)

Dalam semua komunitas sosial, beberapa manusia memiliki peluang melakukan perilaku yang menyimpang, pernyataan itu dikatakan oleh Dr. Karnaji, S.Sos.,M.Si Dosen FISIP Universitas Airlangga saat mengudara bersama Radio Suara Surabaya, Rabu (20/10/2021).

Pernyataan Karnaji disusul atas responnya terkait keterangan dari Erna Purnawati, Kadis PU Binamarga & Pematusan mengenai permasalahan klasik masyarakat yang masih membuag sampah di sungai.

“Karena itu perlu adanya peringatan dari komunitas masyarakat itu sendiri, bisa melalui tetangga kanan-kiri, substansi RT dan RW, agar perilaku masyarakat yang masih membuang sampah di sungai itu bisa dicegah,” ujar sosiolog itu.

Ia berpendapat bahwa hubungan antar masyarakat masih memiliki dampak untuk menjaga komitmen bersama.

“Misalnya begini ‘bagi yang tidak mau gotong royong maka dia layak untuk hidup sendirian’ nah aturan seperti itu kan tidak ada di RUU KUHP, namun komitmen dan aturan bersama itu masih efektif diterapkan meski sifatnya informal,” jelasnya.

Kendati demikian, Kartaji menggaris bawahi harus ada orang yang menggerakan komunitas sosial secara kolektif agar ketersusunan norma dan aturan hingga sanksi di masyarakat bisa diterapkan.

Hal ini berlaku bagi seluruh lapisan sosial di masyarakat seperti di tingkat kelurahan, desa, hingga masyarakat yang tinggal di kompleks perumahan.

“Saya menemui beberapa rekan yang bahkan tinggal di perumahan, tingkat gotong royongnya masih tinggi. Contohnya seperti saat Idul Fitri mereka bisa iuran untuk memberikan THR ke cleaning service hingga satpam,” ujarnya.

Meski masyarakat Surabaya era saat ini cukup individual, menurut Kartaji istilah ‘holobis kuntul baris’ orang Jawa dahulu, masih relevan dengan budaya orang Indonesia. Namun ia kembali menyatakan tergantung adanya individu atau pemimpin yang menggerakkan secara kolektif.

Karena pada dasarnya karakter manusia adalah bersosialisasi dan berteman, sehingga ketergantungan antar satu sama lain adalah kunci untuk membangun norma dan memberi sanksi bagi penyimpangan.

“Ada orang yang tidak kenal tetangga kanan-kiri namun bisa akrab berdasarkan hobi. Jadi sebenarnya pendekatan sosial yang beragam harus menjadi referensi bagi masyarakat untuk melakukan tujuan bersama-sama,” pungkasnya.(wld/iss)

 

 

 

Berita Terkait

Potret NetterSelengkapnya

Motor Tabrak Pikap di Jalur Mobil Suramadu

Mobil Tertimpa Pohon di Darmo Harapan

Pagi-Pagi Terjebak Macet di Simpang PBI

Surabaya
Sabtu, 27 April 2024
28o
Kurs