Sabtu, 27 April 2024

BMKG Berharap Sekolah Lapang Iklim Menjadi Program Prioritas Daerah

Laporan oleh Dhafintya Noorca
Bagikan
Ilustrasi Sekolah Lapang Iklim yang diinisiasi BMKG. Foto: BMKG

Dwikorita Karnawati Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) berharap agar pihak terkait seperti pemerintah daerah, kementerian hingga lembaga swadaya masyarakat (LSM) dapat menjadikan program Sekolah Lapangan Iklim (SLI) sebagai program prioritas di wilayahnya. Ini karena banyak hal yang dapat diambil manfaatnya oleh para petani melalui SLI.

Dwikorita menjelaskan, selain bisa mengantisipasi terjadinya gagal panen, SLI dapat meningkatkan produktivitas petani hingga 20-40 persen.

“BMKG bekerja sama dengan pihak terkait untuk meningkatkan pemahaman para petani terhadap informasi iklim yang langsung diterapkan di lapangan. BMKG mendampingi bersama penyuluh pertanian agar petani dalam bercocok tanam, bertani dan panen selalu memonitor cuaca dan iklim. Sehingga bisa memutuskan jenis tanaman yang harus ditanam, benih apa dan kapan agar bisa melakukan berbagai langkah perlindungan terhadap tanaman saat cuaca ekstrem,” kata Dwikorita dalam program Wawasan di Radio Suara Surabaya, Selasa (19/7/2022).

Dalam praktiknya, petani akan didampingi BMKG selama satu siklus tanam yaitu 3-4 bulan atau lebih, tergantung jenis tanaman dan lokasi untuk memberikan materi tentang cuaca di lapangan.

“Misalnya, petani diminta untuk memantau perkembangan cuaca dalam enam hari ke depan. Lalu terdeteksi dalam tiga hari lagi terjadi cuaca ekstrem. Petani akan berkonsultasi dengan penyuluh untuk melakukan mitigasi karena biasanya hama penyakit seiring peningkatan kelembaban juga berkembang. Mereka bersiap siap untuk tidak sampai hama merusak tanamannya,” jelasnya.

Oleh karena itu petani dapat mengantisipasi persoalan lapangan dan menbaca tanda-tanda apabila akan terjadi kondisi ekstrem di wilayah pertaniannya.

Dwikorita menjelaskan, sejak diadakan mulai tahun 2010 sampai sekarang sudah ada puluhan ribu peserta dari seluruh daerah yang mengikutinya. Namun ada kecenderungan dalam lima tahun terakhir peserta SLI mengalami peremajaan usia.

“Awalnya peserta usianya senior, 50 tahun ke atas petaninya. Tapi 5 tahun terakhir, para petani muda yang ikut dan mereka lebih bisa mengembangkan sendiri. Petani muda ini juga passion, enjoy dan ada motivasi untuk mengembangkan sendiri apa yang sudah kami sampaikan. Mereka memahami bahwa ilmu ‘titen’ sering meleset karena mereka paham dampak perubahan iklim,” kata Dwikorita.

Ia menambahkan saat ini prinsip Sekolah Lapang sudah diakui oleh UNESCO melalui program Ocean Teaching Global Academy.

“Sudah diangkat dalam program Ocean Teaching Global Academy, tahun ini diterapkan di filipina, secara bertahap akan diterapkan di luar Indonesia,” pungkasnya.

Abdullah Nur Hasan pendengar Suara Surabaya berharap agar makin banyak orang yang memanfaatkan Sekolah Iklim ini. Eksportir mete ini menyampaikan pengalamannya yang mengambil bahan ekspor dari NTT.

“Di sana itu setiap tahun panen 2 kali dan ambil dari petani tradisional. Buahnya nggak diambil hanya metenya saja dan kita kirim ke Thailand,” ujarnya.

Senada dengan Abdullah, Supriadi juga berharap agar lebih banyak pemuda yang mengikuti program ini agar lebih mengenal alam dan lingkungannya.

Agung Rahmat, petani muda dari Bangsal Mojokerto ini mengapresiasi Sekolah Lapang Iklim ini . Sayangnya menurut dia, program pemerintah ini jarang disampaikan petugas lapangan, padahal SLI sudah menjadi kebutuhan petani dan nelayan  saat ini.

“Sejauh ini saya menggunakan aplikasi BMKG untuk mengetahui pergerakan cuaca dan iklim. Sayangnya petugas PPL tidak menyampaikan soal SLI ini, saya berharap pemda menjadikan SLI sebagai skala prioritas, karena ini penting dan cuaca sekarang sudah sangat ekstrem,” pungkasnya. (dfn/rst)

Berita Terkait

Potret NetterSelengkapnya

Motor Tabrak Pikap di Jalur Mobil Suramadu

Mobil Tertimpa Pohon di Darmo Harapan

Pagi-Pagi Terjebak Macet di Simpang PBI

Surabaya
Sabtu, 27 April 2024
32o
Kurs