Selasa, 19 Maret 2024

Geolog: Permukaan Tanah Sidoarjo Terus Turun Karena Aktivitas Warga hingga Eksploitasi Gas

Laporan oleh Billy Patoppoi
Bagikan
Banjir di Tanggulangin, Sidoarjo, pada awal tahun 2020 lalu yang diduga terjadi karena penurunan tanah. Foto: Dok. suarasurabaya.net

Penurunan Tanah yang terjadi di wilayah Selatan Kabupaten Sidoarjo, Khususnya di dua Desa yakni Kedungbanteng dan Banjarasri, Kecamatan Tanggulangin, disinyalir karena eksploitasi fluida seperti air tanah, minyak sampai gas bumi. Selain itu, pembangunan infrastruktur dan aktivitas penduduk juga menjadi salah satu faktornya.

Hal tersebut disampaikan sejumlah pakar dan ahli, dalam webinar “Penurunan Tanah Kabupaten Sidoarjo” yang digelar oleh Gusdurian Peduli, Sabtu (2/7/2022) siang. Penurunan tanah tersebut, sebelumnya dilaporkan oleh Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Sidoarjo kepada Badan Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), dikarenakan dua desa di Kecamatan Tanggulangin tersebut, selalu tergenang air dengan kurun waktu yang lama saat terjadi hujan deras.

Wawan selaku tim ahli dari Badang Geologi menyampaikan, berdasarkan hasil kajian yang sudah dilakukan, memang benar terjadi penurunan tanah dalam beberapa tahun terakhir di Kabupaten Sidoarjo, khususnya untuk kawasan yang dilaporkan.

“Dari hasil kajian berdasarkan data satelit penginderaan jarak jauh menggunakan interferometry synthetic aperture radar (inSAR) menunjukan jika di kawasan Timur, Selatan dan Tenggara Kabupaten Sidoarjo, pada periode 2015-2020, penurunan tanah bervariasi antara 2 sampai 4 centimeter per tahunnya,” ujarnya mewakili Eko Budi Lelono Kepala Badan Geologi dalam Webinar tersebut.

Wawan menambahkan, penurunan tanah seringkali dilaporkan pada Badan Geologi terjadi di kota besar dan faktornya seringkali memang diakibatkan eksploitasi fluida. Dia mengungkapkan, jika Badan Geologi mengharapkan tim lain yang juga melakukan pengkajian di lapangan bisa ikut memaparkan hasil kajiannya, untuk mengetahui faktor pasti penurunan tanah di Kabupaten Sidoarjo.

Dalam kesempatan tersebut, Indra Arifianto ahli Teknik Geologi Universitas Gajah Mada (UGM) menyampaikan, jika salah satu faktor yang menyebabkan penurunan tanah di Kabupaten Sidoarjo selain pembangunan infrastruktur yakni aktivitas pengeboran gas. Semakin besar produksi gas di wilayah tersebut, maka penurunan tanah akan semakin drastis.

“Dari salah satu video yang pernah diviralkan warga, terlihat di kawasan tersebut terdapat sebuah retakan tanah yang mengeluarkan gas. Selain itu ada juga faktor lain (penurunan tanah) yang berkaitan dengan semburan lumpur panas di dekat kawasan tersebut,” jelasnya.

Menurut Indra, penurunan tanah akibat semburan lumpur panas akan terus terjadi secara stabil setidaknya 30 tahun pasca semburan pertama. Dia juga memaparkan secara keseluruhan penurunan tanah di Tanggulangin, Sidoarjo, berdasarkan riset yang sudah dilakukan oleh tim ahli UGM yakni sedalam 35 centimeter.

Senada dengan Indra Arifianto, Noorlaila Hayati tim ahi geologi Departemen Teknik Geomatika, Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) mengungkapkan, jika terdapat tiga zona yang cukup meresahkan di Kabupaten Sidoarjo akibat penurunan tanah, yakni wilayah semburan lumpur panas, Desa Wunut Kecamatan Porong, dan dua desa di Kecamatan Tanggulangin (Banjarasri dan Kedungbanteng).

Namun, Noorlaila justru mengungkapkan jika penurunan tanah di dua desa di Kecamatan Tanggulangin, sudah sedalam 60 centimeter. Akibatnya, beberapa RT/RW di dua desa tersebut saat ini sudah menjadi area cekungan. Selain pengeboran gas, faktor aktivitas manusia di kawasan tersebut juga menjadi salah satu pemicu penurunan tanah.

“Kondisi ini sebenarnya sudah sangat memprihatinkan karena setiap musim hujan, pasti area tersebut selalu banjir dengan kurun waktu yang sangat lama,” paparnya.

Sebagai informasi, Desa Banjarasri dan Kedungbanteng, Tanggulangin, pernah dilanda banjir hingga berbulan-bulan pada akhir Desember 2019 sampai dengan akhir kuartal pertama 2021. Selain itu, banjir juga sempat kembali terjadi pada akhir tahun 2021 di kawasan tersebut.

Adjie Pamungkas tim ahli Mitigasi Kebencanaan dan Perubahan Iklim ITS memaparkan, kerugian akibat banjir mencapai Rp99,4 miliar. Kerugian tersebut meliputi kerusakan fasilitas baik infrastruktur yang dibangun pemerintah maupun milik warga, kerugian ekonomi dan lintas sektor lainnya.

“Sejauh ini nilai kerusakan dan kerugian akibat banjir karena penurunan tanah, rinciannya untuk ekonomi mencapai Rp4.535.100.000, sosial Rp15.701.797.500, infrastruktur Rp13.761.4458.452, pemukiman Rp65.000.000.000 dan lintas sektor Rp426.000.000,” paparnya.

Adjie juga mengungkapkan, kerusakan dan kerugian yang ditanggung secara individu dari sektor ekonomi dan pemukiman sebesar Rp65 miliar (65 persen dari total). Jika dihitung dari 570.554 kartu keluarga (dengan asumsi satu KK berisi empat orang), maka setiap KK akan menanggung Rp130 juta. Adapula dari total APBD Kabupaten Sidoarjo sejumlah Rp5,3 triliun, maka alokasi bantuan yang bisa didapatkan per KK yakni Rp9,3 juta.

“Jumlah ini jauh lebih kecil dari kerugian yang ditanggung akibat banjir di kedua desa tersebut,” ujarnya.

Menanggapi hal tersebut, Andang Bachtiar Sekretaris Jenderal (Sekjen) Asosiasi Daerah Penghasil Gas (ADPG) mengatakan, bahwa penurunan tanah di Desa Kedungbanteng dan Banjarasri tidak sepenuhnya bisa disalahkan pada aktivitas pengeboran gas. Hal tersebut dikarenakan aktivitas produksi gas bumi (lifting) di Kabupaten Sidoarjo berdasarkan data yang dimiliki ADPG, justru mengalami penurunan sejak tahun 2019.

“Banjir di dua Desa itu kan mulai sering terjadi sejak tiga sampai empat tahun belakangan. Justru meskipun produksinya mengalami penurunan, tapi realisasi penyaluran dana bagi hasil (DBH) yang disumbangkan ke APBD Sidoarjo melalui Pemprov Jatim mengalami peningkatan sampai Rp22 miliar,” tegasnya.

Andang memaparkan, jumlah lifting gas bumi di Kabupaten Sidoarjo pada tahun 2019 mencapai 25 miliar MMBTU (Million British Thermal Unit). Namun pada tahun 2021 mengalami penurunan hingga di bawah Rp5 miliar. Dia berharap, agar Badan Geologi segera mengambil tindakan untuk melakukan penelitian di lapangan, khususnya dua desa tadi (Kedungbanteng dan Banjarasri).

“Kalau perlu surati Ibu Khofifah (Gubernur Jatim) agar segera mengeluarkan kebijakan untuk Badan Geologi secepat mungkin melakukan penelitian di lapangan, jadi biar segera diketahui faktor penyebabnya itu apa saja. Kalau memang di Sidoarjo itu proyek strategis nasional ya dilihat, itu merugikan negara dan masyarakatnya atau tidak” harapnya.

Senada dengan Andang, Amien Widodo dosen Teknik Geofisika ITS mengatakan, Badan Geologi memegang kunci penting untuk Pemerintah membuat sebuah kebijakan.

“Kalau menunggu sampai tahun 2023 Badan Geologi baru memulai penelitian, ya keburu semakin parah itu (penurunan tanah). Kalau dari akademisi dan tim ahli universitas saja ya kurang cukup untuk mendorong pemerintah (mengambil kebijakan),” jelasnya. (bil/iss)

 

Berita Terkait

Potret NetterSelengkapnya

Kecelakaan Mobil Porsche Seruduk Livina di Tol Porong

Mobil Tertimpa Pohon di Darmo Harapan

Pagi-Pagi Terjebak Macet di Simpang PBI

Surabaya
Selasa, 19 Maret 2024
31o
Kurs