Selasa, 19 Maret 2024

Memecahkan Permasalahan Struktural dan Kultural yang Jadi Akar Persoalan Sepak Bola Indonesia

Laporan oleh Dhafintya Noorca
Bagikan
Rangkaian lilin berbentuk tulisan RIP (Rest In Peace) yang dirangkai para Bonek Mania untuk melepas kepergian seluruh korban meninggal dalam tragedi kerusuhan di Stadion Kanjuruhan Kabupaten Malang, yang digelar di Tugu Pahlawan, Senin (3/10/2022). Foto: Redhita suarasurabaya.net

Tragedi Kanjuruhan masih menyisakan duka yang mendalam bagi seluruh masyarakat Indonesia bahkan dunia. Buntut dari insiden tersebut, sejumlah pihak mendapatkan sanksi, sebagian jajaran dicopot dari jabatannya dan sebagian ada yang ditetapkan sebagai tersangka.

Rojil Nugroho Bayu Aji, S.Hum., MA., dosen sejarah Fakultas Ilmu Sosial dan Hukum (FISH) Universitas Negeri Surabaya (Unesa) menilai bahwa ulasan terkait keamanan, sistem pengamanan dan SOP gas air mata serta pitch invasion itu bagus untuk proses investigasi kuratif.

Ia juga berpendapat ada dua problem besar dalam sepak bola Indonesia. Pertama, permasalahan struktural dari sisi penegakan hukum misalnya dan bagaimana stakeholder sepak bola bisa mewujudkan regulasi yang tepat baik teknis maupun non-teknis pertandingan.

Faktor nonteknis tidak bisa diabaikan, karena gejolak atau konflik yang terjadi di dalam maupun di luar stadium seringkali dipicu hal-hal non-teknis.

“Apabila kompetisi dikelola dengan baik, kekecewaan atau konflik yang terjadi bisa terselesaikan,” ucap akademisi yang mengikuti perkembangan sejarah sepak bola dan suporter di Indonesia dan dunia itu, Jumat (7/10/2022) dalam keterangan tertulis yang diterima suarasurabaya.net.

Sedangkan problema kedua yaitu permasalahan kultural yang berkaitan dengan ‘tradisi’ dan situasi sosial kondisi suporter yang memiliki karakter berbeda-beda. Dalam hal ini diperlukan adanya pemetaan dan penanganan yang tepat bagaimana ketika suporter bertemu dengan tim klub atau suporter lain.

Kemudian dari aspek suporter ini sendiri, menurut Rojil, juga ada akar persoalan yang perlu dipotong rantainya. Menurutnya suporter sendiri harus berani mengakui ‘kesalahan’ apabila melakukan tindakan negatif.

Selanjutnya, suporter harus berperan aktif dalam memutus rantai kekerasan verbal, membuang yel-yel, chant atau lagu yang mengandung unsur kekerasan.

“Apa jadinya jika chant dan lagu itu dinyanyikan secara terkoordinir seisi stadion, dinikmati, didengarkan anak-anak lalu ditiru? Kekerasan itu akan menumbuh,” tukas Rojil.

Apabila budaya ini terus dibiarkan, secara tidak langsung akan terbentuk kesadaran kolektif bersama tentang kekerasan dan membangkitkan rasa ‘kebencian’ antar suporter. Ini menjadi catatan penting untuk suporter, klub sepak bola dan stakeholder untuk memutus kekerasan verbal atau simbolik.

“Sejauh ini, sudah ada suporter yang berhasil memutus rantai itu kemudian membuat lagu-lagu yang fokus mendukung timnya dengan lirik-lirik yang kreatif dan positif,” bebernya.

Karena itu yang bisa dilakukan ke depan yaitu tentu memperbaiki regulasi dan penerapannya di level struktural dan memperbaiki atau memutus rantai ‘kekerasan’ antar suporter di level kultural. Selain itu meningkatkan edukasi dan kesadaran pentingnya kultur sepak bola yang sehat dan menyenangkan.

Dia berharap kejadian ini benar-benar jadi pembelajaran dan pembenahan bersama sehingga tragedi Kanjuruhan terjadi lagi ke depan dan iklim sepak bola Indonesia bisa naik kelas.(dfn/ipg)

Berita Terkait

Potret NetterSelengkapnya

Kecelakaan Mobil Porsche Seruduk Livina di Tol Porong

Mobil Tertimpa Pohon di Darmo Harapan

Pagi-Pagi Terjebak Macet di Simpang PBI

Surabaya
Selasa, 19 Maret 2024
33o
Kurs