Senin, 6 Mei 2024

Anggota DPRD: Gaji Tunjangan Kami Tak Semewah DPR

Laporan oleh Dhafintya Noorca
Bagikan
Arif Fathoni Ketua DPD Golkar Surabaya. Foto: Istimewa

Dalam beberapa waktu terakhir, gaji anggota dewan kembali menjadi sorotan. Ini bermula dari pengakuan Krisdayanti, anggota DPR RI dari fraksi PDI Perjuangan yang membongkar gaji anggota dewan yang bernilai ratusan juta.

Krisdayanti yang duduk di Komisi IX yang menangani bidang kesehatan, ketenagakerjaan, dan kependudukan ini merinci gaji yang diterima di awal bulan sebesar Rp16 juta. Lalu lima hari setelah mendapat gaji pokok, dia menerima tunjungan sebesar Rp59 juta. Selain itu, Krisdayanti menyebutkan anggota DPR mendapatkan dana aspirasi Rp450 juta yang diterima lima kali setahun. Ada pula dana kunjungan daerah pemilihan atau dana reses sebesar Rp140 juta.

Terkait ini, Arif Fathoni Anggota Komisi A DPRD Surabaya dari Partai Golkar mengatakan, mekanisme penggajian antara DPR RI dan DPRD di tingkat provinsi serta kabupaten kota berbeda.

“Struktur mekanisme penggajian di DPR RI dan DPRD agak berbeda. Sangat tajam. Tidak semewah yang disampaikan mbak KD (Krisdayanti),” kata Arif saat mengudara dalam program Wawasan di Radio Suara Surabaya, Rabu (22/9/2021).

Penggajian DPRD diatur dalam Instruksi Menteri Dalam Negeri (Inmendagri) yang diatur oleh pemerintah pusat. Sedangkan anggota dewan di DPR RI punya kewenangan untuk menentukan komponen dan besaran gajinya.

“DPRD provinsi/kabupaten kota tidak bisa bidding sendiri. Ada payung hukumnya dalam hal ini Inmendagri. Kalau masih pakai Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999, (DPR) provinsi-kabupaten kota bisa menganggarkan sendiri. Namun begitu banyak ‘peristiwa’ yang menimpa DPRD saat itu, sehingga kewenangannya diambil alih pemerintah pusat,” jelasnya.

Sedangkan untuk tunjangan, dia mengatakan ada beberapa komponen yang diterima anggota DPR RI namun tidak diterima anggota dewan dari daerah. Seperti tunjangan komunikasi yang tidak didapatkan anggota DPRD karena mekanisme pertanggung jawaban anggarannya sulit. Berkaca dari masa lalu, kata Arif, tunjangan komunikasi kerap menjadi obyek dugaan tindak pidana korupsi sehingga dihapus.

Dia menambahkan, ada dua prinsip yang berbeda antara mekanisme pemberian gaji antara DPR Pusat dan DPRD.

“Kalau RI mekanismenya lumpsum, kalau daerah at cost,” terangnya.

Lalu anggota DPRD juga tidak mendapat mobil dinas, sehingga anggarannya dialihkan menjadi tunjangan transportasi.

Terkait tunjangan reses dan tunjangan kunjungan dapil, dia menjelaskan, uang anggarannya tidak masuk ke rekening pribadi anggota dewan. Namun diatur dan digunakan oleh tim ahli anggota dewan yang bersangkutan untuk kepentingan masyarakat.

“Itu sebenarnya tidak diterima oleh anggota yang bersangkutan sebagai pendapatan, itu tidak masuk dalam pendapatan. Kalau reses kan mekanisme pertanggung jawabannya lumpsum, itu pun sering dikembalikan kepada masyarakat. Seringkali ketika reses, tokoh masyarakat setempat kesulitan minta bak sampah atau baju pengajian, biasanya uangnya dipakai dari yang disebutkan mbak KD,” jelas Arif.

Arif bilang, anggota DPR hanya menjadi jembatan untuk mendistribusikan anggaran kepada masyarakat.

Dia juga mengungkap total gaji yang diterima oleh anggota DPRD berada di kisaran Rp65 juta, setelah dipotong PPH dan Jamsostek.

Arif pun tidak menutupi kalau parpolnya menerapkan iuran wajib yang dibayarkan setiap bulan, karena bagaimana pun peserta pemilu adalah partai politik yang menugaskan kader terbaiknya untuk berkontestasi.

“Memang ada iuran, dari lima anggota DPRD terpilih dari fraksi Golkar termasuk saya tiap bulan kita minta urunan wajib Rp2.500.000 yang diambilkan dari gajinya,” jelas Arif.

Iuran anggota itu yang dipakai untuk mendanai operasional partai, selain dana yang berasal dari bantuan dana partai politik.(dfn/iss)

Berita Terkait

..
Potret NetterSelengkapnya

Massa Hari Buruh Berkumpul di Frontage Ahmad Yani

Motor Tabrak Pikap di Jalur Mobil Suramadu

Mobil Tertimpa Pohon di Darmo Harapan

Surabaya
Senin, 6 Mei 2024
25o
Kurs