Jumat, 26 April 2024

HNW : Presidential Threshold Tidak Boleh Kebiri Kedaulatan Rakyat Dan Membelah Rakyat Lagi

Laporan oleh Muchlis Fadjarudin
Bagikan
Hidayat Nur Wahid Wakil Ketua MPR RI Foto: Faiz suarasurabaya.net

Hidayat Nur Wahid (HNW) Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR RI) mengingatkan agar Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Presiden benar-benar menghayati ketentuan UUD Negara Republik Indonesia 1945, dengan meninjau kembali soal besaran pengaturan ambang batas pencalonan presiden atau Presidential Threshold (PT) dalam pembahasan revisi Undang-Undang Pemilihan Umum (UU Pemilu).

HNW menjelaskan, besaran PT 20 persen yang berlaku saat ini dan sudah dipraktikkan pada Pilpres tahun 2014 dan 2019, telah menimbulkan banyak dampak negatif.

“Dengan PT yang sangat besar tersebut, pilihan capres yang tersedia semakin terbatas, dan terbukti pada Pilpres 2014 dan 2019 hanya dua pasangan calon yang memenuhi syarat bisa maju dalam Pilpres. Sehingga rakyat dipaksa tidak memiliki banyak pilihan, apalagi banyak tokoh bangsa yang sangat layak memimpin Indonesia, tidak bisa dimajukan dalam kontestasi Pilpres karena tersandung dengan ketentuan soal Presidential Threshold tersebut,” ujar HNW, Selasa (2/2/2021).

Selain itu, kata dia, ada lagi masalah serius yang berdampak panjang karena hanya dua kandidat yang maju sebagai Capres/Cawapres yaitu terjadinya pembelahan di masyarakat sejak dari tingkat Rumah Tangga ke skala Negara.

Menurut HNW, kondisi ini yang dikhawatirkan akan sangat membahayakan harmoni, keutuhan dan kelanggengan NKRI.

Kata HNW, memang tidak serta merta sebagaimana dikhawatirkan oleh tokoh-tokoh yang mengajukan Judicial Review ke MK agar Presidential Threshold ditiadakan atau 0%, bahwa adanya pembatasan akan hadirkan pembelahan dan tidak adanya alternatif calon kepemimpinan nasional, karena faktanya dalam Pilpres di Indonesia khususnya pada tahun 2004 dan 2009 juga sudah diberlakukan pembatasan Presidential Threshold, sebesar 15%, dan menghadirkan alternatif calon Presiden yang cukup yakni 5 kandidat (2004) serta 3 kandiddat (2009).

“Dan sesudah Pilpres juga tidak terjadi pembelahan di tengah masyarakat, sebagaimana terjadi pada Pilpres 2014 dan 2009,” jelasnya.

“Hal tersebut terjadi di antaranya karena besaran PT disepakati di angka yang proporsional. Nah, sekarang dengan perkembangan pengalaman Pilpres dan hasilnya, serta tuntutan meluas dari masyarakat untuk hadirkan ketersediaan alternatif kandidat calon Presiden/Wakil Presiden, maka wajar saja bila batasan syarat pengajuan calon Presiden yang lebih bisa mengakomodasi kedaulatan Rakyat, semakin menjauhkan mereka dari keterbelahan, dan menguatkan praktek Demokrasi di Indonesia,” kata dia.

Selain itu, dengan sudah diberlakukannya Pilpres serentak dengan Pileg, maka wajar saja bila Pemerintah dan DPR mempertimbangkan besaran Presidential Threshold yang sesuai dengan Electoral Threahold yang diberlakukan untuk Pileg, yang besarannya pada Pileg 2019 sebesar 4%, yang kemungkinan akan naik, tapi tidak melebihi 5%.

“Dengan semangat seperti ini akan memenuhi harapan Rakyat dan para Tokohnya; terbuka alternatif calon pemimpin yang lebih banyak, sehingga tidak mengebiri kedaulatan rakyat, dan tidak mengulangi Pilpres yang membelah rakyat lagi seperti dalam dua pilpres sebelumnya,” ujarnya.

Menurut HNW, pengaturan PT sebesar 4 atau 5 persen itu merupakan win-win solution, dan solusi proporsional dimana ada pihak yang ingin tetap 20 persen dan ada pihak yang ingin PT dihapuskan sama sekali atau 0 persen.

Dengan didukung oleh Partai yang berada di Parlemen dengan minimal 4% atau 5% kursi, maka Calon Presiden dan Wapres membuktikan bahwa dirinya mempunyai dukungan politik yang riil sebagaimana tergambar di Parlemen.

HNW mengingatkan bahwa UUD NRI pasal 6 A memang tidak mengatur tentang syarat besaran pembatasan untuk Pilpres, tetapi pasal 22E tentang Pemilihan Umum juga tidak mencantumkan ketentuan pembatasan kesertaan dalam Pemilu maupun keberadaan di Parlemen (Electoral Threshold). Tapi sekalipun demikian, tetap saja ada pembatasan Pemilihan Legislatif melalui UU yang diterima dan tidak dipermasalahkan. Di antaranya karena pembatasan itu tidak terlalu tinggi sehingga menghadirkan pengebirian.

Selain itu Mahkamah Konstitusi (MK) – dalam putusannya- memang telah memutus bahwa urusan besar PT merupakan open legal policy (kebijakan hukum terbuka) yang diserahkan kepada DPR dan Pemerintah selaku pembentuk undang-undang. Karenanya, meski diserahkan kepada DPR dan Pemerintah untuk mengatur hal tersebut, diharapkan agar DPR dan Pemerintah juga menghadirkan kebijakan hukum yang baik dan bermanfaat bagi masyarakat, sebagaimana mereka bisa membuat pembatasan terkait Pemilihan Legislatif.

“DPR dan Presiden memang diberi kewenangan untuk mengatur besaran PT itu oleh MK. Namun, hendaknya, pilihan besaran PT yang ditentukan, jangan sampai yang mengabaikan perkembangan dan tuntutan Rakyat, apalagi bila berimplikasi kepada pengkebirian kedaulatan rakyat atau pembelahan masyarakat yang bisa jadi semakin parah. Di sinilah perlunya kenegarawanan pembentuk UU untuk menghadirkan PT yang aspiratif, demokratis, adil proporsional, dan menyelamatkan NKRI, dengan merevisi UU Pemilu untuk hasilkan ketentuan baru soal PT untuk Pilpres yang disamakan besarannya dengan Electoral Threshold untuk keberadaan Partai di Parlemen/DPR,” pungkas HNW.(faz/lim)

Berita Terkait

Potret NetterSelengkapnya

Motor Tabrak Pikap di Jalur Mobil Suramadu

Mobil Tertimpa Pohon di Darmo Harapan

Pagi-Pagi Terjebak Macet di Simpang PBI

Surabaya
Jumat, 26 April 2024
29o
Kurs