Kamis, 18 April 2024

Perludem: Parpol Kompak Menolak Sistem Proporsional Tertutup Pemilu Teladan buat Demokrasi

Laporan oleh Farid Kusuma
Bagikan
Ilustrasi pemilu 2024. Foto: Grafis suarasurabaya.net

Delapan partai politik yang punya wakil di parlemen, Minggu (8/1/2023), menggelar konsolidasi terkait pernyataan sikap menolak sistem pemilu proporsional tertutup.

Konsolidasi itu diinisiasi Partai Golkar bersama Gerindra, Demokrat, NasDem, PAN, PKB, PPP, dan PKS.

Titi Anggraini Anggota Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) menilai, pertemuan tersebut contoh baik bagi pemilih menjelang Pemilu 2024.

“Itu pesan bagi publik juga bahwa dinamika Pemilu adalah dinamika yang sangat lentur. Oleh karena itu, masyarakat jangan sampai mengalami polarisasi yang membelah persatuan dan kesatuan,” ujarnya kepada wartawan, Senin (9/1/2023).

Menurutnya, itu menjadi pembelajaran bagi rakyat bahwa dalam perbedaan sekali pun, tetap ada persamaan yang membuat dinamika politik di tengah perbedaan itu bisa tetap menemukan kesamaan.

“Ternyata di antara partai politik pun, meski mereka memiliki beragam pilihan tetapi mereka bisa ditemukan oleh persamaan-persamaan dalam proses pelaksanaan pemilu. Artinya, meski pilihan politik berbeda dalam banyak dimensi, tetap bisa menemukan kesamaan,” imbuhnya.

Lebih lanjut, Titi menekankan Pemilu harus dilakoni dengan logika dan program kerja untuk melanjutkan pembangunan demi kesejahteraan rakyat.

“Justru Pemilu harus dihadapi dengan logika, akal sehat dan bisa diwujudkan kalau berorientasi pada gagasan dan program,” ungkapnya.

Sebelumnya, Airlangga Hartarto Ketum Golkar mengatakan komunikasi politik antara berbagai partai politik perlu sering dilakukan supaya pesta demokrasi berlangsung dalam suasana teduh.

“Kami duduk bersama, kami rembukan dan kebetulan ini di awal tahun perlu silaturahmi antarpartai politik. Kami ingin di tahun 2023 di tahun politik ini teduh. Nah, keteduhan akan tercipta jika ada komunikasi antarpartai politik,” tegasnya di Jakarta, Minggu (8/1/2023).

Walau pun partai politik berbeda-beda prioritas dan agenda, Airlangga bilang tetap ada kesamaan menjelang Pemilu 2024.

“Sistem pemilu proporsional terbuka merupakan perwujudan demokrasi berasaskan kedaulatan rakyat, di mana rakyat dapat menentukan calon anggota legislatif yang dicalonkan oleh partai politik. Kami tidak ingin demokrasi mundur,” katanya.

Sementara itu, Pangi Syarwi Chaniago Pengamat Politik dari Voxpol Center mengungkapkan kelemahan dan kelebihan sistem proporsional tertutup.

“Kelemahannya, pertama, sistem proporsional tertutup mengurangi interaksi dan intensitas kader partai dengan pemilih,” katanya.

Dengan begitu, calon legislatif (caleg) yang terpilih bakal jarang turun sosialisasi, menyapa dan bertemu masyarakat secara langsung lantaran yang terpilih bertanggung jawab langsung kepada partai bukan konstituen.

“Sumber kekuasaan bukan daulat rakyat, tapi daulat elite parpol,” terangnya.

Selain itu, sistem proporsional tertutup juga cenderung membuat caleg tidak mau bekerja keras untuk mengkampanyekan dirinya dan partai.

“Sebab mereka percaya yang bakal dipilih adalah caleg prioritas nomor urut satu, bukan basis suara terbanyak. Itu artinya menurunkan persaingan antarkader internal parpol,” tambahnya.

CEO Voxpol Center Research and Consulting itu menambahkan, sistem proporsional tertutup cenderung kurang sesuai untuk partai baru dan partai kecil yang belum terlalu dikenal.

Sistem itu juga belum cocok untuk partai populis yang belum kuat dan belum tumbuh secara merata sistem kaderisasinya. Kemudian, akan membuat penguatan oligarki di internal partai politik dan memungkinkan adanya pengutamaan kelompok dan golongan tertentu.

“Proporsional tertutup dikhawatirkan seperti memilih kucing dalam karung, pemilih banyak tidak kenal dengan daftar nama calegnya. Sebab, pemilih tidak merasa dekat dengan pemilihnya,” ungkapnya.

Walau begitu, Pangi melihat munculnya keinginan kembali ke desain sistem pemilu proporsional tertutup merupakan koreksi dan kritik terhadap penyelenggaraan sistem proporsional terbuka.

Kompleksitas dan realitas sistem pemilu proporsional terbuka cenderung terkesan melemahkan partai politik.

“Sistem proportional terbuka kekuatan ada pada figur kandidat populis, melemahkan partai politik, tidak ada pembelajaran dan tidak menghormati proses kaderisasi di tubuh partai politik. Sementara proporsional tertutup menguatkan institusi kelembagaan partai politik,” lanjutnya.

Pangi menambahkan, ada beberapa alasan terkait sistem pemilu proporsional terbuka mampu merusak partai politik. Sistem itu bisa melemahkan partai politik ketika tidak ada caleg yang benar-benar kampanye mengunakan visi dan misi yang sudah disusun partai.

“Masing-masing caleg berkampanye dengan cara, tema dan narasinya sendiri-sendiri. Bagaimana berpikir untuk menang mengalahkan caleg sesama kader di internal partai, bukannya berkompetisi dengan partai lain,” tegasnya.

Sistem proporsional terbuka, sambung Pangi, juga cenderung menyebabkan pemilih memilih figur kandidat ketimbang tautan partai, serta lebih mengandalkan figur ketimbang menguatkan sistem kepartaian.

Sistem itu disinyalir menyebabkan rendahnya pemilih partai berdasarkan ideologi. Hanya 13,2 persen pemilih yang merasa dekat baik secara ideologis mauvpun secara psikologis dengan partainya.

“Dugaan saya salah satu penyebab rendahnya pemilih partai berdasarkan ideologi karena penerapan sistem pemilu proporsional terbuka. Sepanjang tetap memakai sistem proporsional terbuka, maka selama itu persentase pemilih berdasarkan ideologi partai di Indonesia tetap rendah,” pungkasnya.(rid/ipg)

Berita Terkait

Potret NetterSelengkapnya

Motor Tabrak Pikap di Jalur Mobil Suramadu

Mobil Tertimpa Pohon di Darmo Harapan

Pagi-Pagi Terjebak Macet di Simpang PBI

Surabaya
Kamis, 18 April 2024
28o
Kurs