Sabtu, 4 Mei 2024

Petugas KPPS Kembali Berjatuhan, Akademisi Dorong UU Pemilu Diubah

Laporan oleh Billy Patoppoi
Bagikan
Pemakaman Joko Budiono (51 tahun) Ketua KPPS TPS 42 Ngagel Surabaya yang meninggal dunia hari ini, Jumat (16/2/2024). Foto: Istimewa

Titi Anggraini Dosen Hukum Pemilu Fakultas Hukum Universitas Indonesia (UI) turut memberikan tanggapan soal masih banyaknya petugas penyelenggara Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 yang meninggal dunia, seperti halnya Pemilu 2019 lalu.

Diketahui pada Pemilu 2019 lalu, sebanyak 894 petugas penyelenggara dilaporkan meninggal dunia dan 5.175 petugas dilaporkan sakit. Sementara menurut data Kementerian Kesehatan RI yang dihimpun mulai 10-17 Februari 2024, korban meninggal KPPS sudah menyentuh angka 57 orang.

Rinciannya, Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) 29 orang, Linmas 10 orang, saksi di Tempat Pemungutan Suara (TPS) sembilan orang, petugas enam orang, Panitia Pemungutan Suara (PPS) dua orang, dan dari Bawaslu satu orang.

Selain itu, ada juga data petugas Pemilu yang dilaporkan sakit usai menjalankan tugasnya, yakni 8.381 orang dengan pasien terbanyak merupakan anggota KPPS sebanyak 4.000 orang.

Terkait fenomena berulang seperti Pemilu 2019 ini, Titi berpendapat meninggalnya Anggota KPPS disebabkan oleh beberapa faktor, seperti kelelahan dan stress. Untuk faktor kelelahan, menurutnya karena petugas Pemilu bisa bekerja non stop 24 hingga 72 jam.

“Korban Pemilu 2024 terutama KPPS meninggal karena kelelahan, mereka bekerja dengan rentan waktu 24 hingga 72 jam. Mulai dari pembagian undangan Pemilu sampai perhitungan suara, padahal di awal Pemilu tahun ini di klaim aman, damai, dan nyaman,” ucap Titi Anggraini, dalam program Wawasan Suara Surabaya, Senin (19/2/2024).

Sementara terkait faktor stress, menurut Dosen Pemilu UI itu diantaranya karena stress akibat Sistem Informasi Rekapitulasi Elektronik (Sirekap) milik Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang sudah mulai error setelah pencoblosan. Bahkan, beberapa melaporkan Aplikasi Sirekap tidak bisa diakses hingga tanggal 15 Februari pukul 04.00 pagi. Selain itu, dugaan kecurangan dalam penghitungan suara di TPS, juga menjadi salah satu faktor pemicu stress para petugas itu.

Meskipun Pemilu 2024 ini sudah diberi kebijakan baru oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI seperti, petugas KPPS maksimal umur 55 tahun, pemeriksaan kesehatan, pelatihan, kenaikan honor dan pembagian alat fotocopy di setiap TPS, tapi tetap tidak mengurangi tugas yang berat dan tidak masuk akal.

“KPU sudah beri kebijakan baru untuk KPPS harus test kesehatan, umur maksimal 55 tahun, kenaikan honor dan mewajibkan TPS ada alat untuk fotocopy, meski begitu ternyata fotocopy juga memakan waktu yang cukup lama, bahkan sampai begadang,” bebernya.

Kasus meninggalnya petugas Pemilu, menurut dia, sudah ada sejak tahun 2004. Padahal, di Pemilu tahun tersebut, sistemnya tidak digabung antara Pilpres, dengan Pileg di baik tingkat nasional maupun daerah.

“Dari (Pemilu) 2004 sudah ada yang meninggal, padahal dulu (Pemilunya) tidak digabung, tapi sudah melelahkan apalagi sekarang digabung serentak,” katanya.

Karenanya, Titi mendorong Pemerintah dan DPR supaya bisa segera mengubah Undang-Undang (UU) Pemilu, supaya ke depan Pesta Demokrasi itu bisa dibagi menjadi dua bagian, yakni menjadi Pemilu Nasional dan Pemilu Daerah.

Manfaatnya, menurut Dewan Pembina Perkumpulan Untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) itu, isu lokal yang dibawa para calon legislatif (Caleg) tidak tertutup isu nasional, sehingga Partai Politik pasti lebih aktif. Serta yang paling utama, beban kerja petugas Pemilu bisa lebih masuk akal dan tidak ada lagi yang menjadi korban.

“Korban meninggal berhasil diturunkan tapi kan tetap ada yang meninggal. Pertanyaannya, pemilu itu adalah bagian dari transisi kekuasaan secara aman, damai dan tanpa korban. Ketika ada korban, artinya pemilunya tidak adil. Adil itu bukan hanya bagi peserta pemilu, bagi pemilih, tapi juga bagi petugas,” jelasnya.

Sementara terkait opsi Pemilu diadakan secara Online Titi menyarankan alangkah baiknya agar ada pembenahan Sirekap terlebih dahulu agar semua berjalan lancar, aman, dan nyaman.

“Gak usah mikir kesana dulu, Teknologinya saja dibenarkan dan diadakan pelatihan untuk petugas dan pemilih supaya Pemilu jadi aman, nyaman, dan damai,” pungkasnya. (man/bil/faz)

Berita Terkait

..
Potret NetterSelengkapnya

Massa Hari Buruh Berkumpul di Frontage Ahmad Yani

Motor Tabrak Pikap di Jalur Mobil Suramadu

Mobil Tertimpa Pohon di Darmo Harapan

Surabaya
Sabtu, 4 Mei 2024
26o
Kurs