DPRD Kota Surabaya minta Pemerintah Kota (Pemkot) meninjau ulang rencana penghapusan bantuan biaya pendidikan untuk siswa SMA negeri.
Yona Bagus Widyatmoko Ketua Komisi A DPRD Kota Surabaya menyampaikan usulan itu saat rapat pembahasan bersama Bagian Pemerintahan dan Kesejahteraan Rakyat (Bapemkesra) di ruang rapat Komisi A, Senin (20/10/2025).
Menurutnya, perbedaan bantuan biaya pendidikan hanya untuk siswa SMA swasta, sementara negeri hanya dapat bantuan seragam, berpotensi menimbulkan ketidakadilan dan kecemburuan sosial di masyarakat.
“Kami berpikir kebijakan ini tidak memenuhi asas keadilan. Baik siswa negeri maupun swasta sama-sama berasal dari keluarga miskin atau pramiskin. Kalau bantuan biaya pendidikan untuk yang negeri dihapus, pasti akan timbul polemik di bawah,” ujarnya.
Dari data yang dipaparkan Pemkot Surabaya, total ada 16.800 siswa SMA/SMK penerima Beasiswa Pemuda Tangguh. 9.858 siswa berasal dari sekolah swasta, sedangkan 6.942 siswa dari sekolah negeri.
Selama ini, seluruh penerima negeri maupun swasta, mendapat bantuan biaya pendidikan Rp200.000 per bulan, yang dikirim langsung kepada siswa.
Pada tahun anggaran 2026, Pemkot Surabaya berencana menghapus bantuan tunai bagi siswa negeri, dialihkan hanya dalam bentuk seragam. Sementara siswa swasta, nilai bantuannya akan naik menjadi Rp500.000 per siswa per bulan.
“Kenaikan untuk siswa swasta dari Rp200.000 menjadi Rp500.000 memang bagus tujuannya, tetapi terlalu tinggi. Ini bisa menimbulkan kesenjangan sosial,” jelasnya lagi.
Komisi A meminta besaran bantuan disesuaikan secara proporsional dan kuota penerima diperluas agar lebih menjangkau banyak keluarga miskin.
“Kami menyarankan agar bantuan untuk swasta tidak langsung Rp500.000. Lebih baik dinaikkan menjadi Rp250.000 saja, tapi kuotanya dua kali lipat. Jadi lebih banyak keluarga miskin yang tercover,” tutur Yona.
Sementara mekanisme baru penyaluran bantuan yang langsung ditransfer ke rekening sekolah, bukan ke siswa, rawan disalahgunakan jika tidak diawasi secara ketat.
“Kalau dana ditransfer ke sekolah, harus ada pengawasan ketat. Jangan sampai ada penyalahgunaan dana, misalnya SPP tidak sampai Rp500.000 tapi sekolah tetap menerima penuh. Ini berpotensi rawan penyimpangan,” tegasnya.
Yona minta setiap kebijakan publik harus berpihak pada keadilan sosial, terutama bagi keluarga miskin dan pramiskin di Kota Surabaya.
“Kami akan mendorong agar TAPD dan Pemkot meninjau ulang nilai bantuan dan sistem penyalurannya. Jangan sampai niat baik berubah jadi masalah sosial,” tutupnya.
Sementara itu, Arif Boediarto Kepala Bapemkesra Kota Surabaya menjelaskan, penyaluran dana langsung ke rekening sekolah, bukan ke siswa, untuk memastikan dana benar-benar digunakan untuk pendidikan.
“Kalau dana dipegang anak, kadang tidak semua digunakan untuk sekolah. Jadi nanti ditransfer langsung ke sekolah supaya penggunaannya tepat sasaran,” jelas Arif.
Arif menegaskan, pengurangan bantuan ini untuk menyempurnakan sistem agar lebih transparan dan efisien.
“Jadi terkait dengan Pemuda Tangguh ini kita masih pembicaraan. Jadi kita belum menyepakati tentang jumlahnya. Jadi nanti akan kami berinformasikan lebih lanjut karena masih terkait sama pembahasan kita dengan teman-teman komisi A,” ucapnya.
Sementara alasan bantuan biaya pendidikan untuk siswa SMAN dihapus dialihkan ke swasta karena mempertimbangkan biaya SPP dan lainnya.
“Kalau anak-anak (sekolah) negeri, biayanya kan sudah ditanggung oleh APBD provinsi. Tapi kalau tempat swasta enggak. Jadi kadang-kadang bayar SPP sendiri atau bagaimana. Mungkin alasan itu,” tandasnya. (lta/rid)
NOW ON AIR SSFM 100
