Kamis, 25 April 2024

Indonesia Perlu Mendorong Jepang Beralih dari Produsen Kendaraan Berbahan Bakar Fosil Menjadi EBT

Laporan oleh Farid Kusuma
Bagikan
Kendaraan listrik. Foto: Gulf Insider

Komaidi Notonegoro Direktur Eksekutif ReforMiner Institute mengatakan, untuk mewujudkan program energi baru terbarukan (EBT) di Tanah Air, ada dua sektor utama yang harus diperhatikan, yaitu kelistrikan dan otomotif.

Kalau Jepang masih bertahan dengan produksi mobil berbahan bakar fosil, menurutnya sangat sulit bagi Indonesia untuk menerapkan kebijakan kendaraan listrik dan program energi baru terbarukan.

“Selama ini Jepang belum terlihat serius masuk ke market mobil listrik. Justru China dan Korea yang sudah menunjukkan keseriusan. Sementara dominasi Jepang di pasar kendaraan Indonesia cukup besar. Sepanjang mereka masih bertahan di kendaraan konvensional, relatif berat bagi Indonesia,” ujarnya kepada wartawan, di Jakarta, Rabu (27/7/2022).

Dia mengingatkan, selain menjaring investor asing, Pemerintah Indonesia juga perlu memperhatikan keberlangsungan industri otomotif secara keseluruhan.

“Nasib mobil yang sudah eksis, termasuk infrastruktur penunjang, seperti pabriknya, bengkel, dan karyawan bagaimana? Ini pekerjaan rumah yang tidak sederhana. Jangan sekadar mengkampanyekan pindah ke EBT, tapi ada aspek lain yang sejauh ini belum disentuh,” katanya.

Sebelumnya, Airlangga Hartarto Menteri Koordinator bidang Perekonomian bertemu sejumlah petinggi perusahaan otomotif di Jepang.

Airlangga juga mengantongi sejumlah komitmen investasi bernilai triliunan rupiah untuk produk kendaraan yang ramah lingkungan.

“Saya meyakini permintaan kendaraan listrik baik roda empat mau pun roda dua di Indonesia dan di kawasan ASEAN ke depan akan terus meningkat. Indonesia bisa jadi industrial base produksi Electric Vehicle (EV) untuk dipasarkan di kawasan ASEAN serta di Indonesia sendiri,” ucap Airlangga, Selasa (26/7/2022).

Ketua Umum Partai Golkar bilang, dunia mulai beralih dari memproduksi kendaraan berbahan bakar fosil ke listrik.

Hal itu sejalan dengan kebijakan transisi energi Indonesia yang berkomitmen untuk mencapai Net Zero Emission (NZE) tahun 2060, serta Nationally Determined Contributions (NDCs) pengurangan emisi karbon 29 persen pada tahun 2030.

Sementara itu, Djoko Setijowarno pengamat transportasi mengapresiasi Pemerintah Provinsi DKI Jakarta yang sudah menyediakan Bus TransJakarta berbahan bakar listrik.

Dia berharap inisiasi penggunaan kendaraan massal berbahan bakar listrik diterapkan di daerah lain.

“Untuk Jakarta saya optimistis, SDM bagus, perencanaan bagus dan yang mengawasi banyak. Kalau di daerah sepertinya tidak banyak peduli, padahal bisa sekali ditiru, pusat harus dorong ke daerah,” tegas Djoko.

Berdasarkan data yang dipegang Djoko, ada 11 layanan Bus Rapid Transport (BRT) tersedia di seluruh Indonesia.

“Di Surabaya akan ada dua koridor yang menggunakan bus listrik, begitu juga di Bandung. Jadi, pemerintah daerah bisa mulai menggunakan bus listrik lewat BRT ini,” paparnya.

Keberadaan transportasi publik yang layak, lanjut Djoko, sangat penting dalam upaya mengurangi emisi karbon.

Kemudian, dia mendorong pemerintah lebih aktif melakukan sosialisasi informasi dan layanan mobil listrik.

“Bagaimana pemanfaatannya itu penting. Artinya penggunaannya, mitigasinya, terhadap kecelakaan, informasi penggunaan baterai mudah atau tidak, studi penyediaan stasiun pengisian, kalau rumah tangga berapa jam, itu perlu disosialisasikan, jangan seperti dulu pakai gas, ternyata gagal karena SPBG jauh,” ungkap Djoko.

Lebih lanjut, dia mengingatkan keberadaan transportasi listrik bukan hal baru di Indonesia. Di dataran tinggi Asmat, masyarakatnya sudah menggunakan mobil listrik.

“Kesempatan dan kemauan itu ada, tinggal implementasinya di lapangan,” tandasnya.(rid/ipg)

Berita Terkait

Potret NetterSelengkapnya

Motor Tabrak Pikap di Jalur Mobil Suramadu

Mobil Tertimpa Pohon di Darmo Harapan

Pagi-Pagi Terjebak Macet di Simpang PBI

Surabaya
Kamis, 25 April 2024
28o
Kurs