Sabtu, 18 Mei 2024

Perajin Batik Berharap Masyarakat Tidak Pakai Batik Printing

Laporan oleh Agung Hari Baskoro
Bagikan
SMKN 12 Surabaya belajar seni membatik. Foto: Baskoro suarasurabaya.net

Perajin batik di Surabaya berharap masyarakat tidak menggunakan batik printing atau kain dengan motif batik yang biasa diproduksi pabrik. Eka Sumarlin Perajin Batik Merek Trubus mengatakan, meski relatif lebih murah, tapi batik printing dinilainya bisa melemahkan UMKM batik.

“Kalau kita harapannya, lebih banyak instansi yang menyadari lagi, kalau batik printing bisa melemahkan UMKM gitu. Kalau bisa pakai batik cap aja (atau batik tulis, red),” ujar Sumarlin pada Rabu (2/10/2019).

Ia mengatakan, Pemerintah daerah punya peran besar untuk memberikan edukasi ini pada masyarakat. Ia menyontohkan Pacitan dan Banyuwangi yang cukup berhasil meningkatkan produksi batik di UMKM.

“Perajin menginginkan yang seperti itu, seperti Pacitan, Banyuwangi. Sangat mendukung UMKMnya. Kalau surabaya memang masih belum ada peraturannya. Kita sih, perajin Surabaya berharapnya bisa gitu, seperti di daerah Pacitan, Banyuwangi. jadi setiap ASN-nya mereka bisa memakai produk kita (UMKM batik di daerah itu, red). setidaknya batik cap lah. meskipun bukan tulis. yang penting bukan batik printing,” jelasnya.

Hal senada disampaikan Firman Asyhari perajin batik merek Batik Teyeng. Ia juga berharap pemerintah kota Surabaya mewajibkan instansi pemerintah untuk memakai batik asli UMKM Surabaya. Selain meningkatkan omzet perajin batik di Surabaya, langkah ini dinilainya mampu memberi edukasi tentang perbedaan batik tulis/cap dengan printing.

“Iconnya batik Surabaya ada, tapi kalau gak ada yang makai, tenggelam. Contohnya batik semanggi. Kalau gak ada yang beli kan terlupakaan. Berharap pemerintah membantu. Kalau diwajibkan beli, kan pasti beli. Untuk mengangkat UMKM harusnya ada detail aturannya. harus pakai (produk, red) Surabaya sendiri,” tuturnya pada Rabu (2/10/2019).

Meski begitu, Sumarlin yang juga pengajar seni membatik di SMKN 12 Surabaya ini mengakui, jika batik printing bukanlah ancaman yang terlalu berbahaya bagi perajin batik tulis dan cap.

“Menurut saya pribadi, sebenarnya itu bukan ancaman yang terlalu berbahaya. Menurut saya, gak juga. Batik printing itu ada peran positifnya juga. Mereka bisa menyentuh kalangan bawah. Karena kan batik itu, walau cap kan masih sekitar seratus (Rp. 100 ribu, red) lebih ya. kalangan bawah kan untuk beli batik segitu ya belum terjangkau,” ujarnya.

“Batik printing ikut ambil andil dalam hal mempromosikan batik, bukan melestarikan. Bahwa batik itu punya Indoneisa. kalau pelestarian nggak. Kalau kita perajinnya sendiri pinter nyari pasar, pinter ngolahnya, gak terlalu sulit mas,” lanjutnya.

Terkait perkembangan bisnis batik, Sumarlin berpendapat jika batik makin banyak peminat sejak ditetapkan oleh Unesco sebagai warisan dunia pada tahun 2009 silam.

“Penetapan batik sebagai warisan dunia dari Unesco sangat-sangat berpengaruh. Apalagi kan sebelum ditetapkan jadi perebutan juga. Orang juga masih minim pengetahuan. Mereka cenderung cuek. Setelah 2009, orang-orang lebih care lagi pada batik, terutama batik tulis. Omzet penjualan makin meningkat. Terutama di batik cap. karena harganya lebih terjangkau, dan proses pengerjaannya lebih cepat,” kata Sumarlin.

Sedangkan firman berpendapat, perkembangan bisnis batik beberapa tahun terakhir terbilang landai. Tidak ada peningkatan dan penurunan peminat yang signifikan. (bas/iss/ipg)

Berita Terkait

..
Potret NetterSelengkapnya
Surabaya
Sabtu, 18 Mei 2024
33o
Kurs