Kota Surabaya di Jawa Timur punya tiga stasiun pemantau kualitas udara ambien otomatis untuk mengukur konsentrasi pencemar udara, suhu udara, kelembapan udara, radiasi, serta arah dan kecepatan angin.

Menurut Agus Eko Supiadi Kepala Dinas Lingkungan Hidup Kota Surabaya di Surabaya, Jumat (28/2/2020), perangkat stasiun pemantau kualitas udara ambien (SPKU) dipasang di Wonorejo, Kebonsari, dan Tandes.

SPKU di Wonorejo dan Kebonsari, menurut dia, dapat mengukur arah dan kecepatan angin, kelembaban udara, suhu udara, dan radiasi.

“Kedua SPKU ini dapat pula memantau parameter kimia udara seperti NO, NO2, NOx, O3, SO2, CO, PM10,” katanya berdasarkan rilis yang diterima suarasurabaya.net.

Berdasarkan pengukuran SPKU, ia menjelaskan, Indeks Standar Pencemar Udara (ISPU) dihitung dan hasilnya ditampilkan di monitor-monitor yang dipasang di pinggir jalan.

SPKU Tandes yang merupakan bantuan dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, menurut Agus, alatnya lebih lengkap dan tidak seperti perangkat di dua SPKU yang lain SPKU Tandes bisa mengukur konsentrasi PM 2,5, partikel halus di udara yang berukuran 2,5 mikron atau kurang.

Di samping ketiga SPKU tersebut, ia melanjutkan, Pemerintah Kota Surabaya memiliki perangkat portabel yang bisa digunakan untuk melakukan pengukuran di berbagai tempat. Perangkat tersebut antara lain bisa mengukur konsentrasi cemaran PM 10, PM 5, PM 2,5, PM 1, NO, CO, SO2, dan O3.

“Lokasi-lokasi SPKU dan alat uji portabel ini sudah ada panduannya dari Kementerian Lingkungan Hidup dan juga sudah SNI. Jadi, semua yang kami lakukan sudah sesuai peraturan yang ada di Indonesia. Itu artinya, ISPU yang dihasilkan valid,” kata dia.

Menurut Agus, data ISPU dan Indeks Kualitas Udara (IKU) yang dihitung dari hasil pengukuran alat-alat pemantau kualitas udara menunjukkan bahwa sejak 2017 sampai 2019 kualitas udara Kota Surabaya cenderung membaik.

Ia menjelaskan, peningkatan kualitas udara Kota Surabaya antara lain dipengaruhi oleh upaya pemerintah untuk memperbanyak ruang terbuka hijau. Tahun 2018, Surabaya sudah punya ruang terbuka hijau seluas 7.290,53 hektare atau sama dengan 21,79 persen dari luas kota.

“Selain itu, ada pula program green building, manajemen transportasi yang semakin bagus, serta rutin melakukan uji emisi, hemat energi, dan memperbanyak penggunaan solar cell. Berbagai program itulah yang kemudian mampu mencegah polusi udara di Surabaya, hingga akhirnya kualitas udara terus membaik,” katanya.

Kepala Laboratorium Pengendalian Pencemaran Udara dan Perubahan Iklim Departemen Teknik Lingkungan ITS Dr. Eng Arie Dipareza Syafei mengapresiasi konsistensi Pemerintah Surabaya dalam membangun ruang terbuka hijau setiap tahun.

Menurut dia, cara itu efektif untuk memperbaiki kualitas udara. “Itu sudah sangat bagus untuk mengurangi pencemaran. Konsistensi ini yang harus terus dijaga,” katanya.(tin/rst)