Selasa, 16 April 2024

Panic Buying Minyak Goreng di Masyarakat karena Lunturnya Solidaritas Sosial

Laporan oleh Dhafintya Noorca
Bagikan
Ilustrasi. Minyak goreng kosong di toko ritel. Foto: Chalimatumriah via WA SS

Fenomena panic buying minyak goreng akibat penerapan satu harga Rp14.000 per liter terjadi di masyarakat. Sejak program subsidi minyak goreng satu harga diterapkan pemerintah 19 Januari lalu, saat ini minyak goreng makin sulit ditemui di pasaran. Masyarakat berbondong-bondong memborong minyak goreng subsidi, akibatnya kelangkaan terjadi di sejumlah toko retail.

Ananta Yudiarso M.Si Wakil Dekan Fakultas Psikologi Ubaya menyebut fenomena panic buying ini menunjukkan rasa solidaritas sosial di masyarakat mulai turun. Masyarakat kelas menengah ke atas tidak menyadari hak istimewa yang dimilikinya sehingga mengambil jatah kelas sosial yang ada di bawahnya.

“Dalam kasus ini kaum menengah atas yang mampu, membeli (minyak goreng) yang harganya Rp14.000. Ketika muncul panic buying, ini sudah melampaui batas. Kelas menengah ke atas akan mencoba mengambil jatah yang ada di bawahnya. Seperti pada teori kekuasaan,” kata Ananta saat dihubungi Radio Suara Surabaya, Rabu (26/1/2022).

Mestinya, menurut Ananta, kalau masyarakat betul-betul mempunyai kesadaran diri maka mereka akan membeli karena kebutuhan, bukan karena takut tidak kebagian minyak goreng sehingga kalap saat membelinya. Padahal, masih ada kalangan masyarakat yang menggantungkan mata pencahariannya pada minyak goreng seperti penjual gorengan.

“Mestinya kalau betul-betul langka, (masyarakat) punya kesadaran diri. Kita ada di posisi mana? Perlu tidak membeli minyak goreng. Namun yang terjadi adalah orang takut tidak kebagian minyak goreng sehingga kalap. Tidak peduli kalau minyak goreng dibutuhkan kaum yang tidak bisa hidup tanpa minyak goreng,” ujarnya.

Keadaan ini diperparah dengan media yang memberitakan kalau minyak goreng satu harga langka di toko-toko retail. Padahal, masyarakat punya kemampuan untuk menalar apakah benar kalau minyak goreng ini langka.

“Di berita makin diberitakan mahal, mahal, mahal. Orang jadi panik maka runtuhlah value dalam dirinya. Menghalalkan segala cara meskpun harus mengambil jatah dari strata di bawahnya,” imbuh Ananta.

Agar panic buying tidak terjadi berlarut-larut, menurut psikolog sosial ini yang perlu dibangun adalah rasa solidaritas dan menghormati hak masing-masing kelas.

“Yang harus dibangun adalah solidaritas bahwa orang berbeda-beda, ada yang kaya, menengah dan miskin. Masing-masing punya hak yang harus kita hormati, tidak hanya sekadar yang kaya menolong yang miskin. Tetapi juga ada penghormatan timbal baliknya sehingga lebih mudah dalam melakukan ekuilibrium atau pertimbangan sosial,” pungkasna.(dfn/ipg)

Berita Terkait

Potret NetterSelengkapnya

Motor Tabrak Pikap di Jalur Mobil Suramadu

Mobil Tertimpa Pohon di Darmo Harapan

Pagi-Pagi Terjebak Macet di Simpang PBI

Surabaya
Selasa, 16 April 2024
29o
Kurs