Senin, 6 Mei 2024

Rentan Miskin, Pakar Sarankan Ubah Gaya Hidup Jangan Seperti OKB

Laporan oleh Billy Patoppoi
Bagikan
Ilustrasi belanja online berlebihan sebagai salah satu contoh fenomena OKB (Orang Kaya Baru). Foto: Shutterstock

Ekonomi dunia dibayang-bayangi dengan tingkat kemiskinan yang tinggi di berbagai negara, termasuk Indonesia. Jika isu kemiskinan menjadi isu penting bagi negara-negara berkembang, dan persoalan dunia, bagaimana dengan kelompok menengah yang rentan miskin. Sebab jika salah penangan, maka bukan tidak mungkin kelas ini akan terperangkap dalam jebakan kemiskinan.

Sebelumnya pada Oktober 2021 lalu, Bambang Brodjonegoro mantan Menteri Keuangan pernah mengatakan, mayoritas penduduk Indonesia masuk dalam kategori rentan miskin. Adapun kategori ini disematkan bagi mereka yang pendapatannya di atas garis kemiskinan namun tidak mencapai kategori kelas menengah.

Bahkan, jumlah penduduk rentan miskin ini berkisar 67 persen dari total penduduk Indonesia. Masyarakat yang masuk dalam kategori rentan miskin ini, kata Bhima Arya Bhima Yudhistira Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) harus mendapat perhatian yang tepat.

“Data menunjukkan, kelas menengah tanggung yang rawan ke jatuh miskin ini memang harus mendapat perhatian. Baik dari perencanaan keuangan pribadi, maupun intervensi kebijakan pemerintah. Saat ini kelompok tanggung ini cukup banyak dan didominasi mereka yang usianya antara 18 hingga 35 tahun, “ kata Bhima pada Radio Suara Surabaya, Senin (25/7/2022) pagi.

Banyak yang menyebabkan para aspiring middle class (bukan miskin, tapi ekonominya tidak stabil) ini tidak kunjung membaik ekonominya, bahkan sampai jatuh miskin.

“Biasanya ada banyak faktor. Misalnya lulusan kuliah yang baru masuk kerja dan upahnya minimum, tapi ada tuntutan keluarga untuk membiayai keluarga, lalu menikah atau merawat orang tua, pernikahan muda, dan lain sebagainya yang membuat mereka tidak bisa memaksimalkan potensinya untuk membangun perekonomian. Itu yang membuat mereka disebut sandwich generation karena memang kondisinya terjepit oleh keadaan,” ungkapnya.

Selain itu, lanjut Bhima, ada juga fenomena OKB (Orang Kaya Baru) yang didorong dengan gaya hidup yang tidak sesuai dengan kondisi pemasukan keuangan. Masyarakat terjebak dengan pengeluaran yang tidak terlalu urgent namun dilakukan dan akhirnya terjebak dengan pengeluaran yang tinggi. Termasuk jeratan kartu kredit, kemudahan pay later termasuk pinjaman cepat dari online.

“Masyarakat harus pintar atur keuangan. Susun lagi, antara pendapatan dan pengeluaran. Alangkah baiknya kalau yang sudah berkeluarga cari penghasilan sampingan jangan hanya mengandalkan gaji dari tempat kerjanya saja,” tuturnya.

Bhima mencontohkan, penghasilan sampingan tersebut bisa diperoleh dengan istri yang membuka toko online dan sebagainya, disaat sang suami sedang sibuk bekerja. Hal tersebut juga bisa menjadi solusi dikala kondisi ekonomi tidak menentu.

“Semisal terjadi sesuatu seperti pengurangan jam kerja dan lain-lainnya yang berdampak pada penghasilan. Bisa untuk menutup kekurangan tadi,” ujarnya.

Direktur Celios juga menjelaskan, dengan kondisi yang masih anomali (tidak menentu) pasca pandemi Covid-19 ini, alangkah lebih baik jika Pemerintah memberikan kebijakan dan pengawasan yang berimbang, baik untuk Perusahaan, maupun karyawannya.

“Sekarang kalau pemerintah memberi stimulus ke perusahaan yang hampir colapse, belum tentu stimulus tadi diberikan ke karyawannya. Kemungkinan kalau perusahaannya mengalami krisis, karyawan tetap ada saja yang di PHK. Untuk itu harus benar-benar di perhatikan arah kebijakannya, dengan adanya UU Cipta Kerja cek lagi pengupahan. Sekarang kenaikan upah satu persen tidak sebanding dengan inflasi 4 persen lebih, itu aja udah mines.” pungkasnya. (bil/rst)

Berita Terkait

..
Potret NetterSelengkapnya

Massa Hari Buruh Berkumpul di Frontage Ahmad Yani

Motor Tabrak Pikap di Jalur Mobil Suramadu

Mobil Tertimpa Pohon di Darmo Harapan

Surabaya
Senin, 6 Mei 2024
32o
Kurs