Senin, 27 Mei 2024

Sosiolog : Tawuran Sebagai Bentuk Kegagalan Mengekspresikan Diri

Laporan oleh Billy Patoppoi
Bagikan
Prof Bagong Suyanto Dekan FISIP UNAIR saat di temui di ruang dekanat, Senin (11/4/2022) Foto: Tim redaksi suarasurabaya.net

Aksi tawuran  antar kelompok remaja, atau yang dikenal dengan perang sarung tidak hanya terjadi pada satu wilayah saja, melainkan menyebar di beberapa wilayah seperti di Banten, Bekasi dan juga terjadi di Surabaya.

Di Surabaya, Polres Pelabuhan Tanjung Perak telah menangani tiga kasus tawuran selama bulan Ramadan, yakni dua kali di Kawasan Semampir dan satu kasus di Tambak Asri.

Hal ini turut disoroti oleh Bagong Suyanto Sosiolog Anak dan Remaja Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Airlangga (Unair) Surabaya.

“Kondisi yang terjadi, salah satunya disebabkan kontestasi subkultur di kalangan anak muda biasanya dari kelas-kelas atau kelompok yang relative marginal yang ingin mengekspresikan identitas dirinya dengan mengembangkan subkultur sok jagoan,” ungkap Bagong.

Berdasarkan data yang dirilis oleh World Health Organization (WHO) terkait kekerasan dan kesehatan mental remaja, terdapat 200.000 pembunuhan di kalangan anak-anak muda usia 10-29 tahun setiap tahunnya. Angka itu, setara 42 persen dari semua kasus pembunuhan di negara-negara anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).

Sebanyak 84 persen kasus melibatkan laki-laki muda usia, dengan satu pemuda yang terbunuh selalu diikuti lebih dari satu pemuda lain yang terluka dan membutuhkan perawatan kesehatan intensif.

“Menurut saya, benang merah dari berbagai peristiwa ini keliatannya anak muda sekarang ini ingin tampil dan dikenal sebagai orang yang berani di kalangan per groupnya (teman sebayanya),” imbuhnya.

Bagong menilai, hal ini terjadi akibat kurangnya ruang dan kesempatan bagi anak dan remaja, dalam mengaktualisasikan diri dan berinteraksi secara tatap muka selama pendemi.

Selama pandemi akses anak dan remaja terhadap ruang sosial di dunia nyata terhambat, seperti aktifitas belajar kelompok, hang out dengan teman, taman bermain, olahraga dan lain sebagainya.

“Ini memang ada kaitannya dengan ruang bagi anak muda untuk mengekspresikan dirinya. Mestinya koridor yang harus disediakan untuk mereka ya aktifitas yang positif dan produktif. Tapi ketika itu terhambat dalam posisi pandemi, akhirnya habitus yang dipilih adalah adalah yang berani melawan aturan-aturan yang berlaku,” terangnya.

Sementara interaksi di dunia maya cukup intens, hal ini yang menurut Bagong menyebabkan Insiden perang sarung menular di beberapa daerah.

“Itu penularannya kan via youtube. Anak remaja terinspirasi dari youtube,” tambah dia.

Perang sarung sebetulnya salah satu warisan tradisi Suku Bugis di Makassar, Sulawesi selatan sekitar tahun 70 an yang mulai ditinggalkan di tempat asalnya.

“Sayangnya aktifitas ini jadi punya konotasi negatif di kalanagan anak muda dengan bentuk kegiatan ekstrem yang justru meresahkan msyarakat,” pungkasnya. (tha/bil/rst)

Berita Terkait

..
Potret NetterSelengkapnya

Evakuasi Kecelakaan Bus di Trowulan Mojokerto

Motor Tabrak Pikap di Jalur Mobil Suramadu

Surabaya
Senin, 27 Mei 2024
26o
Kurs